![bugil montok [Portal Seks]](http://www.idols69.net/pictures/377-Hikaru-Koto/02.jpg)
Dari Banjarmasin, Mas Adit telepon bahwa
besok, temannya yang bernama Rendi, mau ambil beberapa file penting yang ada
dikomputer rumah untuk keperluan kantornya. Aku sempat berpikir, selama 8 tahun
pernikahan, rasanya belum pernah ada tamu lelaki saat Mas Adit tidak di rumah.
Ah, mungkin ini hanya kebetulan saja. Dan Mas Adit sendiri yang meminta agar
aku menerima temannya itu karena ada hal, tentu yang sangat penting, yang harus
di ambil dari komputernya.
Besoknya, sekitar pukul 9 pagi, ada mobil
parkir di depan rumah. Seorang pemuda, tampan dan jangkung memakai jaket untuk
membungkus badannya yang bidang, turun dari mobil itu, menyampaikan hormatnya.
"Pagi Bu. IBu Adit? Saya Rendi, Bu.
Apakah Pak Adit sudah menelepon Ibu, bahwa saya akan kemari? Saya memerlukan
beberapa file di komputer beliau untuk keperluan kantor yang harus saya
dapatkan hari ini, Bu. Saya harap tidak akan mengganggu Ibu".
"O, ya, Dik Rendi ya. Ya, kemarin Mas
Adit telepon saya. Silakan masuk, komputernya di sini dik", aku persilakan
Rendi mengikutiku ke tempat ruang kerja Mas Adit.
Dia membuka jaketnya, mungkin merasa gerah di
rumahku yang sempit ini. Aku lihat dia keluarkan beberapa lembar disket dari
kantong kemejanya dan langsung menyalakan komputer Mas Adit. Aku sempat pula
melirik dengan rasa kagum akan postur tubuhnya yang bidang itu.
Aku menawarkannya minum.
"Terima kasih Bu, jangan merepotkan Ibu.
Saya tidak lama koq".
"Ya, aku buatkan saja teh panas di
cangkir".
Kemudian nampak Rendi mulai berkutat di depan
monitor dan keyboard mencari file yang dimaksud. Rupanya Mas Adit sudah
memberikan ancar-ancar di lokasi dan folder mana, sehingga file itu langsung
Rendi dapatkan dan nampak dia telah menekan ikon copy ke directory A, tempat
disket yang dibawa Rendi tadi. Mungkin hanya sekitar 10 menit, semua yang
dilakukannya telah selesai. Kemudian Rendi minta ijin untuk ke toilet sebentar.
"Silakan, itu di samping ruang makan",
kupersilakan dia.
Tak ada hal-hal yang istimewa dari kedatangan
Rendi pagi ini. Kecuali memang kalau aku perhatikan teman Mas Adit ini termasuk
pria yang tampan. Penampilannya nampak bersih dan apik. Maklumlah orang
kantoran. Dia harus tampil "perfect" di depan para relasinya.
Sementara Rendi ke toilet, aku melanjutkan bebenah kamar tidurku sebagaimana
yang rutin aku lakukan setiap pagi hari. Beberapa saat kemudian aku mendengar
pintu kamar mandi terbuka dan langkah Rendi kembali menuju komputer di ruang
kerja suamiku. Karena tanggung oleh pekerjaanku di kamar tidur aku tidak serta
merta menyambanginya. "Ah, teman Mas Adit ini saja", pikirku. Saat
itu aku sedang membetulkan seprei ranjang bekas aku tidur semalam. Pintu kamar
tidurku terbuka dan kebetulan aku sedang dalam posisi bertumpu pada lututku di
lantai membelakangi pintu kamar.
Aku mendengar suara langkah yang halus.
"Bu.., Bu Adit..", kudengar suara
Rendi dan aku menoleh ke pintu. Aachh, apa yang nampak berada tepat di
belakangku sama sekali berada di luar nalarku. Rendi, Rendi, benarkah ini,
benarkah kamu Rendi. Di depanku yang sedang berposisi setengah jongkok di
lantai, Rendi berdiri tanpa celana panjangnya dengan kontolnya yang keluar dari
samping celana dalam putihnya dan diacung-acungkannya padaku. Sementara itu
kemejanya juga setengah terbuka hingga menampakkan gumpalan dadanya.
Bagai terkena sihir nenek lampir, aku terpana,
tak berkutik serasa ikan duyung yang terjerat dalam jaring nelayan, tak
berdaya, dikarenakan seluruh bentuk kehendak dan jiwaku langsung terlempar jauh
melayang tanpa tahu ke tempat mana akan jatuh tujuannya. Dan sihir itu juga
membuat mataku langsung tak mampu berkedip maupun mengelak atau melepas
pandanganku pada kontol Rendi yang hanya berjarak sekitar 2 jengkal dari
wajahku. Aku langsung lumpuh, jatuh terduduk dengan punggungku yang tersandar
pada ranjang. Aku ditimpa shock hebat hingga kehilangan setengah kesadaranku.
Bahkan telingaku juga serasa tuli kecuali hanya mendengar suara jantungku yang
dengan kerasnya sekana memukuli dadaku. Tidak sepenuhnya sadar pula ketika
tanganku menggapai-gapai tepian ranjang untuk berpegangan agar tubuhku tidak
limbung terjatuh.
"Mbak Adit..", itu suara bisikan.
Suara Rendi. Rendi bersuara dalam bisikan.
Tetapi karena hanya suara itu, di samping suara jantungku sendiri yang memukuli
dada, bisikkan itu terasa seperti suara guruh yang menggulung membahana di
telingaku. Aku ingin sekali menyahut suara Rendi, semacam refleks reaktif dari
apa yang membuatku shock hebat ini, tetapi lidahku dijerat kelu. Akupun
seketika bisu total.
Dan mataku, oohh mataku, kenapa aku tidak
mampu melepaskan pandanganku pada kontol itu. Dan leherku, mengapa leherku juga
terbawa beku dan tidak mampu untuk memalingkan wajahku dari kemaluan Rendi itu.
Dan yang terasa memukau pandangan dan perasaanku itu adalah adanya semacam
pesona. Wajah dan mataku terpaku pada pesona erotik yang sensasional dan sangat
spektakuler, kontol itu, betapa indahnya, betapa sedapnya, betapa nikmatnya.
Rasanya aku tak lagi memiliki kesabaran untuk mengulum, mencium dan menjilati
kontol seperti itu. Dan kepalanya itu yang bak jamur memerah mengkilat
dikarenakan seluruh darah yang telah mendesak di sana. Lubang kencingnya yang
nampak berlubang gelap di tengah bibir lubangnya yang begitu ranum. Warna
batangnya yang coklat muda kemerahan yang dikelilingi urat-uratnya yang juga
demikian indahnya, tampak sangat serasi dan sangat bersih. Tak terbayangkan
bahwa ada kontol seindah itu di dunia. Penampilan kontol itu mencuatkan refleks
biologisku. Lidahku bergerak menjilat bibir. Betapa ingin aku melumatinya. Aku
menelan liurku sendiri dalam upaya menekan keinginan yang meledak-ledak untuk
menelan kontol itu.
"Mbak Adit..", kembali bisikan itu
terdengar.
Kali ini sedikit memberikan kesadaran bagiku.
Aku menyadari bahwa kini Rendi memanggilku "Mbak", bukan lagi
"Ibu". Aku jadi menyadari bahwa dia ingin lebih dekat kepadaku. Dan
memang, kontol yang sangat mempesonakan mata dan hatiku itu sepertinya sengaja
kuundang untuk bergerak mendekat.
Dan dengan sekali bisikan lagi, "Mbak
Adit..", kontol itu telah menyentuh wajahku.
Mengusap-usap pipi, hidung dan bibirku.
Langsung aroma kelelakian Rendi menerpa hidungku, yang kemudian menembus masuk
keparu-paruku dan dengan tajamnya menghunjam ke sanubariku. Sihir nenek lampir
itu dengan seketika membuatku lumpuh total. Dan aku tak mampu menolak saat
kontol yang terus diusap-usapkan serta mendesak wajahku dan memaksa bibirku
terkuak. Rendi terus mendesak-desakkan kontolnya itu, terus mendesak. Dan aku,
hidungku, bibirku dan lidahku bak anak kecil yang disodori es cream yang super
lezat hingga ingin langsung menjilatinya.
Dan kini, dengan disertai desah dan lenguh
dari mulutku, bibirku pelan-pelan begerak melumat. Lidahku mulai menjilati
jamur itu. Aku, bibirku mulai mengulum daging yang terasa kenyal itu di dalam
mulutku. Kukulum, dan kemudian lidahku memindahkan segala rasa pada jamur itu
dan membawanya masuk ke mulutku. Kontol itu benar-benar telah meruntuhkanku.
Kontol itu telah meringkusku. Kontol itu telah membuatku kehilangan nalar
sebagai istri setia Mas Adit. Kontol itu telah meluluh lantakkan dan
melumatkanku sebagai istri yang untuk kesekian kalinya telah ingkar dan
berselingkuh pada suaminya. Pesonanya yang dahsyat dalam bentuknya yang indah
sensual, ototnya yang membuat batangnya menjadi sangat keras dan berkilat serta
kekuatan erotik yang memancar dari kontol Rendi itu membuatku kini terduduk
dengan bibirku yang penuh terjejali dan melumatinya.
"Aacchh.. Mbak Adit.. aachh.. Marini..,
kamu cantik sekalii Marr.. bibirmu sangat indah Mbak Marr..", desah nikmat
Rendi demi melihat bibir mungilku yang telah penuh oleh kontolnya.
Aku tidak lagi peduli akan suara-suara di
sekitarku, yang kupedulikan kini adalah bibirku yang terus melumat-lumat
dikarenakan pancaran pesona dahsyat kontol Rendi yang aroma, besar dan
panjangnya mampu membuatku terlempar melayang dalam jerat erotik tanpa batas.
Belum pernah aku menyaksikan pesona kontol
seindah, sebesar dan sepanjang itu. Aku tidak mampu mengukur seberapa besar
ukuran sebenarnya. Yang kucoba mengingatnya hanyalah bahwa ukuran kontol Rendi
yang mungkin 3 atau bahkan 5 kali lebih besar dan lebih panjang daripada kontol
Mas Adit, hingga pesona erotiknya dapat melambungkan nafsu birahiku hingga
jutaan kali nikmatnya. Oohh, ampuni aku Mass, aku telah terjajah dan
diinjak-injak oleh birahiku sendiri Maass.. ampuni aku Maass..
Kini aku mulai menyadari bahwa sihir yang
menimpaku ini adalah gelombang dahsyat yang menyeret dan menguras seluruh
libidoku. Kontol Rendi telah membangkitkan gelombang dahsyat pada diri
pribadiku. Dan mata hatiku, sang nakoda yang lemah ini, tak mampu lagi
menanggulanginya kecuali akhirnya pasrah dalam sejuta kenikmatan yang ada dalam
ingkar dan selingkuh pada suaminya. Dan yang terasa kini adalah prahara birahi
yang merambat seluruh nurani dan organ-organ tubuhku. Dan saat ada
tangan-tangan yang membongkar dan melepas busanaku, aku telah berada dalam
penantian yang penuh nafsu. Dan ketika terasa jari-jari tangan Rendi memelintir
puting susuku, tak terbayangkan lagi, entah di langit yang ke berapa aku
melayang-layang dalam nikmat birahi tak terperikan ini.
Tiba-tiba saja kusadari bahwa tubuhku telah
telanjang bulat. Dan tiba-tiba kusadarai bahwa Rendi juga telah dalam keadaan
telanjang bulat dengan selangkangannya yang mengangkangi wajahku. Dan aku
menjadi seperti anak lembu yang menyungkupkan mulutnya ke susu induknya untuk
mencari jawaban atas kehausannya yang melanda dengan hebat. Mulutku dan bibirku
kusorong-sorongkan ke biji pelir dan pangkal kontol Rendi untuk meraih
kenikmatan yang telah Rendi siapkan sepenuhnya.
Tanganku yang kini tak bisa kutolak kemauannya
itu, ikut ambil bagian menggenggam kontol Rendi, menaikkannya lekat-lekat ke
perutku hingga kini mulutku lebih leluasa mencium dan menjilati pangkal dan
bantangan kontol itu. Desahan dan rintihan yang terus keluar dari mulut Rendi
menjadi pendorong semangat mulutku agar lebih ganas menjilatinya. Cekalan
jari-jari Rendi pada urai rambutku menjadikanku lebih liar menyusup-nyusup ke
biji pelirnya. Aku kini telah sepenuhnya terbakar nafsu birahiku. Tak ada lagi
hambatan dan rambu-rambu yang bisa menghentikan.
Tidak ada protes dan sanggahan saat
tangan-tangan kokoh Rendi mengangkat dan membimbing tubuhku naik ke ranjang.
Dengan pantatku tetap di tepian ranjang dan lutut yang bertumpu di lantai, aku
telungkup di kasur tempat tidur pengantinku yang biasa aku tiduri bersama Mas
Adit suamiku. Dan tanpa ada waktu untuk berfikir, aku rasakan tubuh Rendi sudah
menindih tubuhku. Dia pagut kudukku, dia pagut leherku, dia pagut tengkukku,
bahuku, dia pagut dan jilati seluruh bukit dan dataran punggungku. Dia
tinggalkan cupang-cupang berserak bekas-bekas sedotan hisapan bibirnya di
seluruh wilayah yang dijarah bibir dan lidahnya. Dia buat kuyup seluruh
pori-pori tubuhku. Tangannya menggapai tangan-tanganku yang terentang di kasur,
dia remasi jari-jariku untuk bersama-sama menelusuri nikmat. Dan itulah awal
tangan-tangan Rendi memulai menyusuri lenganku hingga wilayah ketiakku yang
terus berlanjut ke buah dadaku.
Remasan-remasan tangannya ke kedua payudaraku
memaksak mendesah dan merintih dengan hebatnya.
"Rendii.. ampuunn.. Rendii..".
Dan kemudian aku langsung terhempas ke
awang-awang yang sangat tinggi saat bibir dan lidahnya meluncur dari
punggungku, melewati wilayah pinggulku langsung turun lagi untuk mendesak
belahan pantatku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar