![bugil [Portal Seks]](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgFnPGhrCNNwkoh5vjm2xXBIcsP3e8t-Ke11XX5tv-liZD5FM6oix2RNhtvOzPyI6_8RR8h5pORfbW24TVwFAiGCx7mdcT-sAUTE3qWrs7X_3wGIawa7URowidjHumR9fxyLSQ2JA-nj7px/s1600/182572346cf366944836bac5aa331ace3b4b87c.jpg)
Jakarta yang panas membuatku kegerahan di atas
angkot. Kantorku tidak lama lagi kelihatan di kelokan depan, kurang lebih 100
meter lagi. Tetapi aku masih betah di atas mobil ini. Angin menerobos dari
jendela. Masih ada waktu bebas dua jam. Kerjaan hari ini sudah kugarap semalam.
Daripada suntuk diam di rumah, tadi malam aku menyelesaikan kerjaan yang masih
menumpuk. Kerjaan yang menumpuk sama merangsangnya dengan seorang wanita dewasa
yang keringatan di lehernya, yang aroma tubuhnya tercium. Aroma asli seorang
wanita. Baunya memang agak lain, tetapi mampu membuat seorang bujang menerawang
hingga jauh ke alam yang belum pernah ia rasakan.
"Dik.., jangan dibuka lebar. Saya bisa
masuk angin." kata seorang wanita setengah baya di depanku pelan.
Aku tersentak. Masih melongo.
"Itu jendelanya dirapetin dikit..,"
katanya lagi.
"Ini..?" kataku.
"Ya itu."
Ya ampun, aku membayangkan suara itu berbisik
di telingaku di atas ranjang yang putih. Keringatnya meleleh seperti yang
kulihat sekarang. Napasnya tersengal. Seperti kulihat ketika ia baru naik tadi,
setelah mengejar angkot ini sekadar untuk dapat secuil tempat duduk.
"Terima kasih," ujarnya ringan.
Aku sebetulnya ingin ada sesuatu yang bisa
diomongkan lagi, sehingga tidak perlu curi-curi pandang melirik lehernya,
dadanya yang terbuka cukup lebar sehingga terlihat garis bukitnya.
"Saya juga tidak suka angin
kencang-kencang. Tapi saya gerah." meloncat begitu saja kata-kata itu.
Aku belum pernah berani bicara begini, di
angkot dengan seorang wanita, separuh baya lagi. Kalau kini aku berani pasti
karena dadanya terbuka, pasti karena peluhnya yang membasahi leher, pasti
karena aku terlalu terbuai lamunan. Ia malah melengos. Sial. Lalu asyik membuka
tabloid. Sial. Aku tidak dapat lagi memandanginya.
Kantorku sudah terlewat. Aku masih di atas
angkot. Perempuan paruh baya itu pun masih duduk di depanku. Masih menutupi
diri dengan tabloid. Tidak lama wanita itu mengetuk langit-langit mobil. Sopir
menepikan kendaraan persis di depan sebuah salon. Aku perhatikan ia sejak
bangkit hingga turun. Mobil bergerak pelan, aku masih melihat ke arahnya, untuk
memastikan ke mana arah wanita yang berkeringat di lehernya itu. Ia tersenyum.
Menantang dengan mata genit sambil mendekati pintu salon. Ia kerja di sana?
Atau mau gunting? Creambath? Atau apalah? Matanya dikerlingkan, bersamaan
masuknya mobil lain di belakang angkot. Sial. Dadaku tiba-tiba berdegup-degup.
"Bang, Bang kiri Bang..!"
Semua penumpang menoleh ke arahku. Apakah
suaraku mengganggu ketenangan mereka?
"Pelan-pelan suaranya kan bisa Dek,"
sang supir menggerutu sambil memberikan kembalian.
Aku membalik arah lalu berjalan cepat, penuh
semangat. Satu dua, satu dua. Yes.., akhirnya. Namun, tiba-tiba keberanianku
hilang. Apa katanya nanti? Apa yang aku harus bilang, lho tadi kedip-kedipin
mata, maksudnya apa? Mendadak jari tanganku dingin semua. Wajahku merah padam.
Lho, salon kan tempat umum. Semua orang bebas masuk asal punya uang. Bodoh
amat. Come on lets go! Langkahku semangat lagi. Pintu salon kubuka.
"Selamat siang Mas," kata seorang
penjaga salon, "Potong, creambath, facial atau massage (pijit)..?"
"Massage, boleh." ujarku sekenanya.
Aku dibimbing ke sebuah ruangan. Ada
sekat-sekat, tidak tertutup sepenuhnya. Tetapi sejak tadi aku tidak melihat
wanita yang lehernya berkeringat yang tadi mengerlingkan mata ke arahku. Ke
mana ia? Atau jangan-jangan ia tidak masuk ke salon ini, hanya pura-pura masuk.
Ah. Shit! Aku tertipu. Tapi tidak apa-apa toh tipuan ini membimbingku ke 'alam'
lain.
Dulu aku paling anti masuk salon. Kalau potong
rambut ya masuk ke tukang pangkas di pasar. Ah.., wanita yang lehernya
berkeringat itu begitu besar mengubah keberanianku.
"Buka bajunya, celananya juga," ujar
wanita tadi manja menggoda, "Nih pake celana ini..!"
Aku disodorkan celana pantai tapi lebih pendek
lagi. Bahannya tipis, tapi baunya harum. Garis setrikaannya masih terlihat. Aku
menurut saja. Membuka celanaku dan bajuku lalu gantung di kapstok. Ada dipan
kecil panjangnya dua meter, lebarnya hanya muat tubuhku dan lebih sedikit.
Wanita muda itu sudah keluar sejak melempar celana pijit. Aku tiduran sambil
baca majalah yang tergeletak di rak samping tempat tidur kecil itu. Sekenanya
saja kubuka halaman majalah.
"Tunggu ya..!" ujar wanita tadi dari
jauh, lalu pergi ke balik ruangan ke meja depan ketika ia menerima
kedatanganku.
"Mbak Wien.., udah ada pasien tuh,"
ujarnya dari ruang sebelah. Aku jelas mendengarnya dari sini.
Kembali ruangan sepi. Hanya suara kebetan
majalah yang kubuka cepat yang terdengar selebihnya musik lembut yang mengalun
dari speaker yang ditanam di langit-langit ruangan.
Langkah sepatu hak tinggi terdengar,
pletak-pletok-pletok. Makin lama makin jelas. Dadaku mulai berdegup lagi.
Wajahku mulai panas. Jari tangan mulai dingin. Aku makin membenamkan wajah di
atas tulisan majalah.
"Halo..!" suara itu mengagetkanku.
Hah..? Suara itu lagi. Suara yang kukenal, itu kan suara yang meminta aku
menutup kaca angkot. Dadaku berguncang. Haruskah kujawab sapaan itu? Oh.., aku
hanya dapat menunduk, melihat kakinya yang bergerak ke sana ke mari di ruangan
sempit itu. Betisnya mulus ditumbuhi bulu-bulu halus. Aku masih ingat sepatunya
tadi di angkot. Hitam. Aku tidak ingat motifnya, hanya ingat warnanya.
"Mau dipijat atau mau baca," ujarnya
ramah mengambil majalah dari hadapanku, "Ayo tengkurep..!"
Tangannya mulai mengoleskan cream ke atas
punggungku. Aku tersetrum. Tangannya halus. Dingin. Aku kegelian menikmati
tangannya yang menari di atas kulit punggung. Lalu pijitan turun ke bawah. Ia
menurunkan sedikit tali kolor sehingga pinggulku tersentuh. Ia menekan-nekan
agak kuat. Aku meringis menahan sensasasi yang waow..! Kini ia pindah ke paha,
agak berani ia masuk sedikit ke selangkangan. Aku meringis merasai sentuhan
kulit jarinya. Tapi belum begitu lama ia pindah ke betis.
"Balik badannya..!" pintanya.
Aku membalikkan badanku. Lalu ia mengolesi
dadaku dengan cream. Pijitan turun ke perut. Aku tidak berani menatap wajahnya.
Aku memandang ke arah lain mengindari adu tatap. Ia tidak bercerita apa-apa.
Aku pun segan memulai cerita. Dipijat seperti ini lebih nikmat diam meresapi
remasan, sentuhan kulitnya. Bagiku itu sudah jauh lebih nikmat daripada
bercerita. Dari perut turun ke paha. Ah.., selangkanganku disentuh lagi,
diremas, lalu ia menjamah betisku, dan selesai.
Ia berlalu ke ruangan sebelah setelah
membereskan cream. Aku hanya ditinggali handuk kecil hangat. Kuusap sisa cream.
Dan kubuka celana pantai. Astaga. Ada cairan putih di celana dalamku.
Di kantor, aku masih terbayang-bayang wanita
yang di lehernya ada keringat. Masih terasa tangannya di punggung, dada, perut,
paha. Aku tidak tahan. Esoknya, dari rumah kuitung-itung waktu. Agar kejadian
kemarin terulang. Jam berapa aku berangkat. Jam berapa harus sampai di Ciledug,
jam berapa harus naik angkot yang penuh gelora itu. Ah sial. Aku terlambat setengah
jam. Padahal, wajah wanita setengah baya yang di lehernya ada keringat sudah
terbayang. Ini gara-gara ibuku menyuruh pergi ke rumah Tante Wanti. Bayar
arisan. Tidak apalah hari ini tidak ketemu. Toh masih ada hari esok.
Aku bergegas naik angkot yang melintas. Toh,
si setengah baya itu pasti sudah lebih dulu tiba di salonnya. Aku duduk di
belakang, tempat favorit. Jendela kubuka. Mobil melaju. Angin menerobos kencang
hingga seseorang yang membaca tabloid menutupi wajahnya terganggu.
"Mas Tut.." hah..? suara itu lagi,
suara wanita setengah baya yang kali ini karena mendung tidak lagi ada keringat
di lehernya. Ia tidak melanjutkan kalimatnya.
Aku tersenyum. Ia tidak membalas tapi lebih
ramah. Tidak pasang wajah perangnya.
"Kayak kemarinlah..," ujarnya sambil
mengangkat tabloid menutupi wajahnya.
Begitu kebetulankah ini? Keberuntungankah?
Atau kesialan, karena ia masih mengangkat tabloid menutupi wajah? Aku kira aku
sudah terlambat untuk bisa satu angkot dengannya. Atau jangan-jangan ia juga
disuruh ibunya bayar arisan. Aku menyesal mengutuk ibu ketika pergi. Paling
tidak ada untungnya juga ibu menyuruh bayar arisan.
"Mbak Wien..," gumamku dalam hati.
Perlu tidak ya kutegur? Lalu ngomong apa? Lha
wong Mbak Wien menutupi wajahnya begitu. Itu artinya ia tidak mau diganggu.
Mbak Wien sudah turun. Aku masih termangu. Turun tidak, turun tidak, aku hitung
kancing. Dari atas: Turun. Ke bawah: Tidak. Ke bawah lagi: Turun. Ke bawah
lagi: Tidak. Ke bawah lagi: Turun. Ke bawah lagi: Tidak. Ke bawah lagi: Hah habis
kancingku habis. Mengapa kancing baju cuma tujuh?
Hah, aku ada ide: toh masih ada kancing di
bagian lengan, kalau belum cukup kancing Bapak-bapak di sebelahku juga bisa.
Begini saja daripada repot-repot. Anggap saja tiap-tiap baju sama dengan jumlah
kancing bajuku: Tujuh. Sekarang hitung penumpang angkot dan supir. Penumpang
lima lalu supir, jadi enam kali tujuh, 42 hore aku turun. Tapi eh.., seorang
penumpang pakai kaos oblong, mati aku. Ah masa bodo. Pokoknya turun.
"Kiri Bang..!"
Aku lalu menuju salon. Alamak.., jauhnya. Aku
lupa kelamaan menghitung kancing. Ya tidak apa-apa, hitung-hitung olahraga.
Hap. Hap.
"Mau pijit lagi..?" ujar suara
wanita muda yang kemarin menuntunku menuju ruang pijat.
"Ya."
Lalu aku menuju ruang yang kemarin. Sekarang
sudah lebih lancar. Aku tahu di mana ruangannya. Tidak perlu diantar. Wanita
muda itu mengikuti di belakang. Kemudian menyerahkan celana pantai.
"Mbak Wien, pasien menunggu,"
katanya.
Majalah lagi, ah tidak aku harus bicara
padanya. Bicara apa? Ah apa saja. Masak tidak ada yang bisa dibicarakan. Suara
pletak-pletok mendekat.
"Ayo tengkurap..!" kata wanita
setengah baya itu.
Aku tengkurap. Ia memulai pijitan. Kali ini
lebih bertenaga dan aku memang benar-benar pegal, sehingga terbuai pijitannya.
"Telentang..!" katanya.
Kuputuskan untuk berani menatap wajahnya.
Paling tidak aku dapat melihat leher yang basah keringat karena kepayahan
memijat. Ia cukup lama bermain-main di perut. Sesekali tangannya nakal
menelusup ke bagian tepi celana dalam. Tapi belum tersentuh kepala juniorku.
Sekali. Kedua kali ia memasukkan jari tangannya. Ia menyenggol kepala juniorku.
Ia masih dingin tanpa ekspresi. Lalu pindah ke pangkal paha. Ah mengapa begitu
cepat.
Jarinya mengelus tiap mili pahaku. Si Junior sudah
mengeras. Betul-betul keras. Aku masih penasaran, ia seperti tanpa ekspresi.
Tetapi eh.., diam-diam ia mencuri pandang ke arah juniorku. Lama sekali ia
memijati pangkal pahaku. Seakan sengaja memainkan Si Junior. Ketika Si Junior
melemah ia seperti tahu bagaimana menghidupkannya, memijat tepat di bagian
pangkal paha. Lalu ia memijat lutut. Si Junior melemah. Lalu ia kembali memijat
pangkal pahaku. Ah sialan. Aku dipermainkan seperti anak bayi.
Selesai dipijat ia tidak meninggalkan aku.
Tapi mengelap dengan handuk hangat sisa-sisa cream pijit yang masih menempel di
tubuhku. Aku duduk di tepi dipan. Ia membersihkan punggungku dengan handuk
hangat. Ketika menjangkau pantatku ia agak mendekat. Bau tubuhnya tercium. Bau
tubuh wanita setengah baya yang yang meleleh oleh keringat. Aku pertegas bahwa
aku mengendus kuat-kuat aroma itu. Ia tersenyum ramah. Eh bisa juga wanita
setengah baya ini ramah kepadaku.
Lalu ia membersihkan pahaku sebelah kiri, ke
pangkal paha. Junior berdenyut-denyut. Sengaja kuperlihatkan agar ia dapat
melihatnya. Di balik kain tipis, celana pantai ini ia sebetulnya bisa melihat
arah turun naik Si Junior. Kini pindah ke paha sebelah kanan. Ia tepat berada
di tengah-tengah. Aku tidak menjepit tubuhnya. Tapi kakiku saja yang seperti
memagari tubuhnya. Aku membayangkan dapat menjepitnya di sini. Tetapi, bayangan
itu terganggu. Terganggu wanita muda yang di ruang sebelah yang kadang-kadang
tanpa tujuan jelas bolak-balik ke ruang pijat.
Dari jarak yang begitu dekat ini, aku jelas
melihat wajahnya. Tidak terlalu ayu. Hidungnya tidak mancung tetapi juga tidak
pesek. Bibirnya sedang tidak terlalu sensual. Nafasnya tercium hidungku. Ah
segar. Payudara itu dari jarak yang cukup dekat jelas membayang. Cukuplah kalau
tanganku menyergapnya. Ia terus mengelap pahaku. Dari jarak yang dekat ini hawa
panas tubuhnya terasa. Tapi ia dingin sekali. Membuatku tidak berani. Ciut. Si
Junior tiba-tiba juga ikut-ikutan ciut. Tetapi, aku harus berani. Toh ia sudah
seperti pasrah berada di dekapan kakiku.
Aku harus, harus, harus..! Apakah perlu
menhitung kancing. Aku tidak berpakaian kini. Lagi pula percuma, tadi saja di
angkot aku kalah lawan kancing. Aku harus memulai. Lihatlah, masak ia begitu
berani tadi menyentuh kepala Junior saat memijat perut. Ah, kini ia malah
berlutut seperti menunggu satu kata saja dariku. Ia berlutut mengelap paha
bagian belakang. Kaki kusandarkan di tembok yang membuat ia bebas berlama-lama
membersihkan bagian belakang pahaku. Mulutnya persis di depan Junior hanya
beberapa jari. Inilah kesempatan itu. Kesempatan tidak akan datang dua kali.
Ayo. Tunggu apa lagi. Ayo cepat ia hampir selesai membersihkan belakang paha.
Ayo..!
Aku masih diam saja. Sampai ia selesai
mengelap bagian belakang pahaku dan berdiri. Ah bodoh. Benarkan kesempatan itu
lewat. Ia sudah membereskan peralatan pijat. Tapi sebelum berlalu masih sempat
melihatku sekilas. Betulkan, ia tidak akan datang begitu saja. Badannya
berbalik lalu melangkah. Pletak, pletok, sepatunya berbunyi memecah sunyi.
Makin lama suara sepatu itu seperti mengutukku bukan berbunyi pletak pelok
lagi, tapi bodoh, bodoh, bodoh sampai suara itu hilang.
Aku hanya mendengus. Membuang napas. Sudahlah.
Masih ada esok. Tetapi tidak lama, suara pletak-pletok terdengar semakin
nyaring. Dari iramanya bukan sedang berjalan. Tetapi berlari. Bodoh, bodoh,
bodoh. Eh.., kesempatan, kesempatan, kesempatan. Aku masih mematung. Duduk di
tepi dipan. Kaki disandarkan di dinding. Ia tersenyum melihatku.
"Maaf Mas, sapu tangan saya
ketinggalan," katanya.
Ia mencari-cari. Di mana? Aku masih mematung.
Kulihat di bawahku ada kain, ya seperti saputangan.
"Itu kali Mbak," kataku datar dan
tanpa tekanan.
Ia berjongkok persis di depanku, seperti
ketika ia membersihkan paha bagian bawah. Ini kesempatan kedua. Tidak akan
hadir kesempatan ketiga. Lihatlah ia tadi begitu teliti membenahi semua
perlatannya. Apalagi yang dapat tertinggal? Mungkin sapu tangan ini saja suatu
kealpaan. Ya, seseorang toh dapat saja lupa pada sesuatu, juga pada sapu
tangan. Karena itulah, tidak akan hadir kesempatan ketiga. Ayo..!
"Mbak.., pahaku masih sakit nih..!"
kataku memelas, ya sebagai alasan juga mengapa aku masih bertahan duduk di tepi
dipan.
Ia berjongkok mengambil sapu tangan. Lalu
memegang pahaku, "Yang mana..?"
Yes..! Aku berhasil. "Ini..,"
kutunjuk pangkal pahaku.
"Besok saja Sayang..!" ujarnya.
Ia hanya mengelus tanpa tenaga. Tapi ia masih
berjongkok di bawahku.
"Yang ini atau yang itu..?" katanya
menggoda, menunjuk Juniorku.
Darahku mendesir. Juniorku tegang seperti
mainan anak-anak yang dituip melembung. Keras sekali.
"Jangan cuma ditunjuk dong, dipegang
boleh."
Ia berdiri. Lalu menyentuh Junior dengan sisi
luar jari tangannya. Yes. Aku bisa dapatkan ia, wanita setengah baya yang
meleleh keringatnya di angkot karena kepanasan. Ia menyentuhnya. Kali ini
dengan telapak tangan. Tapi masih terhalang kain celana. Hangatnya, biar
begitu, tetap terasa. Aku menggelepar.
"Sst..! Jangan di sini..!" katanya.
Kini ia tidak malu-malu lagi menyelinapkan
jemarinya ke dalam celana dalamku. Lalu dikocok-kocok sebentar. Aku memegang
teteknya. Bibirku melumat bibirnya.
"Jangan di sini Sayang..!" katanya
manja lalu melepaskan sergapanku.
"Masih sepi ini..!" kataku makin
berani.
Kemudian aku merangkulnya lagi, menyiuminya
lagi. Ia menikmati, tangannya mengocok Junior.
"Besar ya..?" ujarnya.
Aku makin bersemangat, makin membara, makin
terbakar. Wanita setengah baya itu merenggangkan bibirnya, ia terengah-engah,
ia menikmati dengan mata terpejam.
"Mbak Wien telepon..," suara wanita
muda dari ruang sebelah menyalak, seperti bel dalam pertarungan tinju.
Mbak Wien merapihkan pakaiannya lalu pergi
menjawab telepon.
"Ngapaian sih di situ..?" katanya
lagi seperti iri pada Wien.
Aku mengambil pakaianku. Baru saja aku
memasang ikat pinggang, Wien menghampiriku sambil berkata, "Telepon aku
ya..!"
Ia menyerahkan nomor telepon di atas kertas
putih yang disobek sekenanya. Pasti terburu-buru. Aku langsung memasukkan ke
saku baju tanpa mencermati nomor-nomornya. Nampak ada perubahan besar pada
Wien. Ia tidak lagi dingin dan ketus. Kalau saja, tidak keburu wanita yang
menjaga telepon datang, ia sudah melumat Si Junior. Lihat saja ia sudah separuh
berlutut mengarah pada Junior. Untung ada tissue yang tercecer, sehingga ada
alasan buat Wien.
Ia mengambil tissue itu, sambil mendengar
kabar gembira dari wanita yang menunggu telepon. Ia hanya menampakkan diri
separuh badan.
"Mbak Wien.., aku mau makan dulu. Jagain
sebentar ya..!"
Ya itulah kabar gembira, karena Wien lalu
mengangguk.
Setelah mengunci salon, Wien kembali ke
tempatku. Hari itu memang masih pagi, baru pukul 11.00 siang, belum ada yang
datang, baru aku saja. Aku menanti dengan debaran jantung yang
membuncah-buncah. Wien datang. Kami seperti tidak ingin membuang waktu, melepas
pakaian masing-masing lalu memulai pergumulan.
Wien menjilatiku dari ujung rambut sampai
ujung kaki. Aku menikmati kelincahan lidah wanita setengah baya yang tahu di
mana titik-titik yang harus dituju. Aku terpejam menahan air mani yang sudah di
ujung. Bergantian Wien kini telentang.
"Pijit saya Mas..!" katanya
melenguh.
Kujilati payudaranya, ia melenguh. Lalu
vaginanya, basah sekali. Ia membuncah ketika aku melumat klitorisnya. Lalu
mengangkang.
"Aku sudah tak tahan, ayo dong..!"
ujarnya merajuk.
Saat kusorongkan Junior menuju vaginanya, ia
melenguh lagi.
"Ah.. Sudah tiga tahun, benda ini tak
kurasakan Sayang. Aku hanya main dengan tangan. Kadang-kadang ketimun. Jangan
dimasukkan dulu Sayang, aku belum siap. Ya sekarang..!" pintanya penuh
manja.
Tetapi mendadak bunyi telepon di ruang depan
berdering. Kring..! Aku mengurungkan niatku. Kring..!
"Mbak Wien, telepon." kataku.
Ia berjalan menuju ruang telepon di sebelah.
Aku mengikutinya. Sambil menjawab telepon di kursi ia menunggingkan pantatnya.
"Ya sekarang Sayang..!" katanya.
"Halo..?" katanya sedikit terengah.
"Oh ya. Ya nggak apa-apa," katanya
menjawab telepon.
"Siapa Mbak..?" kataku sambil
menancapkan Junior amblas seluruhnya.
"Si Nina, yang tadi. Dia mau pulang dulu
ngeliat orang tuanya sakit katanya sih begitu," kata Wien.
Setelah beberapa lama menyodoknya, "Terus
dong Yang. Auhh aku mau keluar ah.., Yang tolloong..!" dia mendesah keras.
Lalu ia bangkit dan pergi secepatnya.
"Yang.., cepat-cepat berkemas. Sebantar
lagi Mbak Mona yang punya salon ini datang, biasanya jam segini dia
datang."
Aku langsung beres-beres dan pulang.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar