Rabu, 11 Juli 2012

Serigala Lapar, Trilogy 1 - The Clan [part.8]

0 komentar
bugil cantik montok [Portal Seks]

Aku mulai secara khusus memperhatikan pria yang ingin tidur denganku ini. Kali ini dia datang tanpa seragam satpamnya. Wow, ternyata kharisma kelelakiannya tak kalah dari penampilan Rendi maupun Burhan dan Wijaya. Dengan T-shirt Polo (mungkin merk imitasi) dan celana Valentinonya (barangkali juga imitasinya), di mataku Basri jadi tampak sangat tampan. Posturnya yang di atas 175 cm, membuatku hanya setinggi bahunya. Kekesalanku akan teleponnya tadi seketika lenyap. Bahkan kelelahanku dari perjalanan ke Bogorpun ikut lenyap. Dan untuk tetangga-tetangga sekitar yang kemungkinan usil karena aku telah menerima tamu pria di malam hari sementara suamiku berada di luar kota, persetan! Tidak akan semudah itu menuduhku berbuat macam-macam.

Dengan membiarkan semua pintu tetap terbuka lebar-lebar, pelan-pelan aku mengajak Basri menuju ruang makan yang tak nampak dari halaman depan dan jalanan. Di situ Basri langsung menubrukku. Dia langsung mencium kudukku dan tangannya memeluk dadaku, meremas payudaraku. Berani benar dia, batinku. Dan terus terang aku jadi sangat bernafsu menjalani sandiwara ini. Ini merupakan skandal terbesar sejak aku selingkuh dengan Rendi. Ini merupakan pertaruhan dengan risiko terbesar selama aku berani berkhianat pada Mas Adit, suamiku. Darahku terasa menggelegak. Jantungku berdegup keras. Aku gemetar sejadi-jadinya. Perasaan birahi yang menggelegak campur aduk dengan rasa takut tertangkap orang di kampungku, bercampur aduk.

"Bu Adit, kita keluar yuk".
"Nggak, ah. Di sini saja. Aman, deh. Tenang saja..", aku menjawab sambil tersenyum dan mendekatkan bibirku ke bibirnya.
Kami berpagutan dengan penuh nafsu. Aku sudah tidak tahan untuk tidak meraba selangkangannya. Aku mendesah. Tangan kiri Basri memeluk pinggangku, sementara tangan kanannya mulai bermain meremas-remas payudaraku yang masih terbungkus dalam blusku. Kuraba selangkangan itu.
"Waduuhh.. pentungan Satpam benaran nih..", batinku.

Aku meraba daging panas yang sangat besar dan panjang di balik celananya. Kuremas. Pantat Basri langsung menekan tanganku menahan gelinjang kontolnya.
"Jangan lebih dari 1 jam yang Mas Basri",
"Uuhh, cukup Bu, cukup Bu, cc.. cukkupp.. Bb.. Bu.. Jangan-jangan Ibu yang kurang nanti", mendengar jawabannya yang nakal aku tertawa geli sambil mencubit pantatnya.
Dia mengaduh, manis. Cukup lama kami saling berpagut dan meremas apa saja. Kubimbing Basri menuju kamar tidur pengantinku, tempat yang biasanya hanya aku dan Mas Adit -bossnya- yang tidur di atasnya.

Dan saat sampai di tepi ranjang, kudorong tubuhnya hingga telentang di ranjang. Aku menyusul menindihnya. Kami bergulingan. Dan dengan penuh ketidaksabaran kami saling melucuti pakaian. Aku melucuti pakaiannya, dia melucuti pakaianku. Kami telah siap untuk langsung menuju kenikmatan tak terhingga. Aku telentang di kasur dengan pahaku yang terbuka menjepit tubuhnya. Dia bergerak sedikit mengangkat pantatnya, tangan kirinya menggenggam kontolnya untuk diarahkannya ke memekku. Aku lebih melebarkan pahaku untuk bersiap menerima kontol itu menembus kemaluanku.
Saat bibir vaginaku tersentuh ujung kontol yang mirip pentungan itu, aku langsung memejamkan mataku dan jiwaku seakan melayang ke langit. Aku bergetar. Pantatku kuangkat-angkat sedikit kerena sangat merindukan kontol itu untuk secepatnya terbenam ke kemaluanku.

Seperti biasanya, Basri sangat ahli, ujung kontol itu dimainkan terlebih dulu di gerbang vaginaku untuk memancing cairan birahiku. Tetapi tak perlu memakan waktu lama, karena cairan itu sebenarnya telah mulai keluar sejak aku meremas celananya tadi. Dan tak ayal lagi, kurasakan betapa batangan besar dan hangat itu akhirnya tertelan seluruhnya hingga ke akar-akarnya, masuk dan menembus vaginaku. Seketika itu pula saraf-saraf peka pada dinding vaginaku bekerja menyambut batang itu. Diremas-remasnya kontol Basri. Mengencang dan mengendor bergantian.

"Dduhh, Ibuu.. Bu Aditt.. ennhakk bBHhaanngett.. Bbuu..".
Basri langsung memompakan kontolnya, suara pelirnya yang terayun-ayun memukuli akar kontolnya sendiri, akibat dari ayunan pompa kontol besarnya itu ke lubang memekku. Dan aku sendiri yang mendapat landa kenikmatan tak terhingga ini hanya bisa mendesah dan merintih sambil kepalaku bergoyang ke kanan dan ke kiri, seperti menggeleng-geleng, karena nikmat yang tak mampu kutahan itu.

Kami bersanggama penuh irama dan improvisasi yang mengalir. Sungguh hebat si Basri ini. Tubuhnya di jatuhkan miring. Tanpa mencabut kontolnya, dia angkat kaki kiriku melintasi tubuhnya dan tetap dipegang dengan tangan kirinya. Aku dientotnya dari arah belakang punggungku. Kemudian dengan posisi strategis itu yang membuat ketiakku tepat berada di dekat wajahnya, dia peluk tubuhku dengan tangan kanannya dan lebih didekatkannya ketiakku dan di ciuminya.

Paduan entotan pada vaginaku dan ciuman pada ketiakku ini benar-benar membuatku terlempar jauh melayang dalam gelombang nikmat tak terperikan. Pantatku langsung bergoyang-goyang untuk mempercepat tusukan kontol nikmat milik Basri itu. Aku berteriak kecil dan merintih.
"Mas Basrii.. Mas Basrrii.. Mas Bassrrii..", tidak tahu lagi aku mesti bicara apa.
Setelah posisi itu kami nikmati beberapa saat, Basri membisiki telingaku.
"Bu, nungging donk..", dan segera kurespon.
Aku bergerak menungging, mulai dengan tengkurap, kemudian pelan-pelan kunaikkan pantatku, kemudian lututku mengambil alih peran sebagai tumpuan pantatku. Hebatnya si Basri tetap tidak mau melepaskan kontolnya yang telah menancap pada vaginaku. Itu berarti dia harus mendukung tubuhnya hanya pada dengkulnya. Dan saat akhirnya sepenuhnya aku berhasil menungging, Basri sudah setengah bangkit, seperti anjing jantan, kontolnya masih menancap pada betinanya. Wow..

Kurasakan posisi ini membuat kontol Basri main merangsek dan meruyak kedalaman vaginaku. Titik-titik saraf peka birahiku mengelinjang. Ujung kontol itu mendesak gerbang rahimku. Aku, dengan kepalaku yang bertumpu pada bantal, jari-jari tanganku meremasi tepian bantal-bantalku. Aku merasakan kenikmatan itu seakan air bah yang menghanyutkan seluruh haribaanku. Kenikmatan ini sungguh tak bertara.

Aku mulai merasakan ada desakan ingin kencing dari dalam vaginaku. Ini bukan lagi untuk yang pertama kalinya. Sejak dua hari yang lalu aku sudah merasakan hal seperti ini 4 kali. Dan ini adalah untuk yang ke lima kalinya. Aku akan menyongsong kenikmatan tertinggi seorang wanita dari sanggamanya. Aku akan meraih orgasmeku.
"Acchh.. Mass Basrii.. tolonng akuu.. Basrii.. tolongg..".
Kontol Basri makin cepat memompa. Pantatku berusaha bergoyang untuk menangkap nikmat pompaan Basri. Kami mulai merasakan berada di gerbang kenikmatan puncak. Basri melepas payudaraku yang sejak aku menungging tadi diremas-remasnya. Kini dia bangkit dengan tangannya menekan pinggulku. Itu artinya nafsu Basri sudah tak mungkin dia bendung lagi.

Kocokan kontolnya makin cepat, "in & out" ke lubang vaginaku. Aku sendiri tak mampu menahan keinginan rasa ingin kencingku. Aku menggoyang-goyangkan pantatku dengan memepertegas desahan dan rintihanku untuk memacu nafsu Basri.
Dan akhirnya.. Bertetes-tetes sperma Basri terasa menghangatkan memekku. Sedetik berikutnya, orgasmeku datang. Cairan birahiku membanjir. Pompaan kontol Basri tidak langsung berhenti saat menembak lubang vaginaku dengan spermanya. Dan akibatnya dari celah ketat antara batang kontol dan bibir vaginaku nampak busa-busa cairan birahiku bercampur sperma Basri muncrat dan meleleh setiap kali kontol Basri masuk maupun keluar dari lubang kemaluanku.

Kemudian lama-lama melambat dan akhirnya diam. Kami bersama-sama rebah di ranjang. Kecuali nafas-nafas panjang yang terdengar, yang lainnya sepi. Terdengar anjing tetangga menyalak, seakan ada yang lewat. Terdengar kucing mengejar betinanya di genting. Terdengar tukang mie menawarkan dagangannya. Aku melirik ke Basri dan saling bertemu pandang. Kami masing-masing meraih kepuasan. Untuk sementara rasa penasaran Basri telah reda.

Jam menunjukkan pukul 10.40 malam. Basri bangkit dari ranjang dan turun ke kamar mandi. Kubiarkan saja dia, mungkin dia perlu buang air kecil. Aku masih menginginkan ada lanjutannya. Aku selalu belum tuntas kalau mulutku belum dientot lelaki yang mengencaniku. Dan Basri harus menyelesaikannya. Aku yakin dia akan menyelesaikannya dengan baik dan aku akan meraih kepuasan darinya untuk yang kedua kalinya.

Ternyata memang sekembalinya dari kamar mandi, kontolnya sudah terlihat tegak kembali. Aku yakin, lelaki seperti Basri ini tidak akan cukup dengan hanya sekali spermanya muncrat pada setiap bersetubuh dengan perempuan. Dia kembali mendekat ke ranjang. Aku cepat meraih kontolnya yang sebesar pentungan satpamnya. Kuelus dengan jari-jariku dan kulihat wajahnya. Dia menutup matanya menikmati sentuhan jari-jari lembutku. Aku senang dia menutup matanya itu. Bibirku mendekat, kuulurkan lidahku ke belahan lubang kencingnya. Kurasakan, lidahku merasakan sebagian air kencingnya yang masih tertinggal di belahan lubang itu. Aromanya mendekati bir yang baru terbuka botolnya. Keras dan ada sedikit pesingnya. Kujilati hingga bersih dari sisa-sisa tetesan air kencingnya. Aku sangat menikmati kesempatan langka ini.

Kulihat kembali wajahnya. Ternyata dia telah membuka matanya dan memperhatikan lidahku yang sedang menjilat-jilat.
"Bu Adit, enak banget ketika bibir Bu Adit menyentuh kontol saya. Dan ketika lidah Ibu menjilat.. aku tidak pernah membayangkan ada wanita secantik Ibu mau menjilat kontol saya. Bahkan sisa-sisa kencing saya, Bu", kata Basri sambil tangannya mengelus rambutku yang terurai panjang.

Mendengar pembicaraannya itu, terbit kenakalanku. Aku ingin melihatnya benar-benar blingsatan, ingin mendengar rintihan nikmatnya yang luar biasa, ingin melihat bagaimana jika tubuhnya menggeliat-geliat dengan penuh gelinjang karena merasakan jilatan dan kuluman nikmat dari mulutku. Kugenggam kontolnya, kunaikkan dan kupepetkan ke perutnya. Wow, panjangnya adalah hingga ujungnya menyentuh pusarnya.

Saat itu pelirnya berada tepat di depan bibirku. Tentu saja lidahku langsung bekerja dipadu dengan bibirku yang menyedot-nyedot biji pelirnya itu. Dia mulai gelisah. Pantatnya bergoyang, ingin menekankan pada mulutku. Kemudian aku mengubah posisi dengan turun dari ranjang. Dan Basri kudorong hingga telentang di kasur dengan kedua kakinya tetap terjuntai ke lantai. Kini aku sepenuhnya memegang 'komando'. Dengan tetap kugenggam kontolnya, lidahku mulai menjilat selangkangannya.

Bau keringatnya yang sangat alami karena telah seharian terjemur dalam tugasnya, sangat merangsang libidoku. Bau alami seperti ini terkadang jauh lebih merangsang dari pada para pria pesolek seperti Rendi dan teman-temannya yang suka dengan parfum, bedak atau pewangi lainnya. Benar juga. Lidahku di selangkangannya membuat Basri seperti orang tenggelam di laut, gelagapan dengan nafasnya yang terputus-putus memburu. Tangannya terus mengacak-ngacak rambutku yang istri bossnya ini.

Saat aku menjilat lebih ke bawah lagi dan mengarah ke anusnya, pantatnya dia angkat-angkat sambil kakinya di tekankan ke pinggiran ranjang menahan kegelian yang amat sangat. Ah, tanggung.. kubalik saja badannya hingga posisinya tengkurap, kemudian tanganku memberi isyarat agar Basri sedikit menungging. Dia patuh. Dengan lututnya sebagai tumpuan dia bukan lagi sedikit, tetapi benar-benar menungging. Inilah saatnya Basri akan merasakan bagaimana aku, istri Pak Adit atasannya akan menjilati duburnya.

Kusapu dulu bukit pantatnya dengan lidahku sambil hidungku berusaha menangkap aroma anusnya. Wow, dia langsung menggelinjang dengan suara rintihan yang menimbulkan rasa horny. Tangannya menggapai-gapai untuk berusaha meraih kembali rambutku. Dan lidahku tak lagi berputar-putar, tetapi langsung kubenamkan pada analnya. Basri benar-benar blingsatan. Kini tangannya yang telah meraih rambutku menariknya kencang-kencang hingga kulit kepalaku terasa pedih. Aku sangat menikmati hal ini. Aku semakin bersemangat menjilat dan menyedot-sedot pantatnya, sementara tangan kiriku meraba dan kemudian meraih kontolnya yang bergelantungan di bawah perutnya dalam keadaan ngaceng berat. Tanganku mengocok lembut kontol itu.

Setelah beberapa saat hal itu berlangsung, terdengar desahan dan rintihan Basri yang menandakan bahwa spermanya akan muncrat. Cepat kudorong kembali tubuhnya untuk telentang. Kucaplok kontolnya, kukulum dan kupompa dengan mulutku. Basri ingin aku memompa dengan cepat. Dan dengan lolongan seperti serigala di malam hari, Basri menjerit kecil dengan disertai tumpahnya sperma ke mulutku. Aku merasakan kehangatan adanya lendir-lendir yang menyemprot dan memenuhi mulutku. Aku kecap sperma Basri dan kutelan. Tak setetespun yang tercecer. Kami kembali rubuh ke kasur. Aku teramat sangat lelah. Ini mungkin adalah akumulasi kelelahan yang tak begitu kurasakan sejak kepergianku dari Bogor tadi. Aku terlena sesaat.

Saat Basri membangunkanku untuk pamit pulang, kulihat dia sudah rapi dengan pakaiannya kembali. Aku bergegas berpakaian. Aku sengaja tidak ke kamar mandi dulu. Nanti saja. Ada kenikmatan erotis tersendiri untuk menahan sperma yang masih mencemari tubuhku. Kuantarkan Basri ke pintu. Dia harus cepat pergi dari rumahku. Saat telah siap semuanya, aku mendekat dan memagutnya dalam-dalam. Sesaat kami saling bertukar ludah dan lidah.
"Mas Basri, ntar kita cari waktu lagi, ya. Aku ingin dientot terus menerus sama Mas Basri. Kontolmu ini sangat membuatku mabuk. Aku masih belum puas".

Kontol Basri yang masih kugenggam langsung berdiri kembali. Aku tahu, kalau saja kutahan dia, Basri akan dengan senang hati tinggal. Mungkin sampai pagi. Tetapi kubimbing saja dia ke pintu, karena dia memang harus pergi dari rumahku sekarang. Tepat pada pukul 11.10 Kijang Basri sudah meninggalkan rumahku. Aku tidak langsung mematikan lampu-lampu. Bahkan aku masih sempat berjalan-jalan di taman rumahku, seakan-akan memperhatikan tanaman-tanaman bungaku yang memang setiap hari kurawat dengan penuh kecintaan.

Tetanggaku, Pak Taslim baru saja lewat bersama anaknya dari warung sebelah. Setelah pintu halaman kukunci, pada pukul 11.30 malam baru aku masuk rumah. Pintu utama kututup dan kukunci. Lampu-lampu yang tidak penting kumatikan. Baru aku menuju peraduan dengan masih menyimpan sperma Basri dalam nonokku dan sebagian sperma kering yang masih belepotan di sekitar mulutku. Aku nikmati terus agar selalu merasa dekat dengannya. Selama 2 hari berselingkuh dengan 4 lelaki teman kantor suamiku, aku baru merasakan bahwa hanya dengan Basrilah aku mendapatkan keaslian sifatnya. Bayangkan, dengan pendidikannya yang hanya dapat membuatnya menjadi satpam, dia berani melakukan sesuatu loncatan keluar jauh dari 'orbit'-nya, dia entoti aku yang merupakan istrinya bossnya di kantor, Mas Adit.



Read More

Serigala Lapar, Trilogy 1 - The Clan [part.7]

0 komentar
amoy bugil [Portal Seks]

Aku menjilat bibirku yang belepotan sperma Burhan yang kental yang yang muncratnya tidak tepat ke mulutku. Ternyata rasa sperma itu berbeda-beda. Walaupun sama sekali tidak mengurangi kenikmatannya, aku merasakan sperma Burhan ini sangat pahit. Belakangan baru aku tahu dari dokter Boyke, seorang pakar seks, bahwa berbagai rasa mungkin akan berbeda dari sperma lelaki. Hal itu sangat dipengaruhi oleh makanan apa yang telah dikonsumsinya dalam 24 jam terakhir. Ia juga menyatakan bahwa sperma itu mengandung protein dan berbagai unsur vitamin lainnya. Informasi itu membuatku semakin senang dan selalu kehausan muntuk meminum sperma.

Burhan yang telah menumpahkan spermanya langsung telentang di kasur. Sementara Wijaya semakin cepat memompa memekku. Dan juga mulai kurasakan dan kulihat bagaimana wajah Wijaya yang menyeringai keenakan, pasti tak akan lama lagi Wijaya juga akan menyemprotkan air maninya. Kembali buru-buru kutarik Wijaya ke atas ranjang. Dan tanpa perlu kuminta lagi dia langsung berjongkok dan menyodorkan kontolnya ke mulutku dan langsung memompa kecil sementara mulutku mengulumnya.

Wijaya berteriak keras saat spermanya keluar. Kontolnya ditekankan ke mulutku dalam-dalam hingga menyentuh tenggorokanku. Hampir saja aku tersedak. Cairannya juga sangat kental dan hangat. Nikmat sekali mengenyam cairan sperma milik Wijaya ini. Kali ini aku merasakan rasa asin dan gurih. Sementara itu ternyata Burhan sudah kembali memasukkan kontolnya kembali ke memekku. Rupanya melihatku mengulum kontol Wijaya tadi, Burhan dengan cepat kembali horny dan ngaceng. Dia pompakan kembali kontolnya ke memekku. Burhan memompanya semakin cepat. Di lain pihak Wijaya masih belum bersedia mengangkat kontolnya dari mulutku. Tampaknya dia masih sangat horny juga.

"Mbak, aku pengin terus-terusan, nih, lihat Mbak Adit yang ayu", ujarnya.
Aku tidak dapat menjawab dengan kontolnya yang masih menyumbat ke mulutku. Aku hanya berkedip-kedip. Kemudian dia melepaskan kontolnya dari mulutku. Beringsut dari atas dadaku menuju ke kanan tubuhku dan menunduk. Bibirnya melumat bibirku dan tangannya meremas payudaraku beserta putingnya. Ahh., nikmat sekali dikeroyok dua lelaki yang hebat-hebat permainan seksnya.

Dan akhirnya Burhan berhasil mengisi lubang vaginaku dengan spermanya. Kehangatan cairannya di liang vaginaku itu sungguh membuatku sedemikian horny. Aku ingin mendapatkan orgasmeku dari mereka ini. Wijaya masih terus melumat bibirku dan kini bergerak untuk melumat dada dan payudaraku. Tanganku mencoba menggapai kontolnya. Sungguh hari yang luar biasa bagiku. Kontol Wijaya masih sangat tegar. Rupanya satu kali memuntahkan air maninya tidaklah cukup. Dia harus memuntahkannya lagi untuk yang kedua kali.

Aku merasa ini merupakan jalan untuk mencapai orgasmeku.
"Wid, tolong Mbak Adit kamu entot di nonok, ya sayangg..", bisikku.
Tentu saja itu bukan hanya sekedar permintaan bagi Wijaya. Tetapi itu lebih merupakan perintah mutlak yang dengan senang hati dia akan laksanakan. Dan tanpa perlu perintah susulan, Wijaya langsung turun dari ranjang menjemput nonokku. Kontolnya yang sudah ngaceng seperti tugu Monas langsung dihunjamkannya ke lubang memekku.

Wijaya langsung bergerak memompakan kontolnya di lubang vaginaku. Kenikmatan yang kuterima bukan main dahsyatnya. Kepalaku tak bisa diam, meggeleng ke kanan dan ke kiri menahan nikmat itu. Aku merintih dan mendesah. Kucari-cari tangan Burhan dan kutarik untuk agar rebah di sampingku.
"Burhaann, cium akuu.. Burhaann.. cium akuu..".
Dan langsung kurasakan lumatan bibir Burhan meruyak mulutku. Ludahnya kusedot. Kepalanya langsung kupeluk erat-erat agar aku dapat menciumnya lebih intens untuk menahan kenikmatan kontol Wijaya yang sangat gencar keluar dan masuk merobek-robek vaginaku. Dan saat rasa ingin kencing mendesak dari dalam vaginaku, segera kulepaskan mulutku dari mulut Burhan. Kupeluk tubuhnya hingga bibirku bisa kudaratkan pada bahunya. Dan tanpa ampun lagi gigiku menghunjam tajam masuk ke daging bahu Burhan.

Di tengah teriakan kesakitan dari mulut Burhan, memekku akhirnya mendapatkan kepuasannya. Aku meraih orgasmeku. Dan pada saat bersamaan pula, Wijaya juga mencengkeram kedua pahaku, pertanda dia telah mendapatkan orgasmenya pula.
Aku terkapar, Wijaya terkapar, begitu juga Burhan terkapar. Kami bertiga mendapatkan kepuasan tak terhingga. Sepi, kecuali tarikan nafas berat dan panjang dari kami bertiga. Kulihat jam tanganku, sudah pukul 6 sore, benar-benar lupa daratan.

Aku minta untuk cepat pulang. Mandi 5 menit, bersisir ala kadarnya, berdandan ala kadarnya. Kemudian aku keluar menemui Rendi. Sepi. Kulihat mobilnya sudah tidak ada. Ternyata dia benar-benar ngambek. Kedua temannya mentertawakan ulah Rendi tersebut. Mereka akan bertanggung jawab untukku hingga sampai di rumahku dengan selamat. Kami keluar dari villa pukul 6.15 menit. Mampir dulu di restoran Sunda kesukaanku, kami makan banyak sayuran dan sambal. Aku makan cukup banyak setelah kerja keras melayani Burhan dan Wijaya.

Pukul 8.30 aku sudah sampai di rumahku. Aku tidak berkeberatan mereka berdua mengantarku hingga sampai rumah. Tetangga tidak akan berfikir negatif kalau melihatku pulang beramai-ramai dengan 2 atau 3 orang teman. Aku sangat kelelahan hari itu. Pertama dan yang terutama aku lelah karena pikiranku pada Rendi. Sikap Rendi yang kuanggap bukan sikap lelaki. Hal itu sangat menyedot energiku. Yang kedua adalah karena untuk meraih 4 kali orgasme sebagaimana yang kudapatkan selama 2 hari berturut-turut ini ternyata memerlukan tenaga fisik dengan melayani 3 orang teman Mas Adit yang sangat menguras tenagaku.

Tetapi bagaimanapun aku merasakan kebahagiaan yang tak terhingga, bahwa ternyata aku masih bisa meraih orgasme, walaupun tidak dari suamiku sendiri. Aku sempatkan untuk mandi air panas sebelum tidur. Aku juga menyiapkan juice tomat dan yoghurt campur madu kesukaanku. Aku akan tidur istrirahat total malam ini. Aku sudah naik ke ranjang saat telepon berdering. Jam menunjukkan pukul 10.12 menit. Siapa yang meneleponku selarut ini? Mas Aditkah? Rendi? Atau siapa?

"Selamat Malam Bu Adit, saya Basri", kucoba mengingat siapa Basri.
"Saya yang suka nganter pulang Pak Adit Bu, saya Satpam kantor Pak Adit. Nanti kalau Pak Adit sudah pulang dari Banjarmasin, saya juga yang disuruh menjemput beliau di airport", begitu dia teruskan bicaranya hingga langsung mengingatkanku pada seorang Satpam muda di kantor Mas Adit.
"Maaf mengganggu Ibu malam-malam begini. Saya telepon Ibu tadi agak sore, tapi rupanya Ibu belum pulang dari Bogor", lho koq tahu-tahunya aku ke Bogor..?!

Pikiranku cepat berputar. Si Basri tahu kalau aku ke Bogor, tentunya pasti ada yang memberi tahu. Dan pasti "tahu"-nya itu tidak sekedar tahu begitu saja. Apakah Rendi..? Ah.. pasti dia. Rendi telah berbuat culas.
"Ya, kenapa Mas Basri..", tanyaku balik seakan tidak ada masalah apa-apa denganku.
"Begini Bu Adit, ntar hari Senin khan saya akan menjemput Pak Adit. Kalau beliau tanya tentang Ibu, bagaimana saya mesti menjawabnya..? Bahwa Bu Adit pergi ke Bogor, ke villa Pak Anggoro bersama Pak Burhan dan Pak Wijaya..?".

Kurang ajar juga Satpam kampungan ini. Kurang ajar sekali si Rendi ini. Aku terhenyak dengan ucapan Basri di telepon tadi. Aku masih terdiam ketika.
"Bagaimana kalau kita bicarakan saja malam ini, Bu? Saya tunggu Ibu di depan kompleks perumahan Ibu. Saya tunggu di Kijang saya. Saya tunggu benar lho Bu Adit, atau..".
Klik, telepon dimatikan. Aku belum sempat menjawab tetapi Basri telah memutuskan teleponnya. Dan menurutnya dalam telepon tadi, dia sekarang sedang menunggu di depan kompleks perumahanku ini dengan mobil Kijangnya. Ini pemerasan.. dia mau minta apa? Uang.. atau..? Aku tidak berani meneruskan pemikiranku. Jangan-jangan dia memintaku tidur dengannya.

Aku mencoba mengingat-ingat dan membayangkan postur si Basri ini. Aku perkirakan usianya sekitar 30 tahunan. Kulitnya yang hitam karena banyak terjemur, dibungkus dengan seragam putih dan celana birunya. Ada tali peluit di kantongnya dan ikat pinggangnya yang keemasan karena rajin dibraso. Sebagai Satpam di kantor suamiku, Basri dipilh dari banyak calon yang memenuhi syarat. Antara lain penampilannya harus gagah, badan sehat, tegas, pintar bela diri dan lain-lainnya. Dan postur seperti Basri memang meyakinkan untuk menjadikannya sebagai satpam kantor. Aku akan mendiamkannya saja. Biarlah pemerasan tinggal pemerasan. Dan sungguh suatu hal yang sangat tidak mengenal perikemanusiaan untuk memeras perempuan seperti aku di malam hari begini. Ah, persetan. Kutunggu saja apa yang akan dikerjakan Basri selanjutnya.

Tetapi aku jadi tidak bisa tidur. Aku jadi merasa tertekan. Apa mau Basri sebenarnya? Apa mau Rendi? Mungkinkah dia sengaja menghinaku? Merendahkanku? Dasar serigala pengecut. Akan halnya Basri, memang dia cukup berotot sebagai satpam, pantaslah. Dan bagaimana jika dia memerasku dengan memintanya untuk tidur dengannya? Akan kuturutikah? Keterlaluan, bagaimana pula kata orang nanti? Bagaimana kata Rendi yang pengecut itu nanti? Dan lagi, bagaimana mungkin aku keluar rumah pada malam-malam begini? Apa kata tetangga nanti? Kemudian kalau ini adalah memang hasil pemikiran Rendi, akankah hal ini akan dapat diselesaikan cukup dengan satu orang seperti Basri ini? Karena nanti pasti dia juga akan menyebarkannya kepada orang lain.

Aku semakin bingung ketika telepon kembali berdering.
"Bagaimana Bu..? Saya sudah tidak sabar nih..", nadanya jelas-jelas mengancam.
"Pak Basri mau ngapain? Ini khan udah malam, aku tidak enak sama tetangga. Dan terus terang aku takut malam-malam begini. Besok saja telepon lagi!", telepon aku banting.
Ganti aku sekarang yang memutuskan telepon. Agar dia tahu bahwa aku tidak bisa diperas seenaknya. Telepon langsung berdering kembali.
"Kalau Ibu berani ke Bogor, terang-terangan di gilir bertiga selama dua hari berturut-turut, kenapa sekarang takut keluar rumah. Ini Jakarta Bu, jam 10 malam itu masih sore untuk orang Jakarta".
Wah, benar-benar sudah nekat rupanya si Basri. Aku tidak menjawabnya dan langsung kututup kembali.

Kembali dering itu terdengar lagi, mukaku sudah memerah karena amarah yang sangat.
"Kalau Ibu tidak mau pergi sama saya sekarang, saya tidak bisa apa-apa kalau Pak Adit nanti tanya soal Ibu di Bogor itu. Terus terang Bu, saya juga ingin merasakan tidur dengan Ibu. Dan saya yakin bisa memberikan kepuasan pada Ibu lebih dari tiga orang teman Pak Adit itu. Ayolah Bu.., kasih kesempatan saya. Atau saya jemput Ibu ke rumah saja?".
"Terserah..!, kubanting lagi telepon itu untuk yang ketiga kalinya.
Tetapi jawabanku terserah itu? Apakah aku memang berniat memenuhi permintaannya? Aku jadi bingung. Ini semua memang rekayasa Rendi yang gila itu. Aku jadi pasrah. Aku tak biasa ditekan macam begini. Aku cepat menyerah. Aku mau apa lagi? Dan itu dia, datanglah si Basri brengsek itu. Yang kini terpikir olehku sekarang adalah, bagaimana caraku agar hal ini tidak mencolok pada pandangan tetangga kanan-kiriku. Bagaimana aku harus bersandiwara. Aku harus mengajak si Basri juga untuk bersandiwara. Sialan kamu Rendi..!

Aku bergerak bangkit. Kunyalakan terang-terang semua lampu rumah. Lampu halaman, lampu beranda, lampu ruang tamu, lampu ruang makan. Semuanya jadi terang benderang saat Basri datang dan masuk rumah. Perhitunganku adalah dengan cara itu, akan mengurangi kecurigaan tetangga bahwa di malam hari begini aku menerima lelaki asing dalam suasana remang-remang. Kusambut Basri dengan ramah di depan pintu, untuk memberikan kesan bahwa yang datang adalah sanak familiku hingga Basri sendiri heran.

Dan kubuka lebar-lebar ruang tamu di mana Basri kupersilakan duduk saat akan masuk rumah. Dan aku sendiri juga menemaninya duduk layaknya seseorang menerima tamu keluarganya. Aku juga berbicara keras-keras dan tertawa-tawa, sambil mengisyaratkan kedipan mataku pada Basri untuk juga mengikuti sandiwara ini. Basri tahu, dan cepat menyesuaikan diri. Dia berlagak bebas di rumahku, berdiri, jalan sana-sini, melihat fotoku bersama Mas Adit di tembok dan sebagainya.



Read More

Serigala Lapar, Trilogy 1 - The Clan [part.6]

0 komentar
bugil mandi [Portal Seks]

Sesuai dengan janji, tepat pukul 12 aku sudah duduk di bangku warung gado-gado Boplo yang sangat terkenal di seantero Jakarta itu. Harganya selangit. Untuk seporsi gado-gadonya Rendi mesti membayar Rp. 25 ribu. Bandingkan dengan tukang gado-gado di rumah, hanya Rp. 2,500 saja. Sepuluh kalinya. Tiba-tiba saat menunggu pesanan, masuklah sebuah Lancer sedan dan parkir tepat di samping mobil Rendi. Nampak Rendi terkejut. Dia berkata bahwa itu adalah mobil teman kantornya.

Kemudian kulihat ada 2 orang turun dari mobil itu. Wow, cukup keren juga mereka. Tampak Rendi menjadi gugup tetapi tidak bisa mengelak. Teman-temannya itu langsung pula menatap dan mendatangi kami.
"Hai, ketemu di sini, nih.. asyik juga yaa..".
Dan mau tidak mau Rendi terpaksa memperkenalkan mereka padaku. Yang bernama Burhan, cukup jangkung dengan kulitnya yang agak gelap. Yang satunya bernama Wijaya, nampaknya keturunan chinese, tubuhnya berotot seperti binaragawan. Mereka tersenyum ramah padaku. Saat Rendi menyebutkan bahwa aku adalah Bu Adit mereka tidak terlalu terkeju. Hanya nampak mata-mata mereka yang nakal seakan ingin melahap tubuhku.

"Kami pernah melihat Ibu di tempat Pak Anggoro, boss kami, saat ada pesta tunangan putranya", begitu mereka menjelaskan mengenai kenalnya mereka padaku.
Aku mencoba mengingat-ingatnya. Kemudian mereka mencari tempat duduk yang agak berjauhan dari tempat duduk kami. Aku setuju saja saat Rendi mengusulkan untuk kembali ke villa di Bogor itu. Dan kami segera bergegas agar punya waktu lebih panjang untuk berasyik masyuk di sana.

Saat kami beranjak meninggalkan warung itu, kami melambaikan tangan untuk teman-teman Rendi yang juga teman suamiku itu. Mereka membalasnya, dan kulihat mata Burhan yang nakal mengernyitkan alisnya padaku dan melepas senyumannya. Ah, dia nampak jantan juga. Dengan kulitnya yang agak gelap, seperti apa ya kontolnya, pikiran gatalku lewat begitu saja.

Sepanjang jalan Rendi lebih banyak diam. Mungkin dia agak panik hingga hilang "mood"nya. Tapi aku berusaha menenangkannya. Biasanya antar lelaki tak akan membocorkan rahasia temannya. Kutepuk pundaknya supaya tenang. Sepertinya dia ingin menunda kencan selingkuh ini, tetapi tampaknya dia malu kalau akan dianggap sebagai pengecut olehku. Lagian mana aku mau..!! Persetan dengan teman-teman Rendi yang juga teman suamiku itu..

Jam 2 tepat kami sudah memasuki halaman villa. Pak Samin membukakan pintu halaman. Rendi memakirkan mobilnya di tempat parkir kemarin. Kami turun dari mobil dan aku menaiki tangga villa, sementara Rendi menemui Pak Samin sebentar. Begitu memasuki kamar kembali, sebagaimana kami memasuki kamar yang sama kemarin, kami langsung berpagutan. Kali ini kami saling menikmati pagutan-pagutan kami cukup lama. Nampaknya Rendi sudah tak lagi terpengaruh dengan teman-temannya tadi.

Aku buka saja ikat pinggangnya, kancing celananya, resluitingnya. Aku lepaskan celananya dan kulemparkan ke bangku yang ada di kamar itu. Begitu pula kemejanya hingga yang tertinggal hanya celana dalamnya. Hal yang amat kusukai adalah melihat Rendi setengah telanjang seperti itu. Sebelum aku sendiri melucuti kaos oblongku, Rendi menciumi pusarku yang sejak tadi telah begitu menarik libidonya. Aku menikmati sepenuh sanubariku. Kuelus-elus kepala Rendi yang bibrrnya sedang melumat pusarku dengan lembut itu. Kemudian hanya dengan membuka blus dan BH-ku sehingga nampak payudaraku yang lepas dan belum menanggalkan celana jeansku, kudorong Rendi ke ranjang. Aku terobsesi mengulangi seperti kemarin, menciumi lehernya, menjilati dan menggigit dadanya dan lembah harum ketiaknya.
Rendi hanya pasrah dan membiarkanku menikmati apa yang ingin kunikmati dari tubuhnya. Dia hanya mendesah dan setiap kali mengelus kepalaku sambil menyibakkan rambutku agar tidak mengganggu kesenanganku.

Tiba-tiba terdengar pintu halaman villa berderit. Ada yang datang. Rendi buru-buru bangkit. Kali ini kulihat dia sangat terkejut. Aku menyusul bangkit untuk melihat siapa yang datang. Ternyata itu mobil Lancer sedan. Rupanya Burhan dan Wijaya sengaja membuntuti kami. Rendi memukul tangannya sendiri menahan kekesalannya. Aku sendiri berusaha untuk tenang. Kulihat Burhan dan Wijaya turun dari mobil dan menaiki tangga villa. Mereka langsung duduk di berandanya. Rendi yang sangat kesal buru-buru berpakaian, tidak terlampau rapi dan dengan terpaksa dia keluar. Dia menemui kedua temannya tersebut.

"Huh, kamu mbuntuti aku ya..", nada bicaranya nampak sangat tidak bersahabat.
"Ah, nggak kok, kami memang sering main ke villa Pak Anggoro ini. Ya Wid, omong-omong bagi-bagi dong", Burhan menyahut sewotnya Rendi dan dengan enteng menyampaikan keinginannya untuk ikut mendapatkan bagian nikmat.
Aku tahu pasti yang dimaksud adalah minta kesempatan agar mereka juga kebagian ikut menikmati tubuhku sementara suaminya yang teman mereka sendiri sedang bertugas keluar kota. Hatiku sendiri berdesir mendengar omongan mereka ini. Aku mencoba mengintip dari celah pintu. Nampak Rendi sedang menempelkan jari telunjuknya di bibirnya, maksudnya agar tidak terlampau keras bicara karena takut aku akan mendengarnya.
"Memangnya kenapa..? Mungkin dia suka juga lho kita main bertiga..", kurang ajar orang-orang ini.

Kuperhatikan mereka semuanya. Rupanya mereka semua ini adalah serigala-serigala yang lapar. Lama mereka saling berbisik tanpa nampak ada jalan keluar. Tiba-tiba ada yang menjalar dalam darahku. Sesuatu yang sangat menggairahkan. Sesuatu yang mungkin akan memberikan sensasi bagiku. Exciting dan sensasional yang akan membakar seluruh atom dalam tubuhku. Aku membayangkan seandainya saja mereka bertiga ini telanjang bulat, dengan kontol-kontol mereka yang ngaceng berat mengerumuniku yang terjongkok di lantai, sambil tangan-tangan mereka mengocok kontolnya masing-masing dan bersiap sewaktu-waktu sperma mereka muncrat menghujani muka, rambut dan mulutku. Aku akan menganga selebar-lebarnya agar sperma-sperma mereka tidak terbuang sia-sia. Aku jadi "horny" sekali.

Kutengok lagi mereka dari celah pintu. Mereka belum juga kunjung mendapatkan solusi. Sementara libidoku mendesak nafsu birahiku yang datang akibat bayanganku tentang mereka yang telanjang dan menyemprotku dengan spermanya yang muncrat-muncrat. Aku tak lagi mampu sabar menunggu. Aku kuakkan saja pintu kamar itu. Dan mereka semua, Rendi, Burhan dan Wijaya serentak menengok ke pintu.

Aku, dengan dada yang telah terbuka langsung membuat mereka tertegun. Entah kaget, entah heran entah bernafsu. Dan aku, sambil melepas senyuman, kunikmati adegan saat para serigala lapar itu memelototkan matanya kepadaku. Aku sama sekali tidak perlu berbicara. Aku diam saja dengan senyumku sementara tanganku bergerak, jariku memilin-milin sendiri putingku, aku sengaja mendesah keras agar mereka mendengar desahanku dan terangsang.

"Mmass.. oohh..", aku merasa sangat kehausan.
Dan sangat menginginkan mereka bertiga segera melahapku. Aku merelakan diri dan tubuhku untuk mereka kunyah-kunyah. Aku ingin sekali gigi mereka segera menancap pada pahaku yang lembut, pada bokongku yang menurut orang sangat sintal, pada buah dadaku yang ranum, pada puting susuku. Aku heran juga, darimana munculnya sebuah keberanian dan kenekadan yang -bukan main- telah kulakukan di depan teman-teman suamiku ini. Aku heran juga akan hadirnya dengan tiba-tiba nafsu "exhibitionist" ini. Kupertontonkan pada mereka bertiga dadaku yang terbuka dengan payudaraku berikut puting-puting-nya yang sangat ranum ini. Kudengar suara Rendi yang tersendat.
"Maarr..".

Tetapi juga suara-suara yang lain. Bukan pembicaraan. Itu adalah suara dengusan Burhan atau Wijaya. Yang kemudian kulihat adalah Burhan mendahului langkah Rendi mendekatiku. Dia meraihku dan menutup pintu kamar tidur. Dia pagut bibirku. Dia pagut leher, pundak maupun payudaraku dengan liar. Dia kesetanan tanpa kontrol. Dia dorong aku ke ranjang. Aku di gumulinya. Dia remasinya bokongku, dia lumat-lumat payudaraku berikut putingnya.

Kudengar pintu kamar digedor-gedor dan akhirnya terbuka. Wijaya masuk kamar. Dia juga langsung merangsekku. Mungkin dia juga merasa bahwa haknya sama dengan Burhan untuk juga menggelutiku saat ini. Aku sangat menikmati keroyokan mereka. Untuk menyatakan "welcome"-ku, aku mendesis dan mendesah sambil tanganku menggapai ikat pinggang Burhan dan melepasnya. Kubuka celananya, kurogoh kontolnya. Demikian pula kulakukan yang sama pada Wijaya. Mereka kini sudah setengah telanjang. Dan selebihnya mereka sendiri yang melucuti dirinya hingga telanjang bulat.

Burhan dengan penuh ketidaksabaran melucuti celana jeansku. Dan Wijaya turut membantu melepasnya dari kaki-kakiku. Dengan sekali renggut celana dalamku juga langsung dilepas oleh Burhan. Ditariknya kakiku sehingga tubuhku berposisi diagonal dengan pantatku berada di tepian ranjang. Burhan berdiri di arah kakiku. Dia kuakkan selangkanganku dan dengan jelasnya menyaksikan nonokku yang mestinya sangat menantang kontolnya. Kemudian tangan kanannya meraih kaki kiriku, diangkatnya ke arah pundaknya. Dan selanjutnya dengan ketangkasan yang dimilikinya dan dengan serta merta dia meraih kontolnya yang telah ngaceng berat untuk di masukkan ke liang kemaluanku.
Kusaksikan sebentar kontolnya yang hitam. Wow, ukurannya sama persis dengan besar dan panjangnya kontol Rendi.

Aku bergetar. Aku merindukan kontol seperti itu sejak meninggalkan warung gado-gado tadi. Sayangnya kontol Rendi tak jadi menyerangku karena adanya gangguan dari Burhan dan Wijaya ini. Tapi bagiku akhirnya tak ada bedanya. Kontol Rendi atau kontol Burhan sama saja. Aku akan memberikan kepuasan seksual untuk pemilik kontol-kontol indah ini. Kontol Burhan baru saja menempel ke liang vaginaku ketika Wijaya yang juga telah telanjang bulat naik ke ranjang dan mengangkangiku. Dia berjongkok persis di atas dadaku. Dan kontolnya yang juga ternyata sebesar para koleganya, si Rendi dan Burhan, sudah mengacung keras dan kuat, berkilatan batang dan kepalanya tepat di depan wajahku. Sungguh sangat menggairahkan dan sensasional. Telanjang bulat dikeroyok teman-teman suamiku yang sama-sama berkontol besar, yang satu berusaha menembus nonokku, yang lain minta dijilati dan diisap.

Aku tidak tahu di mana Rendi. Mungkin dia mengambek. Aku membayangkan dia sedang bengong duduk di beranda. Aku sungguh merasa sangat beruntung. Aneh juga, hal yang beberapa saat sebelumnya hanya dapat kubayangkan, sekarang telah benar-benar kualami. Burhan menggenjot nonokku. Kontolnya yang hitam besar dan sangat legit kurasakan saat menembus vaginaku yang telah membasah sejak bersama Rendi tadi. Sementara itu, Wijaya yang ngentot mulutku meracau.
"Ayoo, Bu Adit.. isepp Buu.. ayyoo isep Bu Aditt.. besar mana sama kontol Pak Aditt heehh..", racauannya persis seperti orang kemasukkan setan pohon randu di belakang kampung di desa kelahiranku.

Kontol Wijaya ini sangat lezat. Kujilati akarnya yang menggunung tepat di bawah pangkal batang dan biji pelirnya. Dan dengan setengah merangkak, Wijaya menusukkan kontol putih besarnya merangsek mulutku. Dan pelan-pelan memompanya. Entah dimana aku saat ini. Yang dapat kurasakan hanyalah kenikmatan yang melayang-layang akibat tusukan kontol Burhan di vaginaku dan rangsekan kontol Wijaya di mulutku. Dan saat lamat-lamat kudengar rintihan tak tertahankan dari mulut Burhan. Itu pertanda bahwa tak lama lagi spermanya pasti muncrat. Dengan serta merta kutarik tangan Burhan dan kuajak naik ke ranjang dan sementara kulepaskan kuluman mulutku pada kontol Wijaya. Aku ingin agar Burhan menumpahkan spermanya ke mulutku. Aku ingin meminum spermanya. Burhan dan Wijaya secara berbarengan tahu apa yang kuinginkan dan mereka melayaniku dengan baik. Wijaya turun menggantikan peran Burhan mengentot memekku dan Burhan naik untuk mengocok kontolnya sendiri dan memuncratkan spermanya ke mulutku.



Read More

Serigala Lapar, Trilogy 1 - The Clan [part.5]

0 komentar
hot bugil mandi toge [Portal Seks]

Aku menjadi sangat ketagihan menciumi bau selangkangannya. Di lipatan paha dengan perut sebelah kanan dan kiri itu aku mendapatkan sensasi erotik sendiri. Saat bibir dan lidahku menyedot dan menjilati lebih turun lagi lipatan itu hingga mendekati lantai villa, tanganku mengisyaratkan agar Rendi mengangkat kedua pahanya ke atas dan terus melipatnya hingga lututnya menyentuh dadanya. Dan kini yang nampak adalah akhir paling bawah celana dalamnya yang langsung menutupi pada arah analnya. Inilah sasaran impianku. Menciumi wilayah anal Rendi yang masih terbungkus celana dalamnya. Dan bau yang khas pada daerah itu samar-samar mulai tertangkap hidungku. Dengan setengah menungging dan dengan kedua tanganku memeluk kedua pangkal bokong dan pahanya itu, seluruh wajahku terus menyungkup dan menciumi akhir celana dalam Rendi itu.

"Mbak.. Mbak Marinii.. pinter banget sihh..".
Rendi mendapatkan kenikmatan yang luar biasa dariku, istri Mas Adit, teman sekantor sekaligus atasannya. Dan kembali dengan isyarat tanganku yang mendorong agar dia berbalik tengkurap, Rendi menurunkan lipatan kakinya dan bergerak tengkurap. Tetapi saat dalam posisi setengah menungging, dia kutahan. Bahkan kuangkat sedikit agar dia benar-benar menungging. Rupanya Rendi tahu apa yang sangat kutunggu selama ini. Dengan kepalanya yang berbantalkan lantai, dia kini benar-benar menungging dengan menghadapkan pantatnya yang putih itu tepat di depan mukaku. Dan itulah yang kumau.

Aku mendekatkan wajahku ke pantat itu. Sungguh menjadi sensasi erotik yang baru pertama kudapatkan seumur hidupku. Kini aku siap menciumi pantat Rendi. Dengan cepat bau anal Rendi menyergap hidungku. Kususurkan kembali wajah, hidung, bibir dan lidahku ke belahan pantat Rendi. Kubuat kuyup celana dalamnya dengan lidah dan ludahku. Kuhisap-hisap basah tersebut dengan khayalan akan keringat dan serpihan dari duburnya yang bisa kuraih, kukenyam-kenyam dan kutelan untuk membagi kenikmatan pada tenggorokanku.

Kemudian dengan gigi, kucoba untuk menurunkan celana dalam Rendi dari tempatnya. Kukuak sedikit demi sedikit. Dan pada setiap kuakan kujulurkan lidahku untuk menjilati bukit pantat telanjangnya. Setiap kali kuulangi hingga rona merah dengan kerutan-kerutan halus yang mengarah ke titik pusat duburnya muncul terjangkau mata dan hidungku. Baunya yang khas semakin menyengat. Bulu-bulu cukup rimbun tampak mengitari lubang duburnya. Aku tidak tahan untuk menunda lidahku, aku mulai melumati dubur Rendi.

Aku merasakan ada semacam cairan. Itulah cairan analnya. Bukan basah tetapi juga tidak kering. Cairan itu agak terasa lengket-lengket, Dan saat kujilat aku merasakan sepatnya. Aku menjadi sangat bernafsu. Dengan liar hidung, bibir dan lidahku melahap kawasan pantat dan dubur Rendi. Tanganku langsung menurunkan celana dalamnya hingga seluruh onggokan pantat Rendi menjadi utuh telanjang sudah. Mukaku langsung kubenamkan dalam-dalam ke celahan pantatnya itu. Hidung dan bibirku menjadi sibuk menciuminya. Dan lidahku pun tak pernah berhenti menjilatinya.

Untuk pertama kalinya menjilati dubur, dan itu adalah dubur Rendi teman suamiku sendiri, sungguh merupakan sensasi erotis bagiku. Dalam menghadapi Rendi ini aku mendapatkan pengalaman erotis yang sungguh-sungguh membuat segala perasaan ragu-ragu dan rasa jijikku saat mengulum kontol, meminum sperma, menjilat pantat dan dubur lelaki seperti Rendi ini hilang sudah. Aku sendiri heran juga. Koq bisa. Sedangkan pada suamiku sendiri, membayangkannya saja bisa dipastikan aku akan muntah-muntah.

Tetapi memang pantat dan dubur Rendi luar biasa. Dengan kulitnya yang putih bersih, pantat dan dubur Rendi menjadi perangsang libidoku yang hebat. Aku jadi seperti terkena narkoba. Aku mabuk kepayang. Mabuk dalam nikmatnya nafsu birahi yang disebabkan tindakanku menjilati dubur lelaki pasangan selingkuhku. Dan pada akhirnya Rendilah yang tidak tahan. Rangsangan yang hebat dia rasakan dari setiap jilatan lidahku pada duburnya itu. Lidahku yang terus menusuk pantatnya seakan ingin menembusinya membuat Rendi berkelojotan sperti disentuh besi panas. Dengan setengah histeris dia minta aku menghentikannya. Dan Rendi buru-buru bangkit dari lantai sambil meraih dan mengangkat tubuhku menuju ranjang.

Mulai dengan tubuhnya yang menindih tubuhku, kami langsung bergumul. Saling sedot, saling jilat, saling gigit, saling isap. Dan kini dia berganti posisi menjadi dominator. BH-ku dilepaskannya dengan mulutnya yang menggigit tali-talinya dan menariknya hingga dadaku terbuka. Payudaraku yang tampak langsung dia mainkan. Aktifitas bibir dan lidahnya membuatku menjadi cacing yang kepanasan. Aku bergerak menggelinjang dan menggeliat-geliat menahan hebatnya rangsangan seksual saat puting susuku dikulumnya.

"Ampun Rendii, ampun Rendi, Renddiikuu sayangg.. ampunn..", aku terus meracau menahan nikmatnya.
Kemudian jilatan dan sedotannya turun ke perutku. Pusarku di lumatnya. Terus meluncur lagi ke bawah pusar. Terus turun lagi. Celana dalamku dia gigit dengan gemas. Dia tarik-tarik ke bawah dan diturunkannya hingga ke lututku.
Dia benamkan wajahnya ke selangkanganku. Diciuminya bulu-bulu tipisku. Karena pahaku belum terbuka sepenuhnya, dia kembali ke celana dalamku. Di tariknya hingga lepas satu kaki dan ditinggalkannya pada kakiku satunya. Sekarang dia bisa mengangkangkan pahaku untuk mendapatkan selangkanganku yang terbuka.

Kembali dia benamkan wajahnya ke selangkanganku yang sangat wangi oleh campuran keringat dan parfumku. Rendi benar-benar menjadi liar. Dia mainkan terus celah-celah dan lipatan selangkanganku yang pasti baunya sangat merangsangnya. Dan aku benar-benar telah melayang ke langit ke tujuh. Aku menggoyang-goyangkan kepalaku ke kanan dan ke kiri menahan kenikmatan itu. Aku juga terus menerus meracau dan mendesah-desah. Kujambak rambut Rendi keras-keras. Pasti pedih akibatnya pada kulit kepalanya. Tetapi rupanya itu juga menjadi kenikmatan tersendiri pula baginya.

Kemudian, rasanya Rendi sudah tak mampu lagi menahan kontolnya yang ingin segera menembus nonokku. Rendi lepaskan wajahnya dari selangkanganku dan merangsek naik menindih tubuhku. Dengan memagut bibirku kuat-kuat, tangannya memegang kontolnya yang aduhai itu, mengarahkannya ke nonokku yang dengan cepat pula kuraih. Kontol itu kutepatkan posisinya pada lubang vaginaku dan, bless.., Oohh.. legit sekali. Kontol besar panjang nikmat bertemu dengan vagina yang basah tetapi sempit. Aku terlempar kembali ke sejuta langit kenikmatan. Kupeluk tubuh Rendi dengan penuh hangatnya birahi dan nafsuku. Pantatku kugoyangkan untuk menenggelamkan sepenuhnya kontol Rendi ke dalam vaginaku.

Dinding-dinding vaginaku langsung terasa menguncup meremasi batangan kontol besar itu. Saraf-daraf pekaku bergerak menjepit dan melumat ketat batangan itu seakan tidak akan dilepaskannya lagi. Dan saat Rendi menariknya ke atas untuk kembali ditusukkannya, tak bisa kuhindarkan lagi teriakan nikmatku. Aku mendengus-dengus seperti sapi betina. Kuangkat kakiku untuk menjepit pinggul Rendi dan pantatku naik turun dengan cepat menjemput dan menarik kontol Rendi dalam vaginaku. Seluruh tubuhku bergetar dengan hebat.

Rendi langsung memompa dengan cepat dan keras. Batang kontolnya terasa seperti batu panas yang terus naik turun dan keluar masuk dengan hebat di vaginaku. Ciuman dan lumatan gilanya bersambut dengan lumatan gilaku juga. Kami berdua tenggelam dalam gelombang kenikmatan yang bertalu-talu. Akhirnya Rendi yang tak mampu bertahan lagi, memuntahkan spermanya langsung ke dalam vaginaku. Aku sepenuhnya tidak keberatan. Bahkan sangat merindukan untuk merasakan hangatnya semburan sperma Rendi dalam vaginaku ini. Aku menyambutnya dengan terus menggoyang-goyang pantatku dan vaginaku memerasnya hingga seluruh sperma Rendi habis.

Dan tepat pada saat tetes terakhir sperma Rendi, aku kembali merasakan desakan nikmat seperti akan kencing seperti halnya yang kurasakan kemarin di rumah. Aku akan meraih kembali orgasmeku yang sejak 15 jam terakhir sungguh-sungguh kunantikan. Dan saat orgasme datang, aku sudah tak sadar lagi, betapa emosiku yang langsung meledak oleh nafsu birahiku dengan tak sadar telah menancapkan dan menggoreskan kukuku ke punggung Rendi. Persetan. Rendi berteriak kesakitan atas goresan di punggungnya itu. Tetapi dia teruskan saja kocokkan kontolnya dalam upaya membantuku meraih kepuasan orgasmeku.

Begitu usai kami berdua langsung jatuh tergolek di kasur. Tangan-tangan kami terentang untuk menghela nafas-nafas kami agar mudah menarik oksigen villa Bogor yang sejuk ini. Aku dan Rendi terlelap beberapa waktu. Saat aku terbangun jam sudah menunjukkan pukul 5.10 sore. Kubangunkan Rendi. Rasanya masih enak untuk terus tidur. Tetapi kami takut kemalaman sampai Jakarta. Hari ini kami harus cukup puas dengan hanya sekali mendayung kenikmatan dalam lautan perselingkuhan yang nikmat ini.

Dan aku langsung sepakat saat Rendi mengajakku untuk terus mengisi hari-hari sebelum Mas Adit pulang untuk bersama mengarungi samudra nikmatnya perselingkuhan ini. Besok dia akan kembali menunggu di suatu tempat yang belum ditentukannya. Dia berjanji akan meneleponku besok pagi.

Pukul 8 malam, dengan taksi Blue Bird aku sudah sampai di rumah kembali. Aku turun dari taksi tanpa lupa kembali memakai blus lengan panjangku untuk menyembunyikan gaun sensualku yang menampakkan bahu mulusku. Malam itu aku tidur sangat nyenyak dengan mimpi-mimpi indahku. Setelah aku meminum segelas besar juice tomat ditambah semangkuk sedang yoghurt campur madu aku, langsung tertidur dan di jemput mimpiku.

Aku sepertinya sedang terbang di atas awan yang tinggi. Di bawah sana kulihat Mas Adit berada di bukit yang luas dengan rumput yang sangat hijau. Kulihat dia membawa kertas-kertas catatan dan blue print proyek. Dengan topi helm proyeknya dia menengadah ke atas, melihatku dan melambaikan tangannya. Aku datang dan kami langsung berpelukan. Lama bibirnya melumat bibirku. Kemudian rasanya aku menerima roll meter darinya. Aku berlari ke ujung bukit menarik roll meter itu mengukur panjangnya halaman. Kemudian aku berlari kembali ke pelukannya.

Sesaat Mas Adit melepaskan pelukannya untuk beranjak menuju semak rerumputan yang penuh bunga liar. Dia petik setangkai dan diciumnya. Kemudian dia serahkan bunga itu kepadaku. Aku ikut menciumnya. Dia buka blue print di tangannya. Itu adalah gambar rumah kami. Rumah mungil di atas bukit. Ada burung-burung yang terbang bebas. Ada luncuran anak yang berwarna biru. Ada tanaman cabai yang menjadi kesukaan kami berdua. Aku terbangun karena suara teleponku yang berdering. Kulihat jam menujukkan pukul 9.05 pagi. Aku telah tertidur lebih dari 10 jam. Aku turun dengan dengan cepat dari ranjang menghampiri pesawat telepon dan kuraih. Di ujung sana kudengar suara Mas Adit.

"Kemarin aku telepon berkali-kali seharian. Kamu ke mana?", agak geragapan juga aku menjawabnya.
"Ini Mas, aku ke Senen, nyarikan kado buat anaknya Pak Targo tetangga kita yang berulang tahun. Terus aku antarkan dan yaa, jadinya ngobrol sama ibunya sampai jam 8 malam", demikian lancarnya untuk aku yang tidak pernah membohongi suamiku selama ini.
Mas Adit tidak lagi mempersoalkan hilangnya aku kemarin. Dia berkata bahwa kemungkinan ia akan pulang pada hari Senin. Dan dia ulangi lagi bahwa kain tenun yang kuimpikan juga sudah diperolehnya.
"Kini aku sudah tidak mengimpikan lagi kain tenun itu. Kini aku lebih senang mengimpikan kontol Rendi yang besar, panjang dan kepalanya yang mengkilap itu, Mass", ujarku (dalam hati, tentunya).
Saat aku mandi, kembali telepon berdering. Aku pastikan bahwa ini dari Rendi, dan ternyata memang benar.
"Kamu mau makan apa siang ini, Mbak?".
"Terserah Rendi saja".
"Mau Ribnya Tony Romas atau gado-gado pasar Blopo".
"Gado-gado? Boleh juga".
"Gado-gado saja Ren, lagian tidak terlalu jauh dari rumahku".
Hari ini aku memilih mengenakan celana jeans ketatku, dengan blus kaos oblongku yang pendek modelnya, yang memang didesain untuk memperlihatkan pusar pemakainya. Aku memang ingin menunjukkan pusarku pada Rendi agar nafsu birahinya terbakar lebih hebat lagi.



Read More

Serigala Lapar, Trilogy 1 - The Clan [part.4]

0 komentar
miyabi maria ozawa hot bugil [Portal Seks]

Saat ini aku sudah mempunyai niat, apabila Rendi jadi mengajakku keluar, yang pasti akan berakhir di tempat tidur, aku akan berbuat lebih banyak untuk menyalurkan nafsu birahiku yang sangat menyala-nyala ini. Aku harus lebih siap. Aku punya banyak obsesi mengenai bagaimana melakukan berbagai hal di atas ranjang. Dan aku merasa hal-hal itu hanya akan terwujud dengan dan bersama Rendi.

Telepon yang kutunggu itu akhirnya berdering juga. Rendi minta agar kami bertemu di Slizer American Steak di kawasan jalan Bitung, Menteng. Dia mengajakku makan siang di situ. Aku sudah memikirkan baju apa yang akan kupakai untuk pertemuan dengan Rendi hari ini. Aku akan memakai baju yang menurut komentar teman-temanku saat aku memakai baju itu, paling sensual. Rok terusan sampai di dada dengan tali kecil yang menggantung ke bahu. Warnanya merah tua mawar. Bahannya sifon tipis, teman-teman bilang busana itu akan membuat postur tubuhku nampak sangat seksi karena efek dari bahan itu. Agar tidak menyolok saat aku keluar rumah, di luarnya aku memakai blus lengan panjang dengan warna coklat muda.

Aku sendiri tidak begitu suka make up yang terlalu menyulitkan, aku lebih senang kesan natural dan simplicity. Dan itulah yang membuatku jadi nampak cantik alami. "Elegan simplicity", begitu kata temen-temenku yang terpelajar.
Pukul 12.00 tepat aku turun dari taksi, dan kulihat Rendi sudah menungguku di depan pintu. Dia keluar untuk turun menjemputku. Aku tahu bahwa Rendi sangat terpesona penampilanku siang itu. Tidak banyak yang bisa diceritakan saat makan siang itu, kecuali Rendi yang matanya terus menerus mengagumi dan menikmati penampilanku.

"Mbak koq cantiknya luar biasa, kenapa sih. Dulunya makan apa koq sampai bisa jadi cantik dan seksi banget. Kontolku jadi ngaceng berat nih, lihat saja bahu Mbak Adit yang.. selangit deh", begitu terus menerus Rendi mengeluarkan bisikan-bisikannya di tengah orang ramai di Slizer American Resto itu.
Aku sangat tersanjung dibuatnya. Hari ini Rendi mengajakku ke Puncak. Dia kebetulan mempunyai hak menempati villa yang dipinjamkan oleh temannya. Aku "no comment" saja. Hatiku kembali tergetar. Aku ingin sekali meraih kenikmatan yang seperti kemarin. Aku ingin sekali merasakan orgasme yang seperti kemarin. Aku ingin sekali mewujudkan berbagai obsesi ranjangku. Aku sangat bernafsu birahi. Tanganku meremas keras-keras tangan Rendi sampai dia mengaduh.

Tepat pukul 1.15, dengan Honda Civic Rendi kami telah berada di gerbang tol Jagorawi. Sepanjang jalan Rendi banyak bercanda. Aku sendiri kuakui, agak merasa tegang. Aku terlampau serius hari ini. Aku akan mencoba untuk bersikap lebih santai.
"Ren, aku tidak bisa tidur lho semalaman", kucoba katakan pada Rendi.
"Kenapa Mbak?".
"Ya ini nihh penyebabnya..", aku tekadkan saja untuh menjamah selangkangannya yang berada di belakang kemudi Honda Civicnya.
Rendi nampak senang atas inisiatifku.
"Ooo.. begitu.. boleh Mbak, kalau kangen mau ketemu adikku ini", canda Rendi.

Aku tidak menyahut tetapi terus saja mengelus selangkangannya itu. Kurasakan tonjolannya semakin membesar dan mengeras. Sebentar-sebentar Rendi memandangku dengan matanya yang tajam menusuk ke hatiku. Rasanya aku semakin sayang saja padanya. Dia tarik handle kursinya hingga posisinya menjauh dari kemudi dan selangkangannya lebih leluasa menerima elusan-elusan tanganku.
"Keluarin saja Mbak, 'dia' khan juga ingin lihat Mbak", aku tertawa cekikikan.
Dan dengan tanpa menunggu perintah berikutnya, kuraih ikat pinggangnya dan kubuka. Kancing-kancing celananya juga kubuka. Demikian juga dengan resluitingnya. Dengan sedikit beringsut Rendi lebih mengendorkan posisinya agar aku dapat lebih mudah merogoh kontolnya.

Tidak tahu, mengapa aku merasa tidak sabar sekali saat itu. Aku inginnya buru-buru saja untuk meremas dan menyaksikan kontol penuh pesona itu. Kontol yang habis-habisan telah menyihirku. Kontol yang membuatku tak bisa tidur semalaman. Setelah merogoh-rogoh dan menyingkirkan jepitan-jepitan celana dalamnya, kontol itu akhirnya muncul mencuat dari selangkangan Rendi. Untuk kedua kalinya aku melihat pesona itu dengan takjub. Dan baru sekarang aku berkesempatan mengamatinya dengan lebih mendetail. Kueluskan jariku, kutoreh-toreh lubang kencingnya. Kontol itu cepat sekali mengeras hingga berukuran maksimum.

Dan kini dapat kulihat apa yang sangat pantas menjadi incaran banyak wanita itu. Indahnya, kepalanya mengkilat tegang. Dan belahan tempat lubang kencingnya juga ikut menegang menantang menunggu jilatan. Aku agak menahan diri untuk tidak bertindak terlalu jauh, khawatir akan mengganggu Rendi yang sedang menyopir di lajunya jalan tol Jagorawi. Tanganku dengan lembut mengelus kontol perkasa itu. Jari-jariku bermain pada sembarang permukaannya. Aku rasa ukurannya mengingatkanku pada pisang tanduk dari Bogor yang terkenal itu. Aku tak kuasa melepaskan sedetikpun kekagumanku. Setiap kali aku menghela nafas. Rupanya Rendi tahu. Dia memperlambat laju mobilnya dan menepi.
"Berhenti sebentar ya Mbak", aku tersenyum senang.

Setelah berhenti Rendi kembali memundurkan joknya dan lebih memiringkan sandarannya. Tidak maksimum, karena dia juga harus sambil mengamati jalanan, siapa tahu ada polisi jalan tol yang melakukan pengawasan pada mobil-mobil yang nampak bermasalah. Sekarang baru aku punya kesempatan untuk bermain. Aku dekatkan wajahku hingga hidungku bisa menangkap baunya, aku jadi sangat horny. Aku tak tahan lagi. Akhirnya mulutku mendekat dan mencaploknya. Mungkin tidak lebih dari 5 menit kuminta Rendi untuk jalan lagi. Itu sudah cukup untuk sekedar melepas beban keteganganku yang sejak pagi sudah kencang terus.
"Jalan lagi deh Ren. Rasanya aku kayak orang kehausan banget nih", Rendi tertawa.

Aku mungkin tertidur sekejap. Ternyata mobil Rendi sudah memasuki halaman villa itu. Nampaknya lumayan. Satu rumah menyendiri dengan taman dan pohon-pohon khas puncak yang dingin. Tak nampak ada seorangpun. Rendi memakirkan mobilnya dan kami turun. Tak lama kemudian ada seorang ibu yang kelihatannya orang setempat yang muncul dan mengucapkan salam. Dia katakan bahwa Samin penjaga rumah sedang ke toko sebelah untuk membeli rokok. Rendi tidak menanyakannya lebih jauh. Dia hanya menunjukkan bahwa kunci rumah villa itu sudah ada di tangannya. Dia menerimanya dari Pak Anggoro pemilik villa tersebut. Kemudian kami naik ke rumah dan Rendi membuka pintu. Ibu itu kemudian meninggalkan kami kembali ke rumahnya sendiri, bangunan kecil di bagian belakang rumah besar yang kami pakai ini, sebagai bagian dari rumah villa tersebut.

Ternyata fasilitas villa ini cukup lengkap. Ada lemari es yang berisi buah-buahan dan minuman dingin. Ada kompor dan lemari dapur yang lengkap dengan sachet kopi, teh, coklat dan sebagainya. Kami memasuki kamar tidur utama. Ruangannya lumayan besar dengan kamar mandi sendiri. Sementara menunggu Samin si penjaga, kami saling berpagutan. Bibir dan lidah kami langsung meliar. Saling menyedot dan menghisap bertukar ludah.

Rendi memelukku keras hingga pinggangku tertekuk ke belakang. Dan aku sambut dengan pelukan yang keras pula. Kami berpagut seakan telah seabad lamanya tidak berjumpa. Kami berdua nampak bagai orang-orang yang sangat kehausan. Dan aku, tanganku yang sudah tak sabar, langsung saja mencengkeram dan meremas selangkangan Rendi.
"Eit.., entar kita sedang keasyikan, dia nongol lagi", kata Rendi yang menunggu Samin.
"Kalau begitu biar aku menyiapkan minuman panas saja dulu", ujarku.
Dengan teko listrik yang ada di situ, aku buat kopi untuk Rendi dan teh panas manis untukku. Aku suguhkan pada Rendi kopinya, seakan aku membuatkan kopi pada Mas Adit suamiku.
"Sedaapp", kata Rendi sambil mengangkat kakinya ke ujung meja.
Pak Samin akhirnya muncul. Rendi berbasa-basi. Dia perkenalkan aku sebagai istrinya. Rendi bilang kami sekedar mampir dari perjalanan ke Bandung, tidak untuk menginap. Pak Samin lantas pamit undur diri.

Sehabis meminum kopi, kami langsung masuk ke kamar tidur. Dan kali ini aku yang mencoba untuk bersikap lebih tenang dan sabar. Aku merasa perlu menciptakan suasana nyaman dulu, biar tidak seperti ayam, begitu jantan melihat betinanya langsung saja diperkosa. Dengan penuh kelembutan bak istri yang setia, aku berlutut di lantai dan meraih sepatu Rendi. Aku bukain sepatu dan kaos kakinya satu per satu. Ah.. sungguh suatu surprise untuk Rendi. Dia bilang istrinya tidak pernah melakukan seperti ini. Dan aku juga bilang bahwa aku tak pernah melakukannya untuk suamiku. Ucapan-ucapan terakhir kami ini membuat gelegak nafsu birahi kami berdua melonjak. Rendi langsung turun dari kursinya dan memagut leher, bahu dan kemudian bibirku.

Dan muncullah suasana itu. Rasa kedekatan, kemesraan, ketulusan dan keintiman yang mengantarkan dan mengawali kenikmatan selingkuh seorang istri dengan teman suaminya. Edan memang. Dan kemudian dengan mesra pula Rendi menurunkan tali gaun sifonku sehingga busanaku yang tipis selembut sutra ini langsung merosot ke bawah dan menunjukkan dadaku yang indah terbungkus BH Animale-ku. Kembali bibirnya langsung memagut bahuku yang putih mulus dengan penuh nafsu birahinya. Aku menggeliat.

Dengan tetap lesehan di lantai villa itu, Rendi melucuti seluruh busanaku kecuali BH dan celana dalamku. Demikian pula aku terus melanjutkan melepaskan celana panjang dan kemejanya. Dan kutinggalkan pula celana dalamnya.
Rupanya kami memiliki keinginan yang sama. Saling melihat lawan selingkuhnya tetap menggunakan pakaian dalamnya. Tentunya ini merupakan salah satu konsep seni dalam bercinta. Dengan meneruskan bermain di lantai, Rendi merebahkan dirinya dan menarik tubuhku menindih tubuhnya. Kami kembali berpagut. Tetapi tak terlalu lama.

Kini aku mulai melaksanakan impianku. Bibirku kulepas dari bibirnya. Dengan terus mencium dan menjilati mulutku dan kemudian merambat ke dagunya, yang terasa kasar di bibir dan lidahku dikarenakan bulu-bulu dagunya yang habis dicukur, terus merambat, merambah lehernya. Tercium aromanya yang semerbak. Kusedot lehernya hingga Rendi menggelinjang dan mendesah.

Dengan tanganku masih memeluk kedua lengannya dan kemudian turun ke arah ketiak dan dadanya, bibir dan lidahku terus meluncur ke bukit gempal dadanya. Aku sangat menikmati saat lidahku menjilat yang kemudian diseling dengan bibirku yang menyedot untuk menyerap rasa asin keringat tubuh Rendi. Saat aku menjilat puting-putingnya, tangan Rendi mengelus rambutku. Dengan cara itu bangkitlah rasa saling sayang antara aku dengan Rendi. Sesekali tangan Rendi menyibakkan rambut panjangku agar tidak mengganggu kenikmatanku dalam menggigit dan menyedot kedua putingnya itu.

Dari dada, bibir dan lidahku menyisir ke samping kanan kemudian kiri. Sasaranku kini adalah menjilati dan membuat kuyup ketiak Rendi yang nampak ditumbuhi bulu-bulu yang membuatnya nampak sangat seksi. Dan saat hidungku sempat tenggelam dalam lembah ketiaknya, aku rasakan betapa nikmat sedapnya ketiak lelaki ini. Aku menggoyangkan pantatku.
Kemudian setelah memuaskan diriku dengan ketiak Rendi, bibir dan lidahku merambah perutnya. Kujilat dan kusedot pusarnya. Kujilati seluruh permukaan perutnya. Kegelian yang nikmat pasti telah menyerang Rendi. Dia mendesah dan mengaduh, dan badannya menggeliat-geliat menahan perasan geli.

Turun dari pusarnya aku menemui bulu-bulu yang semakin turun semakin merimbun. Tidak ada semilipun yang terlewat dari bibir dan lidahku. Kembali aku beringsut untuk memposisikan tubuhku agar tepat mengarah ke selangkangannya.
Dan saat sampai di sana, aku benamkan seluruh wajahku. Aku ciumi celana dalamnya yang telah menampakkan tonjolan kontolnya yang besar dan panjang. Disini aku menggigit dan mengisapnya hingga ludahku membasahi celana dalamnya.
Sungguh nikmat bau selangkangan Rendi. Dengan celana dalamnya yang belum dibuka, aku mendekatkan mukaku ke tempat luar biasa itu. Tangan Rendi terus mengelus kepala dan rambutku. Dan sesekali menyibakkan rambut panjangku agar tidak menggangu kenikmatan birahiku dan tentu saja demi kenikmatan dia sendiri juga.



Read More