![amoy bugil [Portal Seks]](http://galleries.allgravure.com/13163/rio-hamasaki-kimono2/1.jpg)
Aku menjilat bibirku yang belepotan sperma
Burhan yang kental yang yang muncratnya tidak tepat ke mulutku. Ternyata rasa
sperma itu berbeda-beda. Walaupun sama sekali tidak mengurangi kenikmatannya,
aku merasakan sperma Burhan ini sangat pahit. Belakangan baru aku tahu dari
dokter Boyke, seorang pakar seks, bahwa berbagai rasa mungkin akan berbeda dari
sperma lelaki. Hal itu sangat dipengaruhi oleh makanan apa yang telah
dikonsumsinya dalam 24 jam terakhir. Ia juga menyatakan bahwa sperma itu
mengandung protein dan berbagai unsur vitamin lainnya. Informasi itu membuatku
semakin senang dan selalu kehausan muntuk meminum sperma.
Burhan yang telah menumpahkan spermanya
langsung telentang di kasur. Sementara Wijaya semakin cepat memompa memekku.
Dan juga mulai kurasakan dan kulihat bagaimana wajah Wijaya yang menyeringai
keenakan, pasti tak akan lama lagi Wijaya juga akan menyemprotkan air maninya.
Kembali buru-buru kutarik Wijaya ke atas ranjang. Dan tanpa perlu kuminta lagi
dia langsung berjongkok dan menyodorkan kontolnya ke mulutku dan langsung
memompa kecil sementara mulutku mengulumnya.
Wijaya berteriak keras saat spermanya keluar.
Kontolnya ditekankan ke mulutku dalam-dalam hingga menyentuh tenggorokanku.
Hampir saja aku tersedak. Cairannya juga sangat kental dan hangat. Nikmat
sekali mengenyam cairan sperma milik Wijaya ini. Kali ini aku merasakan rasa
asin dan gurih. Sementara itu ternyata Burhan sudah kembali memasukkan
kontolnya kembali ke memekku. Rupanya melihatku mengulum kontol Wijaya tadi,
Burhan dengan cepat kembali horny dan ngaceng. Dia pompakan kembali kontolnya
ke memekku. Burhan memompanya semakin cepat. Di lain pihak Wijaya masih belum
bersedia mengangkat kontolnya dari mulutku. Tampaknya dia masih sangat horny
juga.
"Mbak, aku pengin terus-terusan, nih,
lihat Mbak Adit yang ayu", ujarnya.
Aku tidak dapat menjawab dengan kontolnya yang
masih menyumbat ke mulutku. Aku hanya berkedip-kedip. Kemudian dia melepaskan
kontolnya dari mulutku. Beringsut dari atas dadaku menuju ke kanan tubuhku dan
menunduk. Bibirnya melumat bibirku dan tangannya meremas payudaraku beserta
putingnya. Ahh., nikmat sekali dikeroyok dua lelaki yang hebat-hebat permainan
seksnya.
Dan akhirnya Burhan berhasil mengisi lubang
vaginaku dengan spermanya. Kehangatan cairannya di liang vaginaku itu sungguh
membuatku sedemikian horny. Aku ingin mendapatkan orgasmeku dari mereka ini.
Wijaya masih terus melumat bibirku dan kini bergerak untuk melumat dada dan
payudaraku. Tanganku mencoba menggapai kontolnya. Sungguh hari yang luar biasa
bagiku. Kontol Wijaya masih sangat tegar. Rupanya satu kali memuntahkan air
maninya tidaklah cukup. Dia harus memuntahkannya lagi untuk yang kedua kali.
Aku merasa ini merupakan jalan untuk mencapai
orgasmeku.
"Wid, tolong Mbak Adit kamu entot di
nonok, ya sayangg..", bisikku.
Tentu saja itu bukan hanya sekedar permintaan
bagi Wijaya. Tetapi itu lebih merupakan perintah mutlak yang dengan senang hati
dia akan laksanakan. Dan tanpa perlu perintah susulan, Wijaya langsung turun
dari ranjang menjemput nonokku. Kontolnya yang sudah ngaceng seperti tugu Monas
langsung dihunjamkannya ke lubang memekku.
Wijaya langsung bergerak memompakan kontolnya
di lubang vaginaku. Kenikmatan yang kuterima bukan main dahsyatnya. Kepalaku
tak bisa diam, meggeleng ke kanan dan ke kiri menahan nikmat itu. Aku merintih dan
mendesah. Kucari-cari tangan Burhan dan kutarik untuk agar rebah di sampingku.
"Burhaann, cium akuu.. Burhaann.. cium
akuu..".
Dan langsung kurasakan lumatan bibir Burhan
meruyak mulutku. Ludahnya kusedot. Kepalanya langsung kupeluk erat-erat agar aku
dapat menciumnya lebih intens untuk menahan kenikmatan kontol Wijaya yang
sangat gencar keluar dan masuk merobek-robek vaginaku. Dan saat rasa ingin
kencing mendesak dari dalam vaginaku, segera kulepaskan mulutku dari mulut
Burhan. Kupeluk tubuhnya hingga bibirku bisa kudaratkan pada bahunya. Dan tanpa
ampun lagi gigiku menghunjam tajam masuk ke daging bahu Burhan.
Di tengah teriakan kesakitan dari mulut
Burhan, memekku akhirnya mendapatkan kepuasannya. Aku meraih orgasmeku. Dan
pada saat bersamaan pula, Wijaya juga mencengkeram kedua pahaku, pertanda dia
telah mendapatkan orgasmenya pula.
Aku terkapar, Wijaya terkapar, begitu juga
Burhan terkapar. Kami bertiga mendapatkan kepuasan tak terhingga. Sepi, kecuali
tarikan nafas berat dan panjang dari kami bertiga. Kulihat jam tanganku, sudah
pukul 6 sore, benar-benar lupa daratan.
Aku minta untuk cepat pulang. Mandi 5 menit,
bersisir ala kadarnya, berdandan ala kadarnya. Kemudian aku keluar menemui
Rendi. Sepi. Kulihat mobilnya sudah tidak ada. Ternyata dia benar-benar
ngambek. Kedua temannya mentertawakan ulah Rendi tersebut. Mereka akan
bertanggung jawab untukku hingga sampai di rumahku dengan selamat. Kami keluar
dari villa pukul 6.15 menit. Mampir dulu di restoran Sunda kesukaanku, kami
makan banyak sayuran dan sambal. Aku makan cukup banyak setelah kerja keras
melayani Burhan dan Wijaya.
Pukul 8.30 aku sudah sampai di rumahku. Aku
tidak berkeberatan mereka berdua mengantarku hingga sampai rumah. Tetangga
tidak akan berfikir negatif kalau melihatku pulang beramai-ramai dengan 2 atau
3 orang teman. Aku sangat kelelahan hari itu. Pertama dan yang terutama aku
lelah karena pikiranku pada Rendi. Sikap Rendi yang kuanggap bukan sikap
lelaki. Hal itu sangat menyedot energiku. Yang kedua adalah karena untuk meraih
4 kali orgasme sebagaimana yang kudapatkan selama 2 hari berturut-turut ini
ternyata memerlukan tenaga fisik dengan melayani 3 orang teman Mas Adit yang
sangat menguras tenagaku.
Tetapi bagaimanapun aku merasakan kebahagiaan
yang tak terhingga, bahwa ternyata aku masih bisa meraih orgasme, walaupun
tidak dari suamiku sendiri. Aku sempatkan untuk mandi air panas sebelum tidur.
Aku juga menyiapkan juice tomat dan yoghurt campur madu kesukaanku. Aku akan
tidur istrirahat total malam ini. Aku sudah naik ke ranjang saat telepon
berdering. Jam menunjukkan pukul 10.12 menit. Siapa yang meneleponku selarut
ini? Mas Aditkah? Rendi? Atau siapa?
"Selamat Malam Bu Adit, saya Basri",
kucoba mengingat siapa Basri.
"Saya yang suka nganter pulang Pak Adit
Bu, saya Satpam kantor Pak Adit. Nanti kalau Pak Adit sudah pulang dari
Banjarmasin, saya juga yang disuruh menjemput beliau di airport", begitu
dia teruskan bicaranya hingga langsung mengingatkanku pada seorang Satpam muda
di kantor Mas Adit.
"Maaf mengganggu Ibu malam-malam begini.
Saya telepon Ibu tadi agak sore, tapi rupanya Ibu belum pulang dari
Bogor", lho koq tahu-tahunya aku ke Bogor..?!
Pikiranku cepat berputar. Si Basri tahu kalau
aku ke Bogor, tentunya pasti ada yang memberi tahu. Dan pasti
"tahu"-nya itu tidak sekedar tahu begitu saja. Apakah Rendi..? Ah..
pasti dia. Rendi telah berbuat culas.
"Ya, kenapa Mas Basri..", tanyaku
balik seakan tidak ada masalah apa-apa denganku.
"Begini Bu Adit, ntar hari Senin khan
saya akan menjemput Pak Adit. Kalau beliau tanya tentang Ibu, bagaimana saya
mesti menjawabnya..? Bahwa Bu Adit pergi ke Bogor, ke villa Pak Anggoro bersama
Pak Burhan dan Pak Wijaya..?".
Kurang ajar juga Satpam kampungan ini. Kurang
ajar sekali si Rendi ini. Aku terhenyak dengan ucapan Basri di telepon tadi.
Aku masih terdiam ketika.
"Bagaimana kalau kita bicarakan saja
malam ini, Bu? Saya tunggu Ibu di depan kompleks perumahan Ibu. Saya tunggu di
Kijang saya. Saya tunggu benar lho Bu Adit, atau..".
Klik, telepon dimatikan. Aku belum sempat
menjawab tetapi Basri telah memutuskan teleponnya. Dan menurutnya dalam telepon
tadi, dia sekarang sedang menunggu di depan kompleks perumahanku ini dengan
mobil Kijangnya. Ini pemerasan.. dia mau minta apa? Uang.. atau..? Aku tidak
berani meneruskan pemikiranku. Jangan-jangan dia memintaku tidur dengannya.
Aku mencoba mengingat-ingat dan membayangkan
postur si Basri ini. Aku perkirakan usianya sekitar 30 tahunan. Kulitnya yang hitam
karena banyak terjemur, dibungkus dengan seragam putih dan celana birunya. Ada
tali peluit di kantongnya dan ikat pinggangnya yang keemasan karena rajin
dibraso. Sebagai Satpam di kantor suamiku, Basri dipilh dari banyak calon yang
memenuhi syarat. Antara lain penampilannya harus gagah, badan sehat, tegas,
pintar bela diri dan lain-lainnya. Dan postur seperti Basri memang meyakinkan
untuk menjadikannya sebagai satpam kantor. Aku akan mendiamkannya saja. Biarlah
pemerasan tinggal pemerasan. Dan sungguh suatu hal yang sangat tidak mengenal
perikemanusiaan untuk memeras perempuan seperti aku di malam hari begini. Ah,
persetan. Kutunggu saja apa yang akan dikerjakan Basri selanjutnya.
Tetapi aku jadi tidak bisa tidur. Aku jadi
merasa tertekan. Apa mau Basri sebenarnya? Apa mau Rendi? Mungkinkah dia
sengaja menghinaku? Merendahkanku? Dasar serigala pengecut. Akan halnya Basri,
memang dia cukup berotot sebagai satpam, pantaslah. Dan bagaimana jika dia
memerasku dengan memintanya untuk tidur dengannya? Akan kuturutikah?
Keterlaluan, bagaimana pula kata orang nanti? Bagaimana kata Rendi yang
pengecut itu nanti? Dan lagi, bagaimana mungkin aku keluar rumah pada
malam-malam begini? Apa kata tetangga nanti? Kemudian kalau ini adalah memang
hasil pemikiran Rendi, akankah hal ini akan dapat diselesaikan cukup dengan
satu orang seperti Basri ini? Karena nanti pasti dia juga akan menyebarkannya
kepada orang lain.
Aku semakin bingung ketika telepon kembali
berdering.
"Bagaimana Bu..? Saya sudah tidak sabar
nih..", nadanya jelas-jelas mengancam.
"Pak Basri mau ngapain? Ini khan udah
malam, aku tidak enak sama tetangga. Dan terus terang aku takut malam-malam
begini. Besok saja telepon lagi!", telepon aku banting.
Ganti aku sekarang yang memutuskan telepon.
Agar dia tahu bahwa aku tidak bisa diperas seenaknya. Telepon langsung
berdering kembali.
"Kalau Ibu berani ke Bogor,
terang-terangan di gilir bertiga selama dua hari berturut-turut, kenapa
sekarang takut keluar rumah. Ini Jakarta Bu, jam 10 malam itu masih sore untuk
orang Jakarta".
Wah, benar-benar sudah nekat rupanya si Basri.
Aku tidak menjawabnya dan langsung kututup kembali.
Kembali dering itu terdengar lagi, mukaku
sudah memerah karena amarah yang sangat.
"Kalau Ibu tidak mau pergi sama saya
sekarang, saya tidak bisa apa-apa kalau Pak Adit nanti tanya soal Ibu di Bogor
itu. Terus terang Bu, saya juga ingin merasakan tidur dengan Ibu. Dan saya
yakin bisa memberikan kepuasan pada Ibu lebih dari tiga orang teman Pak Adit
itu. Ayolah Bu.., kasih kesempatan saya. Atau saya jemput Ibu ke rumah
saja?".
"Terserah..!, kubanting lagi telepon itu
untuk yang ketiga kalinya.
Tetapi jawabanku terserah itu? Apakah aku
memang berniat memenuhi permintaannya? Aku jadi bingung. Ini semua memang
rekayasa Rendi yang gila itu. Aku jadi pasrah. Aku tak biasa ditekan macam
begini. Aku cepat menyerah. Aku mau apa lagi? Dan itu dia, datanglah si Basri
brengsek itu. Yang kini terpikir olehku sekarang adalah, bagaimana caraku agar
hal ini tidak mencolok pada pandangan tetangga kanan-kiriku. Bagaimana aku
harus bersandiwara. Aku harus mengajak si Basri juga untuk bersandiwara. Sialan
kamu Rendi..!
Aku bergerak bangkit. Kunyalakan terang-terang
semua lampu rumah. Lampu halaman, lampu beranda, lampu ruang tamu, lampu ruang
makan. Semuanya jadi terang benderang saat Basri datang dan masuk rumah.
Perhitunganku adalah dengan cara itu, akan mengurangi kecurigaan tetangga bahwa
di malam hari begini aku menerima lelaki asing dalam suasana remang-remang.
Kusambut Basri dengan ramah di depan pintu, untuk memberikan kesan bahwa yang
datang adalah sanak familiku hingga Basri sendiri heran.
Dan kubuka lebar-lebar ruang tamu di mana
Basri kupersilakan duduk saat akan masuk rumah. Dan aku sendiri juga
menemaninya duduk layaknya seseorang menerima tamu keluarganya. Aku juga
berbicara keras-keras dan tertawa-tawa, sambil mengisyaratkan kedipan mataku
pada Basri untuk juga mengikuti sandiwara ini. Basri tahu, dan cepat
menyesuaikan diri. Dia berlagak bebas di rumahku, berdiri, jalan sana-sini,
melihat fotoku bersama Mas Adit di tembok dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar