Rabu, 11 Juli 2012

Serigala Lapar, Trilogy 1 - The Clan [part.8]

0 komentar
bugil cantik montok [Portal Seks]

Aku mulai secara khusus memperhatikan pria yang ingin tidur denganku ini. Kali ini dia datang tanpa seragam satpamnya. Wow, ternyata kharisma kelelakiannya tak kalah dari penampilan Rendi maupun Burhan dan Wijaya. Dengan T-shirt Polo (mungkin merk imitasi) dan celana Valentinonya (barangkali juga imitasinya), di mataku Basri jadi tampak sangat tampan. Posturnya yang di atas 175 cm, membuatku hanya setinggi bahunya. Kekesalanku akan teleponnya tadi seketika lenyap. Bahkan kelelahanku dari perjalanan ke Bogorpun ikut lenyap. Dan untuk tetangga-tetangga sekitar yang kemungkinan usil karena aku telah menerima tamu pria di malam hari sementara suamiku berada di luar kota, persetan! Tidak akan semudah itu menuduhku berbuat macam-macam.

Dengan membiarkan semua pintu tetap terbuka lebar-lebar, pelan-pelan aku mengajak Basri menuju ruang makan yang tak nampak dari halaman depan dan jalanan. Di situ Basri langsung menubrukku. Dia langsung mencium kudukku dan tangannya memeluk dadaku, meremas payudaraku. Berani benar dia, batinku. Dan terus terang aku jadi sangat bernafsu menjalani sandiwara ini. Ini merupakan skandal terbesar sejak aku selingkuh dengan Rendi. Ini merupakan pertaruhan dengan risiko terbesar selama aku berani berkhianat pada Mas Adit, suamiku. Darahku terasa menggelegak. Jantungku berdegup keras. Aku gemetar sejadi-jadinya. Perasaan birahi yang menggelegak campur aduk dengan rasa takut tertangkap orang di kampungku, bercampur aduk.

"Bu Adit, kita keluar yuk".
"Nggak, ah. Di sini saja. Aman, deh. Tenang saja..", aku menjawab sambil tersenyum dan mendekatkan bibirku ke bibirnya.
Kami berpagutan dengan penuh nafsu. Aku sudah tidak tahan untuk tidak meraba selangkangannya. Aku mendesah. Tangan kiri Basri memeluk pinggangku, sementara tangan kanannya mulai bermain meremas-remas payudaraku yang masih terbungkus dalam blusku. Kuraba selangkangan itu.
"Waduuhh.. pentungan Satpam benaran nih..", batinku.

Aku meraba daging panas yang sangat besar dan panjang di balik celananya. Kuremas. Pantat Basri langsung menekan tanganku menahan gelinjang kontolnya.
"Jangan lebih dari 1 jam yang Mas Basri",
"Uuhh, cukup Bu, cukup Bu, cc.. cukkupp.. Bb.. Bu.. Jangan-jangan Ibu yang kurang nanti", mendengar jawabannya yang nakal aku tertawa geli sambil mencubit pantatnya.
Dia mengaduh, manis. Cukup lama kami saling berpagut dan meremas apa saja. Kubimbing Basri menuju kamar tidur pengantinku, tempat yang biasanya hanya aku dan Mas Adit -bossnya- yang tidur di atasnya.

Dan saat sampai di tepi ranjang, kudorong tubuhnya hingga telentang di ranjang. Aku menyusul menindihnya. Kami bergulingan. Dan dengan penuh ketidaksabaran kami saling melucuti pakaian. Aku melucuti pakaiannya, dia melucuti pakaianku. Kami telah siap untuk langsung menuju kenikmatan tak terhingga. Aku telentang di kasur dengan pahaku yang terbuka menjepit tubuhnya. Dia bergerak sedikit mengangkat pantatnya, tangan kirinya menggenggam kontolnya untuk diarahkannya ke memekku. Aku lebih melebarkan pahaku untuk bersiap menerima kontol itu menembus kemaluanku.
Saat bibir vaginaku tersentuh ujung kontol yang mirip pentungan itu, aku langsung memejamkan mataku dan jiwaku seakan melayang ke langit. Aku bergetar. Pantatku kuangkat-angkat sedikit kerena sangat merindukan kontol itu untuk secepatnya terbenam ke kemaluanku.

Seperti biasanya, Basri sangat ahli, ujung kontol itu dimainkan terlebih dulu di gerbang vaginaku untuk memancing cairan birahiku. Tetapi tak perlu memakan waktu lama, karena cairan itu sebenarnya telah mulai keluar sejak aku meremas celananya tadi. Dan tak ayal lagi, kurasakan betapa batangan besar dan hangat itu akhirnya tertelan seluruhnya hingga ke akar-akarnya, masuk dan menembus vaginaku. Seketika itu pula saraf-saraf peka pada dinding vaginaku bekerja menyambut batang itu. Diremas-remasnya kontol Basri. Mengencang dan mengendor bergantian.

"Dduhh, Ibuu.. Bu Aditt.. ennhakk bBHhaanngett.. Bbuu..".
Basri langsung memompakan kontolnya, suara pelirnya yang terayun-ayun memukuli akar kontolnya sendiri, akibat dari ayunan pompa kontol besarnya itu ke lubang memekku. Dan aku sendiri yang mendapat landa kenikmatan tak terhingga ini hanya bisa mendesah dan merintih sambil kepalaku bergoyang ke kanan dan ke kiri, seperti menggeleng-geleng, karena nikmat yang tak mampu kutahan itu.

Kami bersanggama penuh irama dan improvisasi yang mengalir. Sungguh hebat si Basri ini. Tubuhnya di jatuhkan miring. Tanpa mencabut kontolnya, dia angkat kaki kiriku melintasi tubuhnya dan tetap dipegang dengan tangan kirinya. Aku dientotnya dari arah belakang punggungku. Kemudian dengan posisi strategis itu yang membuat ketiakku tepat berada di dekat wajahnya, dia peluk tubuhku dengan tangan kanannya dan lebih didekatkannya ketiakku dan di ciuminya.

Paduan entotan pada vaginaku dan ciuman pada ketiakku ini benar-benar membuatku terlempar jauh melayang dalam gelombang nikmat tak terperikan. Pantatku langsung bergoyang-goyang untuk mempercepat tusukan kontol nikmat milik Basri itu. Aku berteriak kecil dan merintih.
"Mas Basrii.. Mas Basrrii.. Mas Bassrrii..", tidak tahu lagi aku mesti bicara apa.
Setelah posisi itu kami nikmati beberapa saat, Basri membisiki telingaku.
"Bu, nungging donk..", dan segera kurespon.
Aku bergerak menungging, mulai dengan tengkurap, kemudian pelan-pelan kunaikkan pantatku, kemudian lututku mengambil alih peran sebagai tumpuan pantatku. Hebatnya si Basri tetap tidak mau melepaskan kontolnya yang telah menancap pada vaginaku. Itu berarti dia harus mendukung tubuhnya hanya pada dengkulnya. Dan saat akhirnya sepenuhnya aku berhasil menungging, Basri sudah setengah bangkit, seperti anjing jantan, kontolnya masih menancap pada betinanya. Wow..

Kurasakan posisi ini membuat kontol Basri main merangsek dan meruyak kedalaman vaginaku. Titik-titik saraf peka birahiku mengelinjang. Ujung kontol itu mendesak gerbang rahimku. Aku, dengan kepalaku yang bertumpu pada bantal, jari-jari tanganku meremasi tepian bantal-bantalku. Aku merasakan kenikmatan itu seakan air bah yang menghanyutkan seluruh haribaanku. Kenikmatan ini sungguh tak bertara.

Aku mulai merasakan ada desakan ingin kencing dari dalam vaginaku. Ini bukan lagi untuk yang pertama kalinya. Sejak dua hari yang lalu aku sudah merasakan hal seperti ini 4 kali. Dan ini adalah untuk yang ke lima kalinya. Aku akan menyongsong kenikmatan tertinggi seorang wanita dari sanggamanya. Aku akan meraih orgasmeku.
"Acchh.. Mass Basrii.. tolonng akuu.. Basrii.. tolongg..".
Kontol Basri makin cepat memompa. Pantatku berusaha bergoyang untuk menangkap nikmat pompaan Basri. Kami mulai merasakan berada di gerbang kenikmatan puncak. Basri melepas payudaraku yang sejak aku menungging tadi diremas-remasnya. Kini dia bangkit dengan tangannya menekan pinggulku. Itu artinya nafsu Basri sudah tak mungkin dia bendung lagi.

Kocokan kontolnya makin cepat, "in & out" ke lubang vaginaku. Aku sendiri tak mampu menahan keinginan rasa ingin kencingku. Aku menggoyang-goyangkan pantatku dengan memepertegas desahan dan rintihanku untuk memacu nafsu Basri.
Dan akhirnya.. Bertetes-tetes sperma Basri terasa menghangatkan memekku. Sedetik berikutnya, orgasmeku datang. Cairan birahiku membanjir. Pompaan kontol Basri tidak langsung berhenti saat menembak lubang vaginaku dengan spermanya. Dan akibatnya dari celah ketat antara batang kontol dan bibir vaginaku nampak busa-busa cairan birahiku bercampur sperma Basri muncrat dan meleleh setiap kali kontol Basri masuk maupun keluar dari lubang kemaluanku.

Kemudian lama-lama melambat dan akhirnya diam. Kami bersama-sama rebah di ranjang. Kecuali nafas-nafas panjang yang terdengar, yang lainnya sepi. Terdengar anjing tetangga menyalak, seakan ada yang lewat. Terdengar kucing mengejar betinanya di genting. Terdengar tukang mie menawarkan dagangannya. Aku melirik ke Basri dan saling bertemu pandang. Kami masing-masing meraih kepuasan. Untuk sementara rasa penasaran Basri telah reda.

Jam menunjukkan pukul 10.40 malam. Basri bangkit dari ranjang dan turun ke kamar mandi. Kubiarkan saja dia, mungkin dia perlu buang air kecil. Aku masih menginginkan ada lanjutannya. Aku selalu belum tuntas kalau mulutku belum dientot lelaki yang mengencaniku. Dan Basri harus menyelesaikannya. Aku yakin dia akan menyelesaikannya dengan baik dan aku akan meraih kepuasan darinya untuk yang kedua kalinya.

Ternyata memang sekembalinya dari kamar mandi, kontolnya sudah terlihat tegak kembali. Aku yakin, lelaki seperti Basri ini tidak akan cukup dengan hanya sekali spermanya muncrat pada setiap bersetubuh dengan perempuan. Dia kembali mendekat ke ranjang. Aku cepat meraih kontolnya yang sebesar pentungan satpamnya. Kuelus dengan jari-jariku dan kulihat wajahnya. Dia menutup matanya menikmati sentuhan jari-jari lembutku. Aku senang dia menutup matanya itu. Bibirku mendekat, kuulurkan lidahku ke belahan lubang kencingnya. Kurasakan, lidahku merasakan sebagian air kencingnya yang masih tertinggal di belahan lubang itu. Aromanya mendekati bir yang baru terbuka botolnya. Keras dan ada sedikit pesingnya. Kujilati hingga bersih dari sisa-sisa tetesan air kencingnya. Aku sangat menikmati kesempatan langka ini.

Kulihat kembali wajahnya. Ternyata dia telah membuka matanya dan memperhatikan lidahku yang sedang menjilat-jilat.
"Bu Adit, enak banget ketika bibir Bu Adit menyentuh kontol saya. Dan ketika lidah Ibu menjilat.. aku tidak pernah membayangkan ada wanita secantik Ibu mau menjilat kontol saya. Bahkan sisa-sisa kencing saya, Bu", kata Basri sambil tangannya mengelus rambutku yang terurai panjang.

Mendengar pembicaraannya itu, terbit kenakalanku. Aku ingin melihatnya benar-benar blingsatan, ingin mendengar rintihan nikmatnya yang luar biasa, ingin melihat bagaimana jika tubuhnya menggeliat-geliat dengan penuh gelinjang karena merasakan jilatan dan kuluman nikmat dari mulutku. Kugenggam kontolnya, kunaikkan dan kupepetkan ke perutnya. Wow, panjangnya adalah hingga ujungnya menyentuh pusarnya.

Saat itu pelirnya berada tepat di depan bibirku. Tentu saja lidahku langsung bekerja dipadu dengan bibirku yang menyedot-nyedot biji pelirnya itu. Dia mulai gelisah. Pantatnya bergoyang, ingin menekankan pada mulutku. Kemudian aku mengubah posisi dengan turun dari ranjang. Dan Basri kudorong hingga telentang di kasur dengan kedua kakinya tetap terjuntai ke lantai. Kini aku sepenuhnya memegang 'komando'. Dengan tetap kugenggam kontolnya, lidahku mulai menjilat selangkangannya.

Bau keringatnya yang sangat alami karena telah seharian terjemur dalam tugasnya, sangat merangsang libidoku. Bau alami seperti ini terkadang jauh lebih merangsang dari pada para pria pesolek seperti Rendi dan teman-temannya yang suka dengan parfum, bedak atau pewangi lainnya. Benar juga. Lidahku di selangkangannya membuat Basri seperti orang tenggelam di laut, gelagapan dengan nafasnya yang terputus-putus memburu. Tangannya terus mengacak-ngacak rambutku yang istri bossnya ini.

Saat aku menjilat lebih ke bawah lagi dan mengarah ke anusnya, pantatnya dia angkat-angkat sambil kakinya di tekankan ke pinggiran ranjang menahan kegelian yang amat sangat. Ah, tanggung.. kubalik saja badannya hingga posisinya tengkurap, kemudian tanganku memberi isyarat agar Basri sedikit menungging. Dia patuh. Dengan lututnya sebagai tumpuan dia bukan lagi sedikit, tetapi benar-benar menungging. Inilah saatnya Basri akan merasakan bagaimana aku, istri Pak Adit atasannya akan menjilati duburnya.

Kusapu dulu bukit pantatnya dengan lidahku sambil hidungku berusaha menangkap aroma anusnya. Wow, dia langsung menggelinjang dengan suara rintihan yang menimbulkan rasa horny. Tangannya menggapai-gapai untuk berusaha meraih kembali rambutku. Dan lidahku tak lagi berputar-putar, tetapi langsung kubenamkan pada analnya. Basri benar-benar blingsatan. Kini tangannya yang telah meraih rambutku menariknya kencang-kencang hingga kulit kepalaku terasa pedih. Aku sangat menikmati hal ini. Aku semakin bersemangat menjilat dan menyedot-sedot pantatnya, sementara tangan kiriku meraba dan kemudian meraih kontolnya yang bergelantungan di bawah perutnya dalam keadaan ngaceng berat. Tanganku mengocok lembut kontol itu.

Setelah beberapa saat hal itu berlangsung, terdengar desahan dan rintihan Basri yang menandakan bahwa spermanya akan muncrat. Cepat kudorong kembali tubuhnya untuk telentang. Kucaplok kontolnya, kukulum dan kupompa dengan mulutku. Basri ingin aku memompa dengan cepat. Dan dengan lolongan seperti serigala di malam hari, Basri menjerit kecil dengan disertai tumpahnya sperma ke mulutku. Aku merasakan kehangatan adanya lendir-lendir yang menyemprot dan memenuhi mulutku. Aku kecap sperma Basri dan kutelan. Tak setetespun yang tercecer. Kami kembali rubuh ke kasur. Aku teramat sangat lelah. Ini mungkin adalah akumulasi kelelahan yang tak begitu kurasakan sejak kepergianku dari Bogor tadi. Aku terlena sesaat.

Saat Basri membangunkanku untuk pamit pulang, kulihat dia sudah rapi dengan pakaiannya kembali. Aku bergegas berpakaian. Aku sengaja tidak ke kamar mandi dulu. Nanti saja. Ada kenikmatan erotis tersendiri untuk menahan sperma yang masih mencemari tubuhku. Kuantarkan Basri ke pintu. Dia harus cepat pergi dari rumahku. Saat telah siap semuanya, aku mendekat dan memagutnya dalam-dalam. Sesaat kami saling bertukar ludah dan lidah.
"Mas Basri, ntar kita cari waktu lagi, ya. Aku ingin dientot terus menerus sama Mas Basri. Kontolmu ini sangat membuatku mabuk. Aku masih belum puas".

Kontol Basri yang masih kugenggam langsung berdiri kembali. Aku tahu, kalau saja kutahan dia, Basri akan dengan senang hati tinggal. Mungkin sampai pagi. Tetapi kubimbing saja dia ke pintu, karena dia memang harus pergi dari rumahku sekarang. Tepat pada pukul 11.10 Kijang Basri sudah meninggalkan rumahku. Aku tidak langsung mematikan lampu-lampu. Bahkan aku masih sempat berjalan-jalan di taman rumahku, seakan-akan memperhatikan tanaman-tanaman bungaku yang memang setiap hari kurawat dengan penuh kecintaan.

Tetanggaku, Pak Taslim baru saja lewat bersama anaknya dari warung sebelah. Setelah pintu halaman kukunci, pada pukul 11.30 malam baru aku masuk rumah. Pintu utama kututup dan kukunci. Lampu-lampu yang tidak penting kumatikan. Baru aku menuju peraduan dengan masih menyimpan sperma Basri dalam nonokku dan sebagian sperma kering yang masih belepotan di sekitar mulutku. Aku nikmati terus agar selalu merasa dekat dengannya. Selama 2 hari berselingkuh dengan 4 lelaki teman kantor suamiku, aku baru merasakan bahwa hanya dengan Basrilah aku mendapatkan keaslian sifatnya. Bayangkan, dengan pendidikannya yang hanya dapat membuatnya menjadi satpam, dia berani melakukan sesuatu loncatan keluar jauh dari 'orbit'-nya, dia entoti aku yang merupakan istrinya bossnya di kantor, Mas Adit.



Read More

Serigala Lapar, Trilogy 1 - The Clan [part.7]

0 komentar
amoy bugil [Portal Seks]

Aku menjilat bibirku yang belepotan sperma Burhan yang kental yang yang muncratnya tidak tepat ke mulutku. Ternyata rasa sperma itu berbeda-beda. Walaupun sama sekali tidak mengurangi kenikmatannya, aku merasakan sperma Burhan ini sangat pahit. Belakangan baru aku tahu dari dokter Boyke, seorang pakar seks, bahwa berbagai rasa mungkin akan berbeda dari sperma lelaki. Hal itu sangat dipengaruhi oleh makanan apa yang telah dikonsumsinya dalam 24 jam terakhir. Ia juga menyatakan bahwa sperma itu mengandung protein dan berbagai unsur vitamin lainnya. Informasi itu membuatku semakin senang dan selalu kehausan muntuk meminum sperma.

Burhan yang telah menumpahkan spermanya langsung telentang di kasur. Sementara Wijaya semakin cepat memompa memekku. Dan juga mulai kurasakan dan kulihat bagaimana wajah Wijaya yang menyeringai keenakan, pasti tak akan lama lagi Wijaya juga akan menyemprotkan air maninya. Kembali buru-buru kutarik Wijaya ke atas ranjang. Dan tanpa perlu kuminta lagi dia langsung berjongkok dan menyodorkan kontolnya ke mulutku dan langsung memompa kecil sementara mulutku mengulumnya.

Wijaya berteriak keras saat spermanya keluar. Kontolnya ditekankan ke mulutku dalam-dalam hingga menyentuh tenggorokanku. Hampir saja aku tersedak. Cairannya juga sangat kental dan hangat. Nikmat sekali mengenyam cairan sperma milik Wijaya ini. Kali ini aku merasakan rasa asin dan gurih. Sementara itu ternyata Burhan sudah kembali memasukkan kontolnya kembali ke memekku. Rupanya melihatku mengulum kontol Wijaya tadi, Burhan dengan cepat kembali horny dan ngaceng. Dia pompakan kembali kontolnya ke memekku. Burhan memompanya semakin cepat. Di lain pihak Wijaya masih belum bersedia mengangkat kontolnya dari mulutku. Tampaknya dia masih sangat horny juga.

"Mbak, aku pengin terus-terusan, nih, lihat Mbak Adit yang ayu", ujarnya.
Aku tidak dapat menjawab dengan kontolnya yang masih menyumbat ke mulutku. Aku hanya berkedip-kedip. Kemudian dia melepaskan kontolnya dari mulutku. Beringsut dari atas dadaku menuju ke kanan tubuhku dan menunduk. Bibirnya melumat bibirku dan tangannya meremas payudaraku beserta putingnya. Ahh., nikmat sekali dikeroyok dua lelaki yang hebat-hebat permainan seksnya.

Dan akhirnya Burhan berhasil mengisi lubang vaginaku dengan spermanya. Kehangatan cairannya di liang vaginaku itu sungguh membuatku sedemikian horny. Aku ingin mendapatkan orgasmeku dari mereka ini. Wijaya masih terus melumat bibirku dan kini bergerak untuk melumat dada dan payudaraku. Tanganku mencoba menggapai kontolnya. Sungguh hari yang luar biasa bagiku. Kontol Wijaya masih sangat tegar. Rupanya satu kali memuntahkan air maninya tidaklah cukup. Dia harus memuntahkannya lagi untuk yang kedua kali.

Aku merasa ini merupakan jalan untuk mencapai orgasmeku.
"Wid, tolong Mbak Adit kamu entot di nonok, ya sayangg..", bisikku.
Tentu saja itu bukan hanya sekedar permintaan bagi Wijaya. Tetapi itu lebih merupakan perintah mutlak yang dengan senang hati dia akan laksanakan. Dan tanpa perlu perintah susulan, Wijaya langsung turun dari ranjang menjemput nonokku. Kontolnya yang sudah ngaceng seperti tugu Monas langsung dihunjamkannya ke lubang memekku.

Wijaya langsung bergerak memompakan kontolnya di lubang vaginaku. Kenikmatan yang kuterima bukan main dahsyatnya. Kepalaku tak bisa diam, meggeleng ke kanan dan ke kiri menahan nikmat itu. Aku merintih dan mendesah. Kucari-cari tangan Burhan dan kutarik untuk agar rebah di sampingku.
"Burhaann, cium akuu.. Burhaann.. cium akuu..".
Dan langsung kurasakan lumatan bibir Burhan meruyak mulutku. Ludahnya kusedot. Kepalanya langsung kupeluk erat-erat agar aku dapat menciumnya lebih intens untuk menahan kenikmatan kontol Wijaya yang sangat gencar keluar dan masuk merobek-robek vaginaku. Dan saat rasa ingin kencing mendesak dari dalam vaginaku, segera kulepaskan mulutku dari mulut Burhan. Kupeluk tubuhnya hingga bibirku bisa kudaratkan pada bahunya. Dan tanpa ampun lagi gigiku menghunjam tajam masuk ke daging bahu Burhan.

Di tengah teriakan kesakitan dari mulut Burhan, memekku akhirnya mendapatkan kepuasannya. Aku meraih orgasmeku. Dan pada saat bersamaan pula, Wijaya juga mencengkeram kedua pahaku, pertanda dia telah mendapatkan orgasmenya pula.
Aku terkapar, Wijaya terkapar, begitu juga Burhan terkapar. Kami bertiga mendapatkan kepuasan tak terhingga. Sepi, kecuali tarikan nafas berat dan panjang dari kami bertiga. Kulihat jam tanganku, sudah pukul 6 sore, benar-benar lupa daratan.

Aku minta untuk cepat pulang. Mandi 5 menit, bersisir ala kadarnya, berdandan ala kadarnya. Kemudian aku keluar menemui Rendi. Sepi. Kulihat mobilnya sudah tidak ada. Ternyata dia benar-benar ngambek. Kedua temannya mentertawakan ulah Rendi tersebut. Mereka akan bertanggung jawab untukku hingga sampai di rumahku dengan selamat. Kami keluar dari villa pukul 6.15 menit. Mampir dulu di restoran Sunda kesukaanku, kami makan banyak sayuran dan sambal. Aku makan cukup banyak setelah kerja keras melayani Burhan dan Wijaya.

Pukul 8.30 aku sudah sampai di rumahku. Aku tidak berkeberatan mereka berdua mengantarku hingga sampai rumah. Tetangga tidak akan berfikir negatif kalau melihatku pulang beramai-ramai dengan 2 atau 3 orang teman. Aku sangat kelelahan hari itu. Pertama dan yang terutama aku lelah karena pikiranku pada Rendi. Sikap Rendi yang kuanggap bukan sikap lelaki. Hal itu sangat menyedot energiku. Yang kedua adalah karena untuk meraih 4 kali orgasme sebagaimana yang kudapatkan selama 2 hari berturut-turut ini ternyata memerlukan tenaga fisik dengan melayani 3 orang teman Mas Adit yang sangat menguras tenagaku.

Tetapi bagaimanapun aku merasakan kebahagiaan yang tak terhingga, bahwa ternyata aku masih bisa meraih orgasme, walaupun tidak dari suamiku sendiri. Aku sempatkan untuk mandi air panas sebelum tidur. Aku juga menyiapkan juice tomat dan yoghurt campur madu kesukaanku. Aku akan tidur istrirahat total malam ini. Aku sudah naik ke ranjang saat telepon berdering. Jam menunjukkan pukul 10.12 menit. Siapa yang meneleponku selarut ini? Mas Aditkah? Rendi? Atau siapa?

"Selamat Malam Bu Adit, saya Basri", kucoba mengingat siapa Basri.
"Saya yang suka nganter pulang Pak Adit Bu, saya Satpam kantor Pak Adit. Nanti kalau Pak Adit sudah pulang dari Banjarmasin, saya juga yang disuruh menjemput beliau di airport", begitu dia teruskan bicaranya hingga langsung mengingatkanku pada seorang Satpam muda di kantor Mas Adit.
"Maaf mengganggu Ibu malam-malam begini. Saya telepon Ibu tadi agak sore, tapi rupanya Ibu belum pulang dari Bogor", lho koq tahu-tahunya aku ke Bogor..?!

Pikiranku cepat berputar. Si Basri tahu kalau aku ke Bogor, tentunya pasti ada yang memberi tahu. Dan pasti "tahu"-nya itu tidak sekedar tahu begitu saja. Apakah Rendi..? Ah.. pasti dia. Rendi telah berbuat culas.
"Ya, kenapa Mas Basri..", tanyaku balik seakan tidak ada masalah apa-apa denganku.
"Begini Bu Adit, ntar hari Senin khan saya akan menjemput Pak Adit. Kalau beliau tanya tentang Ibu, bagaimana saya mesti menjawabnya..? Bahwa Bu Adit pergi ke Bogor, ke villa Pak Anggoro bersama Pak Burhan dan Pak Wijaya..?".

Kurang ajar juga Satpam kampungan ini. Kurang ajar sekali si Rendi ini. Aku terhenyak dengan ucapan Basri di telepon tadi. Aku masih terdiam ketika.
"Bagaimana kalau kita bicarakan saja malam ini, Bu? Saya tunggu Ibu di depan kompleks perumahan Ibu. Saya tunggu di Kijang saya. Saya tunggu benar lho Bu Adit, atau..".
Klik, telepon dimatikan. Aku belum sempat menjawab tetapi Basri telah memutuskan teleponnya. Dan menurutnya dalam telepon tadi, dia sekarang sedang menunggu di depan kompleks perumahanku ini dengan mobil Kijangnya. Ini pemerasan.. dia mau minta apa? Uang.. atau..? Aku tidak berani meneruskan pemikiranku. Jangan-jangan dia memintaku tidur dengannya.

Aku mencoba mengingat-ingat dan membayangkan postur si Basri ini. Aku perkirakan usianya sekitar 30 tahunan. Kulitnya yang hitam karena banyak terjemur, dibungkus dengan seragam putih dan celana birunya. Ada tali peluit di kantongnya dan ikat pinggangnya yang keemasan karena rajin dibraso. Sebagai Satpam di kantor suamiku, Basri dipilh dari banyak calon yang memenuhi syarat. Antara lain penampilannya harus gagah, badan sehat, tegas, pintar bela diri dan lain-lainnya. Dan postur seperti Basri memang meyakinkan untuk menjadikannya sebagai satpam kantor. Aku akan mendiamkannya saja. Biarlah pemerasan tinggal pemerasan. Dan sungguh suatu hal yang sangat tidak mengenal perikemanusiaan untuk memeras perempuan seperti aku di malam hari begini. Ah, persetan. Kutunggu saja apa yang akan dikerjakan Basri selanjutnya.

Tetapi aku jadi tidak bisa tidur. Aku jadi merasa tertekan. Apa mau Basri sebenarnya? Apa mau Rendi? Mungkinkah dia sengaja menghinaku? Merendahkanku? Dasar serigala pengecut. Akan halnya Basri, memang dia cukup berotot sebagai satpam, pantaslah. Dan bagaimana jika dia memerasku dengan memintanya untuk tidur dengannya? Akan kuturutikah? Keterlaluan, bagaimana pula kata orang nanti? Bagaimana kata Rendi yang pengecut itu nanti? Dan lagi, bagaimana mungkin aku keluar rumah pada malam-malam begini? Apa kata tetangga nanti? Kemudian kalau ini adalah memang hasil pemikiran Rendi, akankah hal ini akan dapat diselesaikan cukup dengan satu orang seperti Basri ini? Karena nanti pasti dia juga akan menyebarkannya kepada orang lain.

Aku semakin bingung ketika telepon kembali berdering.
"Bagaimana Bu..? Saya sudah tidak sabar nih..", nadanya jelas-jelas mengancam.
"Pak Basri mau ngapain? Ini khan udah malam, aku tidak enak sama tetangga. Dan terus terang aku takut malam-malam begini. Besok saja telepon lagi!", telepon aku banting.
Ganti aku sekarang yang memutuskan telepon. Agar dia tahu bahwa aku tidak bisa diperas seenaknya. Telepon langsung berdering kembali.
"Kalau Ibu berani ke Bogor, terang-terangan di gilir bertiga selama dua hari berturut-turut, kenapa sekarang takut keluar rumah. Ini Jakarta Bu, jam 10 malam itu masih sore untuk orang Jakarta".
Wah, benar-benar sudah nekat rupanya si Basri. Aku tidak menjawabnya dan langsung kututup kembali.

Kembali dering itu terdengar lagi, mukaku sudah memerah karena amarah yang sangat.
"Kalau Ibu tidak mau pergi sama saya sekarang, saya tidak bisa apa-apa kalau Pak Adit nanti tanya soal Ibu di Bogor itu. Terus terang Bu, saya juga ingin merasakan tidur dengan Ibu. Dan saya yakin bisa memberikan kepuasan pada Ibu lebih dari tiga orang teman Pak Adit itu. Ayolah Bu.., kasih kesempatan saya. Atau saya jemput Ibu ke rumah saja?".
"Terserah..!, kubanting lagi telepon itu untuk yang ketiga kalinya.
Tetapi jawabanku terserah itu? Apakah aku memang berniat memenuhi permintaannya? Aku jadi bingung. Ini semua memang rekayasa Rendi yang gila itu. Aku jadi pasrah. Aku tak biasa ditekan macam begini. Aku cepat menyerah. Aku mau apa lagi? Dan itu dia, datanglah si Basri brengsek itu. Yang kini terpikir olehku sekarang adalah, bagaimana caraku agar hal ini tidak mencolok pada pandangan tetangga kanan-kiriku. Bagaimana aku harus bersandiwara. Aku harus mengajak si Basri juga untuk bersandiwara. Sialan kamu Rendi..!

Aku bergerak bangkit. Kunyalakan terang-terang semua lampu rumah. Lampu halaman, lampu beranda, lampu ruang tamu, lampu ruang makan. Semuanya jadi terang benderang saat Basri datang dan masuk rumah. Perhitunganku adalah dengan cara itu, akan mengurangi kecurigaan tetangga bahwa di malam hari begini aku menerima lelaki asing dalam suasana remang-remang. Kusambut Basri dengan ramah di depan pintu, untuk memberikan kesan bahwa yang datang adalah sanak familiku hingga Basri sendiri heran.

Dan kubuka lebar-lebar ruang tamu di mana Basri kupersilakan duduk saat akan masuk rumah. Dan aku sendiri juga menemaninya duduk layaknya seseorang menerima tamu keluarganya. Aku juga berbicara keras-keras dan tertawa-tawa, sambil mengisyaratkan kedipan mataku pada Basri untuk juga mengikuti sandiwara ini. Basri tahu, dan cepat menyesuaikan diri. Dia berlagak bebas di rumahku, berdiri, jalan sana-sini, melihat fotoku bersama Mas Adit di tembok dan sebagainya.



Read More

Serigala Lapar, Trilogy 1 - The Clan [part.6]

0 komentar
bugil mandi [Portal Seks]

Sesuai dengan janji, tepat pukul 12 aku sudah duduk di bangku warung gado-gado Boplo yang sangat terkenal di seantero Jakarta itu. Harganya selangit. Untuk seporsi gado-gadonya Rendi mesti membayar Rp. 25 ribu. Bandingkan dengan tukang gado-gado di rumah, hanya Rp. 2,500 saja. Sepuluh kalinya. Tiba-tiba saat menunggu pesanan, masuklah sebuah Lancer sedan dan parkir tepat di samping mobil Rendi. Nampak Rendi terkejut. Dia berkata bahwa itu adalah mobil teman kantornya.

Kemudian kulihat ada 2 orang turun dari mobil itu. Wow, cukup keren juga mereka. Tampak Rendi menjadi gugup tetapi tidak bisa mengelak. Teman-temannya itu langsung pula menatap dan mendatangi kami.
"Hai, ketemu di sini, nih.. asyik juga yaa..".
Dan mau tidak mau Rendi terpaksa memperkenalkan mereka padaku. Yang bernama Burhan, cukup jangkung dengan kulitnya yang agak gelap. Yang satunya bernama Wijaya, nampaknya keturunan chinese, tubuhnya berotot seperti binaragawan. Mereka tersenyum ramah padaku. Saat Rendi menyebutkan bahwa aku adalah Bu Adit mereka tidak terlalu terkeju. Hanya nampak mata-mata mereka yang nakal seakan ingin melahap tubuhku.

"Kami pernah melihat Ibu di tempat Pak Anggoro, boss kami, saat ada pesta tunangan putranya", begitu mereka menjelaskan mengenai kenalnya mereka padaku.
Aku mencoba mengingat-ingatnya. Kemudian mereka mencari tempat duduk yang agak berjauhan dari tempat duduk kami. Aku setuju saja saat Rendi mengusulkan untuk kembali ke villa di Bogor itu. Dan kami segera bergegas agar punya waktu lebih panjang untuk berasyik masyuk di sana.

Saat kami beranjak meninggalkan warung itu, kami melambaikan tangan untuk teman-teman Rendi yang juga teman suamiku itu. Mereka membalasnya, dan kulihat mata Burhan yang nakal mengernyitkan alisnya padaku dan melepas senyumannya. Ah, dia nampak jantan juga. Dengan kulitnya yang agak gelap, seperti apa ya kontolnya, pikiran gatalku lewat begitu saja.

Sepanjang jalan Rendi lebih banyak diam. Mungkin dia agak panik hingga hilang "mood"nya. Tapi aku berusaha menenangkannya. Biasanya antar lelaki tak akan membocorkan rahasia temannya. Kutepuk pundaknya supaya tenang. Sepertinya dia ingin menunda kencan selingkuh ini, tetapi tampaknya dia malu kalau akan dianggap sebagai pengecut olehku. Lagian mana aku mau..!! Persetan dengan teman-teman Rendi yang juga teman suamiku itu..

Jam 2 tepat kami sudah memasuki halaman villa. Pak Samin membukakan pintu halaman. Rendi memakirkan mobilnya di tempat parkir kemarin. Kami turun dari mobil dan aku menaiki tangga villa, sementara Rendi menemui Pak Samin sebentar. Begitu memasuki kamar kembali, sebagaimana kami memasuki kamar yang sama kemarin, kami langsung berpagutan. Kali ini kami saling menikmati pagutan-pagutan kami cukup lama. Nampaknya Rendi sudah tak lagi terpengaruh dengan teman-temannya tadi.

Aku buka saja ikat pinggangnya, kancing celananya, resluitingnya. Aku lepaskan celananya dan kulemparkan ke bangku yang ada di kamar itu. Begitu pula kemejanya hingga yang tertinggal hanya celana dalamnya. Hal yang amat kusukai adalah melihat Rendi setengah telanjang seperti itu. Sebelum aku sendiri melucuti kaos oblongku, Rendi menciumi pusarku yang sejak tadi telah begitu menarik libidonya. Aku menikmati sepenuh sanubariku. Kuelus-elus kepala Rendi yang bibrrnya sedang melumat pusarku dengan lembut itu. Kemudian hanya dengan membuka blus dan BH-ku sehingga nampak payudaraku yang lepas dan belum menanggalkan celana jeansku, kudorong Rendi ke ranjang. Aku terobsesi mengulangi seperti kemarin, menciumi lehernya, menjilati dan menggigit dadanya dan lembah harum ketiaknya.
Rendi hanya pasrah dan membiarkanku menikmati apa yang ingin kunikmati dari tubuhnya. Dia hanya mendesah dan setiap kali mengelus kepalaku sambil menyibakkan rambutku agar tidak mengganggu kesenanganku.

Tiba-tiba terdengar pintu halaman villa berderit. Ada yang datang. Rendi buru-buru bangkit. Kali ini kulihat dia sangat terkejut. Aku menyusul bangkit untuk melihat siapa yang datang. Ternyata itu mobil Lancer sedan. Rupanya Burhan dan Wijaya sengaja membuntuti kami. Rendi memukul tangannya sendiri menahan kekesalannya. Aku sendiri berusaha untuk tenang. Kulihat Burhan dan Wijaya turun dari mobil dan menaiki tangga villa. Mereka langsung duduk di berandanya. Rendi yang sangat kesal buru-buru berpakaian, tidak terlampau rapi dan dengan terpaksa dia keluar. Dia menemui kedua temannya tersebut.

"Huh, kamu mbuntuti aku ya..", nada bicaranya nampak sangat tidak bersahabat.
"Ah, nggak kok, kami memang sering main ke villa Pak Anggoro ini. Ya Wid, omong-omong bagi-bagi dong", Burhan menyahut sewotnya Rendi dan dengan enteng menyampaikan keinginannya untuk ikut mendapatkan bagian nikmat.
Aku tahu pasti yang dimaksud adalah minta kesempatan agar mereka juga kebagian ikut menikmati tubuhku sementara suaminya yang teman mereka sendiri sedang bertugas keluar kota. Hatiku sendiri berdesir mendengar omongan mereka ini. Aku mencoba mengintip dari celah pintu. Nampak Rendi sedang menempelkan jari telunjuknya di bibirnya, maksudnya agar tidak terlampau keras bicara karena takut aku akan mendengarnya.
"Memangnya kenapa..? Mungkin dia suka juga lho kita main bertiga..", kurang ajar orang-orang ini.

Kuperhatikan mereka semuanya. Rupanya mereka semua ini adalah serigala-serigala yang lapar. Lama mereka saling berbisik tanpa nampak ada jalan keluar. Tiba-tiba ada yang menjalar dalam darahku. Sesuatu yang sangat menggairahkan. Sesuatu yang mungkin akan memberikan sensasi bagiku. Exciting dan sensasional yang akan membakar seluruh atom dalam tubuhku. Aku membayangkan seandainya saja mereka bertiga ini telanjang bulat, dengan kontol-kontol mereka yang ngaceng berat mengerumuniku yang terjongkok di lantai, sambil tangan-tangan mereka mengocok kontolnya masing-masing dan bersiap sewaktu-waktu sperma mereka muncrat menghujani muka, rambut dan mulutku. Aku akan menganga selebar-lebarnya agar sperma-sperma mereka tidak terbuang sia-sia. Aku jadi "horny" sekali.

Kutengok lagi mereka dari celah pintu. Mereka belum juga kunjung mendapatkan solusi. Sementara libidoku mendesak nafsu birahiku yang datang akibat bayanganku tentang mereka yang telanjang dan menyemprotku dengan spermanya yang muncrat-muncrat. Aku tak lagi mampu sabar menunggu. Aku kuakkan saja pintu kamar itu. Dan mereka semua, Rendi, Burhan dan Wijaya serentak menengok ke pintu.

Aku, dengan dada yang telah terbuka langsung membuat mereka tertegun. Entah kaget, entah heran entah bernafsu. Dan aku, sambil melepas senyuman, kunikmati adegan saat para serigala lapar itu memelototkan matanya kepadaku. Aku sama sekali tidak perlu berbicara. Aku diam saja dengan senyumku sementara tanganku bergerak, jariku memilin-milin sendiri putingku, aku sengaja mendesah keras agar mereka mendengar desahanku dan terangsang.

"Mmass.. oohh..", aku merasa sangat kehausan.
Dan sangat menginginkan mereka bertiga segera melahapku. Aku merelakan diri dan tubuhku untuk mereka kunyah-kunyah. Aku ingin sekali gigi mereka segera menancap pada pahaku yang lembut, pada bokongku yang menurut orang sangat sintal, pada buah dadaku yang ranum, pada puting susuku. Aku heran juga, darimana munculnya sebuah keberanian dan kenekadan yang -bukan main- telah kulakukan di depan teman-teman suamiku ini. Aku heran juga akan hadirnya dengan tiba-tiba nafsu "exhibitionist" ini. Kupertontonkan pada mereka bertiga dadaku yang terbuka dengan payudaraku berikut puting-puting-nya yang sangat ranum ini. Kudengar suara Rendi yang tersendat.
"Maarr..".

Tetapi juga suara-suara yang lain. Bukan pembicaraan. Itu adalah suara dengusan Burhan atau Wijaya. Yang kemudian kulihat adalah Burhan mendahului langkah Rendi mendekatiku. Dia meraihku dan menutup pintu kamar tidur. Dia pagut bibirku. Dia pagut leher, pundak maupun payudaraku dengan liar. Dia kesetanan tanpa kontrol. Dia dorong aku ke ranjang. Aku di gumulinya. Dia remasinya bokongku, dia lumat-lumat payudaraku berikut putingnya.

Kudengar pintu kamar digedor-gedor dan akhirnya terbuka. Wijaya masuk kamar. Dia juga langsung merangsekku. Mungkin dia juga merasa bahwa haknya sama dengan Burhan untuk juga menggelutiku saat ini. Aku sangat menikmati keroyokan mereka. Untuk menyatakan "welcome"-ku, aku mendesis dan mendesah sambil tanganku menggapai ikat pinggang Burhan dan melepasnya. Kubuka celananya, kurogoh kontolnya. Demikian pula kulakukan yang sama pada Wijaya. Mereka kini sudah setengah telanjang. Dan selebihnya mereka sendiri yang melucuti dirinya hingga telanjang bulat.

Burhan dengan penuh ketidaksabaran melucuti celana jeansku. Dan Wijaya turut membantu melepasnya dari kaki-kakiku. Dengan sekali renggut celana dalamku juga langsung dilepas oleh Burhan. Ditariknya kakiku sehingga tubuhku berposisi diagonal dengan pantatku berada di tepian ranjang. Burhan berdiri di arah kakiku. Dia kuakkan selangkanganku dan dengan jelasnya menyaksikan nonokku yang mestinya sangat menantang kontolnya. Kemudian tangan kanannya meraih kaki kiriku, diangkatnya ke arah pundaknya. Dan selanjutnya dengan ketangkasan yang dimilikinya dan dengan serta merta dia meraih kontolnya yang telah ngaceng berat untuk di masukkan ke liang kemaluanku.
Kusaksikan sebentar kontolnya yang hitam. Wow, ukurannya sama persis dengan besar dan panjangnya kontol Rendi.

Aku bergetar. Aku merindukan kontol seperti itu sejak meninggalkan warung gado-gado tadi. Sayangnya kontol Rendi tak jadi menyerangku karena adanya gangguan dari Burhan dan Wijaya ini. Tapi bagiku akhirnya tak ada bedanya. Kontol Rendi atau kontol Burhan sama saja. Aku akan memberikan kepuasan seksual untuk pemilik kontol-kontol indah ini. Kontol Burhan baru saja menempel ke liang vaginaku ketika Wijaya yang juga telah telanjang bulat naik ke ranjang dan mengangkangiku. Dia berjongkok persis di atas dadaku. Dan kontolnya yang juga ternyata sebesar para koleganya, si Rendi dan Burhan, sudah mengacung keras dan kuat, berkilatan batang dan kepalanya tepat di depan wajahku. Sungguh sangat menggairahkan dan sensasional. Telanjang bulat dikeroyok teman-teman suamiku yang sama-sama berkontol besar, yang satu berusaha menembus nonokku, yang lain minta dijilati dan diisap.

Aku tidak tahu di mana Rendi. Mungkin dia mengambek. Aku membayangkan dia sedang bengong duduk di beranda. Aku sungguh merasa sangat beruntung. Aneh juga, hal yang beberapa saat sebelumnya hanya dapat kubayangkan, sekarang telah benar-benar kualami. Burhan menggenjot nonokku. Kontolnya yang hitam besar dan sangat legit kurasakan saat menembus vaginaku yang telah membasah sejak bersama Rendi tadi. Sementara itu, Wijaya yang ngentot mulutku meracau.
"Ayoo, Bu Adit.. isepp Buu.. ayyoo isep Bu Aditt.. besar mana sama kontol Pak Aditt heehh..", racauannya persis seperti orang kemasukkan setan pohon randu di belakang kampung di desa kelahiranku.

Kontol Wijaya ini sangat lezat. Kujilati akarnya yang menggunung tepat di bawah pangkal batang dan biji pelirnya. Dan dengan setengah merangkak, Wijaya menusukkan kontol putih besarnya merangsek mulutku. Dan pelan-pelan memompanya. Entah dimana aku saat ini. Yang dapat kurasakan hanyalah kenikmatan yang melayang-layang akibat tusukan kontol Burhan di vaginaku dan rangsekan kontol Wijaya di mulutku. Dan saat lamat-lamat kudengar rintihan tak tertahankan dari mulut Burhan. Itu pertanda bahwa tak lama lagi spermanya pasti muncrat. Dengan serta merta kutarik tangan Burhan dan kuajak naik ke ranjang dan sementara kulepaskan kuluman mulutku pada kontol Wijaya. Aku ingin agar Burhan menumpahkan spermanya ke mulutku. Aku ingin meminum spermanya. Burhan dan Wijaya secara berbarengan tahu apa yang kuinginkan dan mereka melayaniku dengan baik. Wijaya turun menggantikan peran Burhan mengentot memekku dan Burhan naik untuk mengocok kontolnya sendiri dan memuncratkan spermanya ke mulutku.



Read More