Aku kini benar-benar terbangun setelah
mendengar dengkuran Mas Har beberapa lamanya. Kuperhatikan dada dan perutnya
yang padat lemak itu naik-turun seirama dengan suara dengkur yang makin
menjengkelkanku. Aku turun dari ranjang dan berjalan menuju cermin besar di
kamar tidur kami. Kupandangi dan kukagumi sendiri tubuh telanjangku yang masih
langsing dan cukup kencang di usiaku yang tigapuluhan. Kulitku masih cukup
mulus dan putih, payudaraku tetap bulat dan kenyal, pas benar dengan bra 37B
warna pink favoritku saat kuliah. Dan wajahku masih halus, semua terawat oleh
kosmetik yang aku dapatkan dari uang Mas Har.
Ah, aku masih sangat menarik. Tentu saja,
tanda-tanda ketuaan tak bisa dihindari, namun tubuhku belum pernah melar karena
hamil, apalagi melahirkan. Aku masih ingin meniti karierku, aku ini wanita yang
menikmati kekuasaan. Dan menikah dengan Mas Har membuka lebar-lebar kesempatan
untuk meraih ambisi itu. Kualihkan pandangan pada sosok lelaki tambun di
ranjangku. Mas Har yang dulu tampil sangat jantan, bisa sangat berubah dalam
waktu 12 tahun. Rambut halus di dada dan perutnya dulu yang selalu membuatku
bergairah bila dipeluknya, kini tumbuh makin lebat dan liar, sedangkan Mas Har
tidak pernah mau mencukurnya. Perutnya yang kokoh dulu kini ditutupi oleh
selimut lemak yang sangat tebal. Memang otot dada dan tangannya yang kekar
masih bertahan. Namun kalau aku bercinta dengan Mas har sekarang, rasanya aku
sedang ditiduri oleh seekor gorilla. Memuakkan.
Meski begitu, hasratku akhir-akhir ini makin
tak tertahankan. Seringkali, akulah yang meminta duluan ke Mas Har untuk
memuaskan nafsuku. Namun gara-gara stamina Mas Har yang loyo di usianya yang
setengah abad lebih, aku hampir pasti tidak terpuaskan dan kebanyakan aku
sendiri yang menyelesaikan "tugas" Mas Har. Sama seperti yang terjadi
sore ini, tinggal sebentar lagi aku merasakan orgasme, tiba-tiba Mas Har
keluar, dan dengan napas tersengal-sengal ia membelai-belai tubuhku kemudian
tertidur lelap di sampingku. Lagi-lagi harus jari-jariku sendiri yang
memuaskanku. Aku sudah tak tahan. Aku tidak peduli lagi pada nilai dan norma
yang berlaku bagiku sebagai perempuan. Kubulatkan tekadku, kemudian aku pergi
ke kamar mandi untuk membersihkan diri dari bekas cumbuan suamiku yang
memuakkan.
Selesai sarapan Mas Har pamit padaku dan
mengatakan betapa menyesalnya dia harus meninggalkanku akhir pekan ini ke
Singapura, demi kepentingan lobby perusahaannya. Mas Har memang pernah
menawarkan padaku untuk pergi bersamanya, tapi aku menolak dengan alasan aku
lelah dengan pekerjaan kantorku dan sedang tidak ingin pergi begitu jauh hanya
untuk berbelanja. Dan kesempatan ini akan aku gunakan sebaik-baiknya. Sore ini
aku akan punya kegiatan yang lebih menarik dari sekedar berbelanja, di
Singapura sekalipun. Supir kami mengantar Mas Har pergi dan 30 menit kemudian
aku pergi menuju kantor membawa sedanku sendiri.
Setelah makan siang aku kembali ke kantor dan
menyelesaikan sebagian pekerjaanku hari itu dan dua jam sebelum waktu pulang,
aku menyerahkan sisa pekerjaan itu ke bawahanku. Mereka tidak terlalu senang
dengan tugas mendadak itu, tapi nampaknya mereka sudah terbiasa dengan
perangaiku. Mereka paham bahwa aku tidak ingin menjadi lelah, karena sepulang
kerja nanti aku akan pergi bersama teman-temanku, eksekutif wanita muda yang
lain. Hanya saja mereka tidak tahu kalau hari itu, aku sudah membatalkan acara
jalan-jalan kami.
Kukemudikan sedanku ke arah rumahku, namun
kemudian berbelok menuju tempat lain. Sekitar 15 menit kemudian aku berhenti di
samping sebuah lapangan basket di dalam suatu perumahan. Di sana sejumlah
remaja SMU sedang bermain. Aku turun dari mobilku dan duduk di samping lapangan
tempat tas-tas mereka diletakkan, lalu menyaksikan permainan mereka. Salah satu
dari mereka, mengenakan kostum basket warna merah, yang kemudian melihatku,
tersenyum dan melambaikan tangannya. Aku membalas dengan cara serupa. Dia
adalah Angga, anak salah satu bawahanku yang sedang kutugaskan pergi ke luar
kota selama beberapa hari. Hubunganku dengan keluarga mereka cukup akrab untuk
mengetahui bahwa Angga mengikuti latihan basket dua kali seminggu di sana.
Sepuluh menit kemudian permainan berakhir dan
sejumlah remaja itu menuju ke tas mereka, yaitu ke arahku. Aku berjalan menuju
Angga membawa sebotol minuman yang sudah kusiapkan pagi tadi.
"Ang, minum dulu nih. Ternyata tadi di
mobil Tante masih ada sebotol", tawarku.
"Oh iya, Tante, makasih!", jawabnya
tersengal.
Nampaknya ia masih kelelahan. Angga mengambil
botol dari tanganku dan segera menghabiskan isinya. Kami berjalan menuju
tasnya. Dan ia mengeluarkan handuk untuk menyeka keringatnya. Aku mengintip
sebentar ke dalam tasnya dan bersyukur aku memberikan botol minumanku kepada
Angga sebelum ia sempat mengambil minuman bekalnya sendiri.
Sebagai pemain basket, Angga cukup tinggi.
Dari tinggi badanku yang 168 cm kuperkirakan kalau tinggi Angga sekitar 180-an
cm. Bisa kuperhatikan tangan Angga cukup kekar untuk anak seusianya, sepertinya
olahraga basket benar-benar melatih fisiknya. Figur badannya menunjukkan
potensinya sebagai atlet basket. Aku beralih ke wajahnya yang masih nampak imut
walau basah oleh keringat. Dengan kulit yang kuning, wajahnya benar-benar manis.
Aku tersenyum.
Setelah menyeka wajahnya, Angga
memperhatikanku sebentar dan berkata, "Tante Nia dari kantor? Kok pake ke
sini?"
"Nggak, males aja mau ke rumah, enggak
ada temannya sih. Om Harry lagi ke Singapura. Jadi tante jalan-jalan.. terus
ternyata lewat deket-deket sini, sekalian aja mampir.." ujarku setengah
merajuk.
Ia beralih sebentar untuk ngobrol dan bercanda
dengan temannya.
"Sama dong Tante, Angga lagi males nih di
rumah, nggak ada orang sih!"
"Nggak ada orang? Ibu sama adik kamu ke
mana?"
"Nginep di rumah nenek, besok sore
pulang. Aku disuruh jaga rumah sendirian". Angga menaruh handuknya dan
duduk di sampingku.
"Oh, kebetulan banget ya.."
kata-kata itu tiba-tiba terlepas dari mulutku.
Yang dikatakan Angga benar-benar di luar
dugaanku, tapi justru membuat keadaan jadi lebih baik. Aku tidak perlu bersusah
payah untuk mencari tempat ber..
"Kenapa, Tante? Kebetulan gimana?"
"Iya, kebetulan aja kita sama-sama cari
teman.." Angga tersenyum.
"Sebenarnya.. Ehh.. Tante ada perlu sih
ke rumahmu. Ada file laporan penting yang harus diambil segera, padahal papa
kamu masih di luar kota. Kira-kira bisa nggak ya, tante ke rumahmu ngambil file
itu? Tante sudah bilang kok sama Papa kamu, katanya tante disuruh ngambil aja
di rumah.."
"Oh, nggak apa-apa kok. Cuma mungkin agak
lama ya, Tante. Soalnya aku musti cari-cari kunci cadangannya lemari papa.
Biasanya selalu dikunci sih, kalau pergi-pergi. "
"Nggak masalah, Tante nggak buru-buru.
Kita pergi sekarang?".
Angga mengangguk lalu kami berjalan menuju
mobilku. Angga melambaikan tangan pada teman-temannya dan meneriakkan kata-kata
perpisahan. Kuperhatikan teman-teman Angga saling berbisik dan tertawa-tawa
kecil melihat kami pergi.
"Di rumah benar-benar nggak ada orang
yah, Ang?"
"Cuma aku doang, Tante. Untungnya sih
Mama ngasih uang lumayan buat cari makan."
"Aduh.. Kaciann.." kataku manja.
"Tapi biasanya seumuran kamu pasti ada pacar yang nemenin kemana-mana
kan.."
Angga menoleh dan tersenyum padaku. "Wah,
Angga nggak punya Tante. Belum ada yang mau!"
"Ah, masa? Cowok keren kaya kamu gini
loh!" Kutepuk pelan lengannya, mencoba merasakan sejenak kekokohannya.
"Kalau Tante sih, sudah dari dulu Angga tante sabet!"
Angga hanya tertawa ramah, ia sudah biasa dengan
gaya bercandaku yang agak genit itu. Padahal sebenarnya, sosok Angga
benar-benar sudah mempesonaku saat ia diperkenalkan padaku dan Mas Har setahun
yang lalu.
Perjalanan ke rumah Angga memakan waktu
sekitar 30 menit karena jalanan sudah penuh oleh mobil-mobil orang lain yang
menuju rumah masing-masing. Dalam perjalanan aku tetap memperhatikan Angga. Aku
ingin tahu apakah minuman yang tadi Angga minum sudah menunjukkan reaksinya.
Biasanya aku menggunakan obat itu untuk memancing nafsu Mas Har dan mempertahankan
staminanya. Aku mungkin sudah gila.. Mencoba untuk tidur dengan bocah SMU anak
pegawaiku sendiri.. Tapi biarlah.. Gelegak di diriku sudah tak mampu lagi aku
bendung.
Tadi pagi aku memberikan dosis ekstra pada
minuman yang kuberikan pada Angga, dan sekarang aku penasaran akan efeknya pada
tubuh muda Angga. Bisa kulihat sekarang napas Angga mulai naik-turun lagi
setelah sempat tenang duduk dalam mobil. Duduknya juga nampak sedikit gelisah.
Aku menepi. Kami sudah sampai.
Ia membuka pintu dan mempersilahkan aku masuk.
Aku duduk nyaman di sofa ruang tamu dan ia menuju dapur untuk menyiapkan
segelas minuman buatku. Rumah Angga tidak besar, sekedar cukup untuk tinggal
empat orang. Sekali lagi aku menanyakan pada diriku sendiri, apakah aku ingin
melakukan hal ini.. Dan sedetik kemudian aku menjawab: aku memang benar-benar
menginginkannya..
Kutanggalkan jas dan blazerku, menyisakan
sebuah tank-top putih untuk melekat di bagian atas tubuhku. Tadi pagi aku sudah
mematut diri di kaca dengan tank-top ini. Sebenarnya ukurannya sedikit lebih
kecil dari ukuranku, hingga cukup ketat untuk memperlihatkan dengan jelas
bentuk payudaraku, bahkan puting susuku. Aku tersenyum geli ketika meihat
diriku di cermin pagi itu. Rok miniku kutarik sedikit lebih tinggi, dan kusilangkan
kakiku sedemikian rupa hingga Angga yang nanti kembali dari dapur akan
memperhatikan pahaku yang mulus.
Angga keluar beberapa menit kemudian
membawakan segelas sirup dengan batu es. Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan
langkahnya menuju meja di depanku.
"Panas banget, Ang. Makanya Tante copot
blazernya", kataku setengah mengeluh.
"Iya, memang di sini nggak ada AC seperti
di rumah Tante".
Suara Angga sedikit terbata, nafasnya
naik-turun, dan mencoba tersenyum. Kulihat Angga juga berkeringat, tapi aku
tahu hal itu bukan hanya karena panas yang ada di ruang tamu ini. Aku mengambil
gelas yang dingin itu dan menggosokkannya pada bagian bawah leherku yang
berkeringat. Segar sekali..
"Ahh.. Seger baget Ang. "
Angga menelan ludahnya. Kuminum sedikit sirup
itu.
"Uhh.. Top banget. Enak, Ang",
ujarku setengah mendesah.
"Hmm.. Tante.. Angga.. Angga cari kunci
lemarinya papa dulu ya.." kata Angga. Anak ini pemalu juga, kataku dalam
hati. "Oh, iya deh, Tante tunggu. " Angga kemudian bergegas menuju
satu lemari besar di samping sofa dan mulai membuka laci-lacinya.
Aku bersabar sedikit lebih lama. Aku tahu dari
tingkah laku Angga yang makin gelisah, kalau obat itu sebentar lagi akan
benar-benar memberi efek. Setelah 10 menit mencari dan belum menemukan kuci
itu. Aku berjalan ke arah Angga yang masih membungkuk, mencari kunci itu di
salah satu laci.
"Ang.. Apa nggak lebih baik.."
Angga lalu berdiri dan membalikkan badannya
menghadapku. Aku tahu dia sempat mencuri pandang ke arah dadaku sebelum melihat
wajahku. Ia menelan ludahnya. Aku mendekat padanya hingga jika aku melangkah
sekali lagi tubuhku akan langsung bersentuhan dengannya. Angga mencoba mundur,
tapi lemari besar itu menghalanginya.
"Kenapa..? Tante..?", nafasnya
terasa menyentuh dahiku.
Aku mendongak sedikit, menatap wajahnya.
"Lebih baik kamu.."
Tanganku meraba otot bisepnya, padat..
"Mandi dulu.."
Tanganku yang satu menyentuh tepi bawah kostum
basketnya..
"Terus ganti baju.."
Kedua tanganku mulai mengangkat kausnya..
"Kan, kamu keringetan gini.."
Tanganku setengah meraba otot-otot perutnya
yang keras sambil terus membawa kausnya ke atas..
"Nanti.. Kuncinya.. Dicari lagi.."
Dadanya cukup kokoh, dan terasa sekali
paru-parunya mengembang dan mengempis semakin cepat, jantungnya berdegup
kencang.. Wajahku terasa panas, jantungku ikut berdetak cepat. Angga mengangkat
lengannya dan berkata, "Ya Tante.."
Tapi suara Angga lebih mirip desahan berat.
Kuangkat lagi kausnya ke atas dan Angga dengan cepat meneruskan pekerjaanku dan
kemudian melemparkan kausnya ke samping. Angga sekarang bertelanjang dada,
dengan celana selutut masih dikenakannya. Aku merapatkan badanku padanya namun
tiba-tiba aku berhenti setelah merasakan sesuatu mengenai perutku. Aku mundur
sedikit dan melihat ke arah dari mana sentuhan di perutku berasal.
"Oh..!", bisikku sedikit terkejut.
Dari dalam celananya terlihat tonjolan yang
cukup panjang dan besar. Penis Angga.. Siluetnya terlihat jelas dari celana
basketnya yang longgar. Aku melihat wajah Angga. Ia juga melihat tonjolan di
celananya itu, sedikit terkejut, kemudian melihatku. Napasnya menderu.
"Eh, maaf tante.. aku.. Nggak pernah..
Pake.."
"Celana dalam? Nggak.. Pernah..?"
potongku.
Ia hanya menggeleng dan kembali menatapku.
Aku tersenyum. "Nggak apa-apa.. Lebih
baik gitu.."
Wajah imutnya memperlihatkan keterkejutan.
Tapi aku segera kembali merapatkan tubuhku dan maju lebih berani. Kucengkram
batang kemaluannya dari luar celananya. Angga napak semakin terkejut dan
badannya berguncang sedikit. Kemudian semua berjalan menuruti nafsu kami yang
bergelora.
Angga memelukku, membawa bibirku rapat ke
bibirnya dan melakukan ciuman paling bernafsu yang pernah aku terima dalam satu
dekade ini. Lidahnya bergelut liar dengan lidahku, bibirku digigitnya pelan..
Kupegang kepalanya dan kurapatkan terus dengan wajahku. Kuacak-acak rambutnya
seakan aku ingin seluruh tubuhnya masuk ke dalam ragaku.
Angga mencoba menyudahi ciuman itu. Aku
khawatir ia akan menolak untuk bertindak lebih jauh, hingga aku tidak
membiarkannya. Tapi aku sudah sulit mengatur napasku, dan akhirnya kulepaskan
wajahnya. Aku tersengal, mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya. Ternyata
Angga sama sekali tidak berhenti. Saat aku ditaklukkan nafsu saat berciuman
tadi, Angga sudah berhasil melepaskan tank-topku tanpa sedikitpun aku
menyadarinya. Tank-top itu kini berada di bawah kakiku. Dan kini Angga mulai
menghisap dan menjilati leherku dengan buas.
"Ohh.. Anngghh.." ini dia yang
selama ini kudambakan, gairah dan energi yang begitu meluap..
Lidah Angga bergerak lagi ke bawah.. Membasahi
belahan dadaku.. Berputar sebentar di sekitar puting kiriku, memberikan sensasi
geli yang nikmat.. Kemudian Angga melahap payudaraku.
"Ouuhh.. Kamu.. Ahh.. Kurang ajar yahh..
Hmmpphh.. Terusin Anngg.. Ahh.. Mmmhh.."
Bocah ini.. Benar-benar bernafsu.. Ia lalu
melakukan hal sama pada payudaraku yang sebelah kanan dan segera membawaku ke
ambang orgasme.. Aku merasakannya.. Sedikit lagi.. Tapi ia tiba-tiba berhenti,
membuatku melihat ke bawah, ingin tahu apa yang terjadi. Ia berlutut, dan mencoba
melepaskan rok miniku. Tanganku bergerak cepat membantu Angga dan dua detik
kemudian rok itu sudah jatuh ke lantai. Aku mencoba melepaskan pula celana
dalamku, namun Angga lebih cepat.. Ia merobeknya.. Sejurus kemudian lidahnya
beraksi lagi.. Dalam liang kewanitaanku..
"Anggahh.. Kamuhh.. Nggak sopann.."
Kumajukan pinggulku, rasanya aku ingin
membenamkan seluruh wajah Angga ke dalam vaginaku.. Lidah Angga yang tak
terlatih, membuatku harus membantunya menyentuh daerah yang tepat dengan
menggerakkan kepala bocah itu.
"Uuuhh.. Di sini Anngghh.. Ohh..
Yeeaahh..!!"
Angga terus bergerilya dalam gua-ku hingga aku
merasakan gelombang kenikmatan yang hebat.
"Angghh.. Tante.. Mau.. Aaahh!!"
Tubuhku menggeliat seiring dengan orgasme yang
melandaku. Angga dengan liar menjilati cairan-ku sampai tetes yang terakhir.
Kakiku terasa lemas.. Pelan-pelan aku terduduk.. Dan kemudian berbaring di
lantai.. Merasakan sisa-sisa kenikmatan yang telah Angga berikan sambil
terengah-engah..
Aku melihat ke arah Angga. Ia juga sedang
terengah-engah. Badannya berdiri kokoh di hadapanku. Badan kekarnya yang
berkeringat, berkilat oleh pantulan matahari sore yang menerobos jendela kamar.
Dan.. Tak ada lagi celana basket yang melekat di badan itu. Pistolnya..
Mengacung tegak ke arahku. Batangnya begitu besar.. Pasti lebih dari 20 cm, dan
tebal. Rambut tipis dari kemaluannya berlanjut ke atas menuju pusarnya. Oh..
Begitu muda dan gagah..
"Tante.. Aku.."
"Giliran Tante, Ang!"
Aku berdiri, menghimpit tubuhnya dan menjilati
badan remaja itu. Tangannya yang kuat mengelus mendekapku sambil mengusap
punggungku. Saat kugigit-gigit putingnya, Angga mendesah perlahan dan rambutku
diacaknya. Tanganku dengan mudah mendapati penisnya, kemudian kukocok pelan.
Sementara itu lidahku mengembara di otot-otot perut Angga.
Kini aku sampai pada pusarnya. Lidahku terus
bergerak turun dan kulahap pucuk batang kejantanan Angga. Angga menggeram.
Kukulum batangnya dan aku puas mendengar Angga terus mendesah.
"Ooohh.. Tante.. Ahh.."
Kucoba untuk menelan lebih dalam, tapi ukuran
penis Angga terlalu besar. Sudah saatnya..
"Ayo Ang, biar tante ajarin caranya jadi
lelaki.."
Kuajak dia berbaring di lantai, lalu
pelan-pelan aku duduk di perutnya sambil memasukkan pistol Angga ke
'sarung'-nya, memastikan agar aku mendapatkan kenikmatan yang aku mau.
"Aaahh.. Angga.. Punya kamuhh.. Besaarr..
Uuhh.."
Aku membelai dadanya, dan mulai bergerak
naik-turun. Angga melenguh dan memejamkan mata, meresapi setiap gerakan yang
kubuat.
"Uuuhh.. Eegghh.. Aduhh.. Nggak pernah..
Angga.. Ngerasain.. Enak kaya ginihh.."
Setelah mulai terbiasa dengan ritmeku, Angga
membuka matanya. Tangannya memegang kedua payudaraku yang naik turun.
"Tante Nia.. Oohh.. Seksi banget.. Ahh.."
Ia memerasnya.. Dan terasa sangat nikmat..
Kini aku yang menghayati permainan Angga. Tapi aku segera tersadar, kali ini
AKU yang akan memuaskan Angga.
Aku mempercepat gerakanku, sambil sesekali
memutar-mutar pinggulku.
"Ohh.. Tante.. Terusiinn.. Enaakk..
Aahh.. Mmmhh.."
Tangannya beralih ke pantatku, mencoba ikut
mengatur ritmeku. Kuberikan apa yang Angga minta, kujepit batangnya dan aku
semakin bergoyang menggila.
"Gini kan.. Mau kamu, Angghh..
Ehh.."
"Uhh.. Yaa.. Ohh.. Aaagghh.. Kenceng
bangett.. Ayo tante.."
Aku bagai lupa daratan, kenikmatan yang kurasa
benar-benar membius, dan sebentar lagi.. Tinggal sebentar..
"Tantee.. Oooaagghh!! Oh, yeaahh!!"
"Annggaa.. Aaagghh.. Ohh.. Ohh.."
Aku merasakan kenikmatan paling dahsyat dalam
hidupku, bersamaan dengan ejakulasi Angga. Kami berpelukan, berguling sementara
Angga masih meneruskan tikaman penisnya dalam vaginaku, membawaku semakin jauh
dari dunia ini..
"Ohh.. Anggaa.. Ohh.. Kamu.. Udahh..
Bukan perjaka.. Lagi.. Ahh.."
Ia menciumiku, memanjakan payudaraku,
membelai-belai rambutku..
Dengan napas yang tersengal-sengal Angga
berbisik di telingaku,
"Duhh.. Nggak nyangkah.. Tante.. Nakal
banget.. Ahh.. Tapi Angga.. Suka.. Dinakalin.. Tante.. Ehh.. Kontol Angga masih
ngaceng nihh.. ehh.. Mau Tante apain lagi..?"
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar