Hai, para penikmat Portal Seks, kenalkan nama
saya Andra (nggak nama sebenarnya). Umur 24 tahun dan sekarang lagi kuliah di sebuah
PTS di Kediri. Aku termasuk cowok yang populer di kampus (sekeren namaku). Tapi
aku punya kelemahan, saat ini aku udah nggak perjaka lagi (emang sekarang udah
nggak jamannya keperjakaan diutamakan). Nah, hilangnya perjakaku ini yang
pengin aku ceritakan.
Aku punya banyak cewek. Diantaranya banyak
cewek itu yang paling aku sukai adalah Rere. Tapi dalam kisah ini bukan Rere
tokoh utamanya. sebab hilangnya perjakaku nggak ada sangkut pautnya sama Rere.
Malah waktu itu aku aku lagi marahan sama doski.
Waktu itu aku nganggap Rere nggak bener-bener
sayang sama aku. Aku lagi jutek banget sama dia. Habisnya udah lima bulan
pacaran, masak Rere hanya ngasih sun pipi doang. Ceritanya pas aku ngapel ke
tempat kostnya, aku ngajakin dia ML. Habis aku pengin banget sih. (keseringan
mantengin VCD parto kali yee...). Tapi si Rere menolak mentah-mentah. Malahan
aku diceramahin, busyet dah!
Makanya malam minggu itu aku nggak ngapel
(ceritanya ngambek). Aku cuman duduk-duduk sambil gitaran di teras kamar
kostku. Semua teman kostku pada ngapel atau entah nglayap kemana. Rumah induk
yang kebetulan bersebelahan dengan rumah kost agak sepi. Sebab sejak tadi sore
ibu kost dan bapak pergi ke kondangan. Putri tertua mereka, Murni sudah
dijemput pacarnya sejam yang lalu. Sedang Maidy, adiknya Murni entah nglayap
kemana. Yang ada tinggal Maya, si bungsu dan Ersa, sepupunya yang kebetulan
lagi berkunjung ke rumah oomnya. Terdengar irama lagu India dari dalam rumah
induk, pasti mereka lagi asyik menonton Gala Bollywood.
Nggak tahu, entah karena suaraku merdu atau
mungkin karena suaraku fals plus berisik, Maya datang menghampiriku.
"Lagi nggak ngapel nih, Mas Andra?"
sapanya ramah (perlu diketahui kalau Maya memang orangnya ramah banget)
"Ngapel sama siapa, May?" jawabku
sambil terus memainkan Sialannya Cokelat.
"Ah... Mas Andra ini pura-pura lupa sama
pacarnya."
Gadis itu duduk di sampingku (ketika dia duduk
sebagian paha mulusnya terlihat sebab Maya cuman pakai kulot sebatas lutut).
Aku cuman tersenyum kecut.
"Udah putus aku sama dia." jawabku
kemudian.
Nggak tahu deh, tapi aku menangkap ada yang
aneh dari gelagat Maya. Gadis 14 tahun itu nampaknya senang mendengar aku
putus. Tapi dia berusaha menutup-nutupinya.
"Yah, kacian deh... habis putus sama
pacar ya?" godanya. "Kayaknya bete banget lagunya."
Aku menghentikan petikan gitarku.
"Yah, gimana ya... kayaknya aku lebih
suka sama Maya deh ketimbang sama dia."
Nah lo! Kentara benar perubahan wajahnya.
Gadis berkulit langsep agak gelap itu merah mukanya. aku segera berpikir, apa
bener ya gosip yang beredar di tempat kost ini kalo si Maya ada mau sama aku.
"May, kok diam aja? Malu yah..."
Maya melirik ke arahku dengan manja. Tiba-tiba
saja batinku ngrasani, gadis yang duduk di sampingku ini manis juga yah. Masih
duduk di kelas dua smp tapi kok perawakannya udah kayak anak sma aja. Tinggi
langsing semampai, bodinya bibit-bibit peragawati, payudaranya... waduh kok
besar juga ya. Tiba-tiba saja jantungku berdebar memandangi tubuh Maya yang
cuman pakai kaos ketat tanpa lengan itu. Belahan dadanya sedikit tampak
diantara kancing-kancing manisnya. Ih, ereksiku naik waktu melirik pahanya yang
makin kelihatan. Kulit paha itu ditumbuhi bulu-bulu halus tapi cukup lebat
seukuran cewek.
"Mas, daripada nganggur gimana kalo Mas
Andra bantu aku ngerjain peer bahasa inggris?"
"Yah Maya, malam minggu kok ngerjain
peer? Mendingan pacaran sama Mas Andra, iya nggak?" pancingku.
"Ah, Mas Andra ini bisa aja godain
Maya.."
Maya mencubit pahaku sekilas. Siir.. Wuih, kok
rasanya begini. Gimana nih, aku kok kayak-kayak nafsu sama ini bocah. Waduh,
penisku kok bangun yah?
"Mau nggak Mas, tolongin Maya?"
"Ada upahnya nggak?"
"Iiih, dimintai tolong kok minta upah
sih..."
Cubitan kecil Maya kembali memburu di pahaku.
Siiiir... kok malah tambah merinding begini ya?
"Kalau diupah sun sih Mas Andra mau
loh." pancingku sekali lagi.
"Aah... Mas Andra nakal deh..."
Sekali lagi Maya mencubit pahaku. Kali ini aku
menahan tangan Maya biar tetap di pahaku. Busyet, gadis itu nggak nolak loh.
Dia cuman diam sambil menahan malu.
"Ya udah, Maya ambil bukunya trus
ngerjain peernya di kamar Mas Andra aja. Nanti tak bantu ngerjain peer, tak
kasih bonus pelajaran pacaran mau?"
Gadis itu cuman senyum saja kemudian masuk
rumah induk. Asyik... pasti deh dia mau. Benar saja, nggak sampai dua menit aku
sudah bisa menggiringnya ke kamar kostku.
Kami terpaksa duduk di ranjang yang cuman
satu-satunya di kamar itu. Pintu sudah aku tutup, tapi nggak aku kunci. Aku
sengaja nggak segera membantunya ngerjain peer, aku ajak aja dia ngobrol.
"Sudah bilang sama Ersa kalo kamu
kemari?"
"Iya sudah, aku bilang ke tempat Mas
Andra."
"Trus si Ersa gimana? Nggak marah?"
"Ya enggak, ngapain marah."
"Sendirian dong dia?"
"Mas Andra kok nanyain Ersa mulu sih?
Sukanya sama Ersa ya?" ujar Maya merajuk.
"Yee... Maya marah. Cemburu ya?"
Maya merengut, tapi sebentar sudah tidak lagi.
Dibuka-bukanya buku yang dia bawa dari rumah induk.
"Maya udah punya pacar
belum?"tanyaku memancing.
"Belum tuh."
"Pacaran juga belum pernah?"
"Katanya Mas Andra mau ngajarin Maya
pacaran." balas Maya.
"Maya bener mau?" Gayung bersambut
nih, pikirku.
"Pacaran itu dasarnya harus ada
suka." lanjutku ketika kulihar Maya tertunduk malu. "Maya suka sama
mas Andra?"
Maya memandangku penuh arti. Matanya seakan
ingin bersorak mengiyakan pertanyaanku. tapi aku butuh jawaban yang bisa
didengar. Aku duduk merapat pada Maya.
"Maya suka sama Mas Andra?" ulangku.
"Iya." gumamnya lirih.
Bener!! Dia suka sama aku. Kalau gitu aku
boleh...
"Mas Andra mau ngesun Maya, Maya nurut
aja yah..." bisikku ke telinga Maya
Tanganku mengusap rambutnya dan wajah kami
makin dekat. Maya menutup matanya lalu membasahi bibirnya (aku bener-bener
bersorak sorai). Kemudian bibirku menyentuh bibirnya yang seksi itu, lembut
banget. Kulumat bibir bawahnya perlahan tapi penuh dengan hasrat, nafasnya mulai
berat. Lumatanku semakin cepat sambil sekali-sekali kugigit bibirnya.
Mmm..muah... kuhisap bibir ranum itu.
"Engh.. emmh.." Maya mulai melenguh.
Nafasnya mulai tak beraturan. Matanya terpejam
rapat seakan diantara hitam terbayang lidah-lidah kami yang saling bertarung,
dan saling menggigit. Tanganku tanpa harus diperintah sudah menyusup masuk ke
balik kaos ketatnya. Kuperas-peras payudara Maya penuh perasaan. ereksiku
semakin menyala ketika gundukan hangat itu terasa kenyal di ujung jari-jariku.
Bibirku merayap menyapu leher jenjang Maya.
Aku cumbui leher wangi itu. Kupagut sambil kusedot perlahan sambil kutahan
beberapa saat. Gigitan kecilku merajang-rajang birahi Maya.
"Engh.. Masss... jangan... aku
uuuh..."
Ketika kulepaskan maka nampaklah bekasnya
memerah menghias di leher Maya.
"May... kaosnya dilepas ya
sayang..."
Gadis itu hanya menggangguk. Matanya masih
terpejam rapat tapi bibirnya menyunggingkan senyum. Nafasnya memburu. Sambil
menahan birahi, kubuka keempat kancing kaos Maya satu persatu dengan tangan
kananku. Sedang tangan kiriku masih terus meremas payudara Maya bergantian dari
balik kaos. Tak tega rasanya membiarkan Maya kehilangan kenikmatannya. Jemari
Maya menggelitik di dada dan perutku, membuka paksa hem lusuh yang aku kenakan.
Aku menggeliat-geliat menahan amukan asmara yang Maya ciptakan.
Kaos pink Maya terjatuh di ranjang. Mataku
melebar memandangi dua gundukan manis tertutup kain pink tipis. Kupeluk tubuh
Maya dan kembali kuciumi leher jenjang gadis manis itu, aroma wangi dan
keringatnya berbaur membuatku semakin bergairah untuk membuat hiasan-hiasan
merah di lehernya.Perlahan-lahan kutarik pengait BH-nya, hingga sekali tarik
saja BH itupun telah gugur ke ranjang. Dua gundukan daging itupun menghangat di
ulu hatiku.
Kubaringkan perlahan-lahan tubuh semampai itu
di ranjang. Wow... payudara Maya (yang kira-kira ukuran 34) membengkak.
Ujungnya yang merah kecoklatan menggairahkan banget. Beberapa kali aku menelan
ludah memandangi payudara Maya. Ketika merasakan tak ada yang kuperbuat, Maya
memicingkan mata.
"May... adekmu udah gede banget May..."
"Udah waktunya dipetik ya mass..."
"Ehem, biar aku yang metik ya
May..."
Aku berada di atas Maya. Tanganku segera
bekerja menciptakan kenikmatan demi kenikmatan di dada Maya.
Putar... putar.. kuusap memutar pentel bengkak
itu.
"Auh...Mass.. Aku nggak tahan Mass...
kayak kebelet pipis mas.." rintih Maya.
Tak aku hiraukan rintihan itu. Aku segera
menyomot payudara Maya dengan mulutku.
"Mmmm... suuup... mmm..."
kukenyot-kenyot lalu aku sedot putingnya.
"Mass... sakiit..." rintih Maya
sambil memegangi vaginanya.
Sekali lagi tak aku hiraukan rintihan itu.
Bagiku menggilir payudara Maya sangat menyenangkan. Justru rintihan-rintihan
itu menambah rasa nikmat yang tercipta.
Tapi lama kelamaan aku tak tega juga membuat
Maya menahan kencing. Jadi aku lorot saja celananya. Dan ternyata CD pink yang
dikenakan Maya telah basah.
"Maya kencing di celana ya Mass?"
"Bukan sayang, ini bukan kencing. Cuman
lendir vaginamu yang cantik ini."
Maya tertawa mengikik ketika telapak tanganku
kugosok-gogokkan di permukaan vaginanya yang telah basah. Karena geli
selakangnya membuka lebar. Vaginanya ditumbuhi bulu lebat yang terawat. Lubang
kawin itu mengkilap oleh lendir-lendir kenikmatan Maya. Merah merona, vagina
yang masih perawan.
Tak tahan aku melihat ayunya lubang kawin itu.
Segera aku keluarkan penisku dari sangkarnya. Kemudian aku jejalkan ke pangkal
selakangan yang membuka itu.
"Tahan ya sayang...engh.."
"Aduh... sakiiit mass..."
"Egh... rileks aja...."
"Mas... aah!!!" Maya menjambak
rambutku dengan liar.
Slup... batang penisku yang perkasa menembus
goa perawan Maya yang masih sempit. Untung saja vagina itu berair jadi nggak
terlalu sulit memasukkannya. Perlahan-lahan, dua centi lima centi masih sempit
sekali.
"Aduuuh Masss... sakiiit..." rintih
Maya.
Aku hentakkan batang penisku sekuat tenaga.
"Jruub..."
Langsung amblas seketika sampai ujungnya
menyentuh dinding rahim Maya. Batang penisku berdenyut-denyut sedikit sakit
bagai digencet dua tembok tebal. Ujungnya tersentuh sesuatu cairan yang hangat.
Aku tarik kembali penisku. Lalu masukkan lagi, keluar lagi begitu berkali-kali.
Rasa sakitnya berangsur-angsur hilang.
Aku tuntun penisku bergoyang-goyang.
"Sakit sayang..." kataku.
"Enakkk...eungh..." Maya
menyukainya.
Ia pun ikut mengggoyang-goyangkan pantatnya.
Makin lama makin keras sampai-sampai ranjang itu berdecit-decit. Sampai-sampai
tubuh Maya berayun-ayun. Sampai-sampai kedua gunung kembar Maya
melonjak-lonjak. Segera aku tangkap kedua gunung itu dengan tanganku.
"Enggh.. ahhh.." desis Maya ketika tanganku
mulai meremas-remasnya.
"Mass aku mau pipis..."
"Pipis aja May... nggak papa kok."
"Aaach...!!!"
"Hegh...engh..."
"Suuur... crot.. crot.. "
Lendir kawin Maya keluar, spermaku juga
ikut-ikutan muncrat. Kami telah sama-sama mencapai orgasme.
"Ah..." lega. Kutarik kembali
penisku nan perkasa. Darah perawan Maya menempel di ujungnya berbaur dengan
maniku dan cairan kawinnya. Kupeluk dan kuciumi gadis yang baru memberiku
kepuasan itu. Mayapun terlelap kecapaian.
Kreek... Pintu kamarku dibuka. Aku segera
menengok ke arah pintu dengan blingsatan. Ersa terpaku di depan pintu
memandangi tubuh Maya yang tergeletak bugil di ranjang kemudian ganti
memandangi penisku yang sudah mulai melemas. Tapi aku juga ikut terpaku kala
melihat Ersa yang sudah bugil abis. Aku tidak tahu tahu kalau sejak Maya masuk
tadi Ersa mengintip di depan kamar.
"Ersa? Ng... anu.." antara takut dan
nafsu aku pandangi Ersa.
Gadis ini lebih tua dua tahun diatas Maya.
Pantas saja kalau dia lebih matang dari maya. Walau wajahnya tak bisa menandingi
keayuan Maya, tapi tubuhnya tak kalah menarik dibanding Maya, apalagi dalam
keadaan full naked kayak gitu.
"Aku nggak akan bilang ke oom dan tante
asal..."
"Asal apaan?"
Mata Ersa sayu memandang ke arah Maya dan
penisku bergantian. Lalu dia membelai-belai payudara dan vaginanya sendiri.
Tangan kirinya bermain-main di belahan vaginanya yang telah basah. Ersa sengaja
memancing birahiku. Melihat adegan itu, gairahku bangkit kembali, penisku
ereksi lagi. Tapi aku masih ingin Ersa membarakan gairahku lebih jauh.
Ersa duduk di atas meja belajarku. Posisi
kakinya mekangkang sehingga vaginanya membuka merekah merah. Tangannya masih
terus meremas-remas susunya sendiri. Mengangkatnya tinggi seakan menawarkan
segumpal daging itu kepadaku.
"Mas Andra.. sini.. ay..."
Aku tak peduli dia mengikik bagai perek. Aku
berdiri di depan gadis itu.
"Ayo.. mas mainin aku lebih hot
lagi.." pintanya penuh hasrat.
Aku gantiin Ersa meremas-remas payudaranya
yang ukuran 36 itu. Puting diujungnya sudah bengkak dan keras, tanda Ersa sudah
nafsu banget.
"Eahh.. mmhh..." rintihannya sexy
sekali membuatku semakin memperkencang remasanku.
"Eahhh.. mas.. sakit.. enak...."
Ersa memainkan jarinya di penisku.
Mempermainkan buah jakarku membuatku melenguh keasyikan. "Ers... tanganmu
nakal banget..."
Gadis itu cuman tertawa mengikik tapi terus
mempermainkan senjataku itu. Karena gemas aku caplok susu-susu Ersa bergantian.
Kukenyot sambil aku tiup-tiup.
"Auh..."
Ersa menekan batang penisku.
"Ers... sakit sayang" keluhku diantara
payudara Ersa.
"Habis dingin kan mas..." balasnya.
Setelah puas aku pandangi wajah Ersa.
"Ersa, mau jurus baru Mas Andra?"
Gadis itu mengangguk penuh semangat.
"Kalau gitu Ersa tiduran di lantai
gih!"
Ersa menurut saja ketika aku baringkan di lantai.
Ketika aku hendak berbalik, Ersa mencekal lenganku. Gadis yang sudah gugur rasa
malunya itu segera merengkuhku untuk melumat bibirnya. Serangan lidahnya
menggila di ronga mulutku sehingga aku harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk
mengimbanginya. Tanganku dituntunnya mengusap-usap lubang kelaminnya. Tentu
saja aku langsung tanggap. Jari-jariku bermain diantara belantara hitam nan
lebat diatas bukit berkawah itu. "Mmmm... enghh..."
Kami saling melenguh merasakan sejuta nikmat
yang tercipta.
Aku ikut-ikutan merebah di lantai. Aku arahkan
Ersa untuk mengambil posisi 69, tapi kali ini aku yang berada di bawah. Setelah
siap, tanpa harus diperintah Ersa segera membenamkan penisku ke dalam mulutnya
(aku jadi berpikiran kalau bocah ini sudah berpengalaman).
Ersa bersemangat sekali melumat penisku yang
sejak tadi berdenyut-denyut nikmat. Demikian juga aku, begitu nikmatnya
menjilati lendir-lendir di setiap jengkal vagina Ersa, sedang jariku
bermain-main di kedua payudaranya. Srup srup, demikian bunyinya ketika kusedot
lendir itu dari lubang vagina Ersa. Ukuran vagina Ersa sedikit lebih besar
dibanding milik Maya, bulu-bulunya juga lebih lebat milik Ersa. Dan
klitorisnya... mmm... mungil merah kenyal dan mengasyikkan. Jadi jangan ngiri
kalo aku bener-bener melumatnya dengan lahap.
"Ngngehhh...uuuhh.." lenguh Ersa
sambil terus melumat senjataku.
Sedang lendir kawinnya keluar terus.
"Erss... isep sayang, iseppp..."
kataku ketika aku merasa mau keluar.
Ersa menghisap kuat-kuat penisku dan
crooott... cairan putih kental sudah penuh di lubang mulut Ersa. Ersa berhenti
melumat penisku, kemudian dia terlentang dilantai (tidak lagi menunggangiku).
Aku heran dan memandangnya.
"Aha..." ternyata dia menikmati rasa
spermaku yang juga belepotan di wajahnya, dasar bocah gemblung.
Beberapa saat kemudian dia kembali menyerang
penisku. Mendapat serangan seperti itu, aku malah ganti menyerangnya. Aku
tumbruk dia, kulumat bibirnya dengan buas. Tapi tak lama Ersa berbisik,
"Mas.. aku udah nggak tahan..."
Sambil berbisik Ersa memegangi penisku dengan
maksud menusukannya ke dalam vaginanya.
Aku minta Ersa menungging, dan aku siap
menusukkan penisku yang perkasa. penisku itu makin tegang ketika menyentuh
bibir vagina. Kutusuk masuk senjataku melewati liang sempit itu.
"Sakit Mas..."
Sulitnya masuk liang kawin Ersa, untung saja
dindingnya sudah basah sejak tadi jadi aku tak terlalu ngoyo.
"Nggeh... dikit lagi Ers..."
"Eeehhh... waaa!!"
"Jlub..." 15 centi batang penisku
amblas sudah dikenyot liang kawin Ersa. Aku diamkan sebentar lalu aku
kocok-kocok seirama desah nafas.
"Eeehh... terus mass... uhh..."
Gadis itu menggeliat-geliat nikmat. Darah
merembes di selakangnya. Entah sadar atau tidak tangan Ersa meremas-remas
payudaranya sendiri.
Lima belas menit penisku bermain petak umpet
di vagina Ersa. Rupaya gadis itu enggan melepaskan penisku. Berulang-ulang kali
spermaku muncrat di liang rahimnya. Merulang-ulang kali Ersa menjerit
menandakan bahwa ia berada dipucuk-pucuk kepuasan tertinggi. Hingga akhirnya
Ersa kelelahan dan memilih tidur terlentang di samping Maya.
Capek sekali rasanya menggarap dua daun muda
ini. Aku tak tahu apa mereka menyesal dengan kejadian malam ini. Yang pasti aku
tak menyesal perjakaku hilang di vagina-vagina mereka. Habisnya puas banget.
Setidaknya aku bisa mengobati kekecewaanku kepada Rere.
Malam makin sepi. Sebelum yang lain pada
pulang, aku segera memindahkan tubuh Maya ke kamarnya lengkap dengan
pakaiannya. Begitu juga dengan Ersa. Dan malam ini aku sibuk bergaya
berpura-pura tak tahu-menahu dengan kejadian barusan. Lagipula tak ada bukti,
bekas cipokan di leher Maya sudah memudar.
He.. he.. he.. mereka akan mengira ini hanya
mimpi.
E N D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar