Cerita di bawah ini adalah fiktif, dan apabila
ada kesamaan nama, tempat kejadian dan yang lainnya dengan para pembaca, adalah
merupakan kebetulan belaka.
*****
Aku menyeberangi jalan raya yang dua jalur,
bermaksud untuk melepas lelah di Warung Kopi di seberang jalan. Uff, panasnya
hari ini membuat dahaga, sampai baju kaos yang ku kenakan menjadi basah oleh
keringat. Aku memesan teh botol dengan esnya di gelas, memghempaskan pantatku
di bangku panjang dan meletakan tas ranselku di meja.
Akhirnya pesananku tiba, akupun langsung
meneguk teh botol tersebut yang sebelumnya kumasukan ke dalam gelas yang berisi
es. Oh, nikmatnya, walaupun belum terasa dingin, namun teh botol tersebut telah
habis 1/2 gelas ku minium. Aku mengeluarkan rokok dari saku bajuku dan mulai
menghisap asapnya, wah betul-betul nikmat, apalagi angin bertiup dari
belakangku menambah kesegaran untuk diriku yang kelelahan.
Warung Kopi itu dibangun di atas parit besar
dengan lantai papan dan penutup dindingnya hanya kain bekas spanduk iklan saja.
Ada 3 kurasa Warung Kopi yang seperti ini, letaknya juga tidak berjauahn antara
satu dengan yang lainnya. Warung Kopi yang aku singgahi juga tidak begitu luas yang
menyediakan minuman segar dan indomie rebus. Letaknya paling ujung dengan
Warung Kopi yang lainnya. Aku memesan indomie rebus kepada Ibu penjual,
sesekali pandangan ku ke jalan, melihat lalu lalang mobil pribadi atau angkutan
yang berwarna kuning.
Akh, aku begitu pusing, sudah tengah hari
begini, tempat kost yang ku inginkan belum dapat juga. Masih terngiang
kata-kata kasar inang Boru yang dengan marah mengusirku.
"Sudahlah, kau tidak usah tinggal di
sini" teriak Inang Boru.
Aku tidak sengaja menjatuhkan guci antik Inang
Boru sehingga pecah berantakan yang mengakibatkan Inang Boru marah besar dan
berbuntut dengan pengusiran. Pagi itu aku buru-buru sekali untuk berangkat
kuliah hingga tak sadar, saat aku ingin meletakan tas ransel ke punggungku, ternyata
menyenggol guci antik Inang Boru dan Prakk.. Jatuh ke lantai dan berserakan.
Inang Boru keluar dari dalam kamarnya.
"Kau apakan guci itu Tony??" teriak
Inang Boru, dengan mata melotot.
Inang Boru menghampiri guci kesayangannya,
meratapi dengan mengutupi puing-puing guci tersebut. Enatah kata-kata apa lagi
yang dikeluarkan Inang Boru sambil menangis, hingga mukanya yang berlumuran air
mata tersebut menatapku.
"Pergi, Pergi.. Pergi, tidak tahu diri,
pergii," teriaknya. Aku pun meninggalkan rumah tersebut dengan
omelan-omelan Inang Boru tidak ku dengar lagi.
Lamunan yang sesaat itu sadar saat Bapak di
sebelahku menanyakan sesuatu yang tidak jelas ku dengar.
"Kenapa Pak?" tanyaku lagi.
"Tidak masuk kerja?"
"Tidak Pak, Aku masih kuliah,"
jawabku.
"Oh, pantas, Bapak pikir karyawan di
kantor sekitar ini, pantas Bapak tidak pernah melihat kau".
Memang aku perhatikan di lingkungan sekitar
yang ada hanya Perkantoran. Bodoh sekali aku, mencari tempat kost di daerah
seperti ini, yah mana adalah, pikirku.
"Jadi hari ini tidak masuk kuliah?"
tanya Bapak itu, sambil terus mengutak atik angka jitu dari selembar kertas
ramalan buntut.
"Tidak, Pak. Aku sedang mencari tempat
kost, kira-kira ditempat ini ada tidak yah Pak?" tanyaku.
"Ada," jawab Bapak tersebut dengan
acuh dan masih terus dengan pekerjaannya, mencari angka yang jitu untuk
dipasangkan pada hari ini.
"Di daerah mana Pak," tanya aku
lagi.
"Siapa yang mau kost?" laki-laki
besar dan berotot dengan postur tubuh yang besar yang duduknya di depan Bapak
tersebut. Mereka berdua lagi asyik mengutak atik nomor jitu sejak aku datang.
Warung tersebut memang sepi dari Warung yang
lainnya, makanya aku memilih untuk mampir ke Warung tersebut. Indomie yang
kupesan juga sudah dihidangkan oleh Ibu penjual di hadapanku.
"Makan dulu, nanti Abang antar,"
ucap laki-laki tersebut.
"Iya, nanti biar si Nainggolan yang antar
Kau," tambah Bapak itu lagi.
"Si Nainggolan ini makelar apa saja, dari
togel, rumah kost, rumah kontrakan, rumah dijual, mobil dijual, motor dijual,
ah entah apalagi, padahal dia Narik Becak. Uangnya banyak tapi tidak kaya-kaya,
entah kemana uangnya, mungkin dibuang yah Nainggolan?" tanya Ibu Pemilik
Warung.
"Bah, mana ada uang ku Kak, kalau ada,
sudah kukasihlah sama orang rumah," jawab Bang Nainggolan (Orang rumah
maksudnya bininya).
"Bini yang mana? Bini di Losmen,"
ucap Ibu Pemilik Warung. (Kebanyakan Losmen di Medan adalah tempat Lokasi
Pelacuran, dimana lonte-lonte menunggu laki-laki yang ingin mengentot dan
mainnya di Losmen tersebut. Losmen tersebut berkamar-kamar dengan dinding
triplex sebagai sekatnya).
Akhirnya aku menyantap indomie rebus tersebut
sampai habis tanpa sisa dan mengikuti saran Bang Nainggolan untuk istirahat
dulu untuk menurunkan makanan yang telah masuk ke dalam perutku.
"Nomor ini yang aku Pasang Bang,"
ucap Bang Nainggolan, berdiri dan meninggalkan Warung tersebut.
"Tunggu saja di sini, dia lagi mengambil
becaknya," kata Bapak tersebut. Hanya beberapa menit saja, Bang Nainggolan
datang dengan membawa becak mesinnya."Ayo," ajak Bang Nainggolan.
Akupun membayar makanan dan minuman kepada Ibu
Pemilik Warung dan langsung menaiki becak mesin tersebut.
"Bang, nanti aku balik lagi," teriak
Bang Nainggolan. Bapak tersebut mengangguk.
Kami pun pergi meninggalkan Warung Kopi
tersebut. Bang Nainggolan membawa becak mesinnya dengan santai menyelusuri
jalan yang hanya bisa dilalui oleh 2 mobil, jalan tersebut ternyata 2 arah.
Hingga sampai di ujung jalan, Bang Nainggolan membelokan becak mesinnya ke kiri
dan hanya 200 meter dari mulut Gang, sampailah Kami di rumah yang bernomor 121.
Bang nainggolan memencet bel rumah yang luas
tersebut, halaman rumah yang sudah dilantai dengan semen, di sebelah kanan
halaman tersebut tumbuh pohon cemara setinggi 3 meter, daunnya yang rimbun
hampir menutupi pintu besi yang ada di belakangnya. Di sepanjang tembok pagar
dibuat taman yang tidak begitu luas di tumbuhi dengan tanaman hias. Pagar rumah
tersebut hanya sebatas dadaku tidak seperti rumah yang lainnya di sekitar
komplex tersebut, yang memiliki pagar yang tinggi-tinggi dan rata-rata rumah di
komplex tersebut bertingkat.
Mobil Kijang berwarna biru terpakir di dalam
Garasi rumah tersebut yang terletak di sebelah kiri. Teras rumah tersebut juga
tidak begitu luas, hanya sebatas rumah yang daun pintunya double. Dua kursi
lipat dari kayu dan sebuah meja kecil dengan lampu hias yang menggantung,
menghiasi teras rumah tersebut.
Wah, dengan kondisi sepi begini, sepertinya
aku bisa mengkonsentrasikan waktuku untuk belajar. Aku baru 3 bulan lebih
tinggal di Medan, niatku untuk menjadi orang yang berguna, merantau dari
Kampung halamanku daerah Tapanuli Utara, melanjutkan studi di Medan.
Keinginanku didukung oleh Inang dan Amang
apalagi Inang Boru yang selalu mendorongku untuk kuliah di Medan, aku iri
melihat keberhasilan Inang Boru yang menjadi Dosen, begitu juga lakinya Amang
Boru Anton, adalah seorang Manager salah satu Perusahan di Kota ini.
Tiga Tahun mereka berumah tangga belum juga
dikarunai seoarang anak, makanya aku diajak ke Medan, tapi apa? malah aku
diusir. Ternyata baiknya Inang Boru yang ku kenal hanya sebatas itu, setelah di
Medan aku lebih mengenal Inang Boru sesungguhya. Mungkin inilah kekejaman
Ibukota, lain sekali seperti suasana di Kampung pikirku.
Selain itu, aku menikmatipun menikmati tinggal
di sini, semuanya ada di sini, aku selalu mengajak temanku bermain ke tempat
yang belum pernah aku kunjungi dan tidak ada di Kampung, selain hura-hura,
bersenang-senang, tapi kewajibanku yang utama tidak aku tinggalkan yaitu
belajar, semua mata kuliah tidak aku tinggalkan, maklum aku baru siswa baru dan
aku bertekad untuk bersuungguh-sungguh untuk membuktikan kepada Inang dan Amang
bahwa aku mampu dan akan menjadi yang diharapkan mereka, menjadi seorang
Insinyur, aku masih terkagum-kagum pada diriku jika gelar Ir itu ada di depan
namaku, Ir. TONY.
Dan untuk saat ini aku akan membuktikan pada
Inang Boru bahwa aku bisa hidup mandiri tanpa bantuan orang sombong itu.
"Sudah lama di Medan?" tanya Bang
Nainggolan.
"3 bulan lebihlah Bang"
"Tadinya tinggal di mana?"
"Di jalan Patriot, Bang," jawab ku.
"Kenapa pindah?"
"Terlalu ribut dan tidak aman di
sana".
"Wah, kalau di sini aman, mau pulang jam
berapa saja aman, apalagi Pak Arnan baik, kalau mau pinjam motor dengannya,
pasti di kasih".
Lama juga Kami menunggu, hingga seorang
perempuan keluar dari pintu besi yang terletak di sebelah kanan rumah tersebut.
"Ketiduran yah?" tanya Bang
Nainggolan sambil tersenyum dan Perempuan tersebut balas tersenyum.
Perempuan itu begitu cantik, memakai kaos
putih lebar dan celana pendek ketat sehingga nampak lekuk pantatnya yang
montok, betis kakinya seperti bunting padi, putih. Rambutnya sedikit basah di
bagian depan dan bagian belakangnya di tarik dan ditahan dengan penjepit rambut
sehingga menjuntai, lehernya yang kecil kelihatan dengan jelas, putih dan
tubuhnya pasti bagus, pikirku.
Kami pun masuk ke dalam rumah melewati pintu
besi tersebut, mengikuti perempuan itu. Ternyata cukup luas juga rumah
tersebut, pagar rumah di bagian samping tinggi dengan besi-besi yang ujungnya
runcing menancap di atas tembok pagar, sementara tembok rumah di tetangganya
yang tinggi, karena rumahnya bertingkat.
Ke bagian 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar