Villa itu terletak di bagian tengah sebidang
tanah perbukitan yang luasnya hampir 2 hektar. Dari jauh, villa itu terlihat
asri karena dinding luarnya dihiasi dengan batu-batu pualam dan marmer serta
beberapa ornamen kayu jati. Di bagian depan dan belakang, berbatasan dengan
villa-villa di sekitarnya, tumbuh beberapa pohon pinus yang lebat. Tingginya
mencapai 4 hingga 5 meter. Halaman di sekelilingnya terlihat hijau karena
ditumbuhi oleh rumput yang terpangkas rapi. Beberapa batu alam berwarna abu-abu
dan cokelat tua dengan berbagai bentuk dan ukuran tergeletak menghiasi halaman
yang luas itu. Di pojok belakang sebelah barat terdapat sebuah rumah kecil yang
dihuni oleh penjaga villa.
Bangunan villa itu tidak terlalu besar. Di
lantai 1 hanya ada sebuah kamar tidur utama serta sebuah ruang keluarga dan
dapur. Sedangkan di lantai 2 ada dua buah kamar tidur dan ruang kosong yang
tembus hingga ke lantai 1. Tak banyak furniture yang melengkapi villa mungil
dan mewah itu. Dan hampir semuanya terbuat dari kayu jati berukir. Berbagai
bentuk ukiran terasa mendominasi isi villa. Termasuk bingkai cermin berukuran
besar yang menempel pada dinding kamar tidur utama. Nuansa artistik terasa
sangat menonjol di dalam dan luar villa.
Debby baru saja tiba di villa itu kira-kira 10
menit yang lalu. Setelah meletakkan tasnya di teras dan memberi beberapa
instruksi kepada lelaki tua penjaga villa, ia segera melangkah ke kamar tidur
depan di lantai 2. Ditanggalkannya celana jeans dan t-shirt yang dipakainya
sejak dari Jakarta. Sambil berdiri di depan cermin, dikenakannya sebuah kimono.
Sejenak, ia ragu melilitkan tali kimono itu di pinggangnya. Tapi akhirnya,
sambil tersenyum, bra dan celana dalam mini yang dikenakannya pun ditanggalkan
pula. Ia tersenyum ketika mengikat tali kimono itu. Senyum yang menyimpan
sebuah rencana, dan sekaligus senyum untuk dirinya sendiri karena tak ada lagi
yang tersembunyi di balik kimono itu.
Debby berdiri di balkon depan yang menghadap
ke timur. Sejak kecil ia suka menghabiskan waktunya di balkon itu. Terutama
bila sore hari, ia suka menatap embun tipis yang perlahan-lahan turun dari atas
dan mulai bertebaran di halaman. Embun itu kadang-kadang sirna tertiup angin
tetapi kadang-kadang angin bertiup mendorong segerombol embun yang sebagian di
antaranya tersangkut di daun-daun pohon pinus. Kira-kira satu jam kemudian,
ketika sore berubah menjadi senja, embun tipis berwarna putih itu mulai
menyelimuti pucuk-pucuk pinus. Diam tak beranjak. Hanya beberapa gerombol di
atas rumput yang terlihat masih bergerak tertiup angin. Dan ketika senja sirna,
lampu-lampu taman yang bertebaran di halaman pun tak berdaya mengusir embun
yang menyelimuti villa dan sekelilingnya.
Debby melirik jam tangannya. Hm, kurang lebih
setengah jam lagi Theo akan tiba, katanya dalam hati. Setiap kali menyebut nama
lelaki itu jantungnya terasa berdebar. Walau lelaki itu 15 tahun lebih tua dari
usianya, tetapi ia merasa sangat nyaman bila berada di dekatnya. Lelaki yang
selalu memanjakannya, yang berani membantah tetapi bila terus didesak akhirnya
akan menuruti kemauannya. Ia tersenyum dikulum, 'Theo memang selalu
memperlakukanku seolah aku adalah satu-satunya benda berharga baginya' gumam
gadis remaja itu. Kemudian ia teringat beberapa peristiwa 'nakal' yang
membuatnya merasa sangat dimanjakan.
Saat itu mereka sedang menikmati santap malam
di sebuah restoran yang terkenal dengan sajian 'rib roast'-nya. Mereka duduk
berdampingan pada sebuah meja yang posisinya di sudut dan menghadap ke bagian
tengah restoran. Sesekali mereka terpaksa berbisik untuk mengalahkan suara
musik dan lagu-lagu merdu Frank Sinatra. Ketika ia menggigit rib yang terakhir,
setetes kecap jatuh ke lututnya. Ia memang sengaja tidak menggunakan serbet untuk
menutupi pahanya. Sejak merasakan nikmatnya lidah Theo saat menjilati paha
dalam dan pangkal pahanya, ia selalu menggunakan rok mini yang bagian bawahnya
lebar. Ia selalu ingin memperlihatkan sepasang pahanya yang mulus. Bila duduk,
rok mini itu semakin tertarik sehingga hanya kira-kira 10 cm saja yang menutupi
pahanya. Ia tidak khawatir akan 'ditonton' tamu-tamu lainnya karena ada taplak
meja yang menghalangi, taplak yang menjuntai hingga hampir menyentuh lantai.
"Theo, jangan dilap pakai tissue," katanya
ketika melihat Theo menjumput selembar tissue.
"Jadi pakai apa, Sayang."
"Pakai lidah yang suka 'mimik' pipis
Debby!", bisiknya manja.
Theo tertegun. Ditatapnya mata gadis belia itu
seolah sedang mencari ketegasan atas kalimat yang baru saja didengarnya. Ia pun
terkesima mendengar kata 'mimik'. Kata yang lebih mesra sebagai pengganti kata
'minum'. Selintas ia teringat ketika pertama kali mencumbui vagina gadis itu.
Sangat sulit dilupakannya kehangatan yang mengalir dari bibir vagina gadis itu
ketika menjepit lidahnya. Jepitan yang disertai denyutan-denyutan vagina yang
hampir mencapai orgasmenya. Denyutan-denyutan yang membuat ia semakin rakus
menghisap-hisap lendir di vagina itu. Dan tak lama kemudian, ia merasakan
segumpal lendir orgasme mengalir membasahi kerongkongannya. Dan setelah
menjilati bibir luar vagina gadis itu hingga bersih, ia mendengar gadis belia
itu bertanya dengan polos, "Kok pipis Debby diminum?"
"Kok bengong, Theo. Nggak mau ya?"
"Kamu memang nakal dan kadang-kadang
keterlaluan."
"Udah nggak sayang sama Debby, ya!"
"Sayangnya tetap selangit. Tapi ini di
restoran. Di tempat umum!"
"Biarin!" kata gadis itu setengah
merajuk.
"Entar dilihat orang lain. Malu 'kan
kalau ketahuan."
"Biarin!"
"Biarin?"
"Paling juga mereka jadi iri. Yang laki-laki
ingin jadi Theo, yang perempuan ingin jadi Debby!" jawab gadis itu sambil
tertawa kecil. Tawa yang menggemaskan!
Sekilas, Theo memandang ke sekeliling ruangan.
Tak ada tamu yang sedang memandang ke arah mereka. Pelayan-pelayan restoran pun
terlihat sibuk melayani tamu-tamu. Dadanya berdebar-debar. Hatinya terpancing
untuk mencoba. Lalu dengan cepat ia menunduk dan menjilat. Dan dengan cepat
pula ia mengangkat kepalanya kembali. Jantungnya masih berdebar-debar ketika
pandangannya menyapu sekeliling ruangan. Tak ada perubahan. Tak ada seorang pun
yang memandangnya!
Debby tertawa kecil. Dicubitnya pinggang guru
matematikanya itu dengan manja. Sejenak mereka saling tatap, kemudian serentak
tertawa renyah. Tak lama kemudian, gadis belia itu sengaja mengerak-gerakkan
kakinya. Sesekali sebelah kakinya agak diangkat hingga roknya yang mini semakin
tersingkap. Ia semakin bersemangat menggerak-gerakkan kakinya ketika memergoki
Theo tertegun menatap keindahan pahanya. Gerakannya baru berhenti setelah ujung
roknya tersangkut di pangkal paha. Ia merasa yakin bahwa G-string yang dipakainya
telah terlihat mengintip dari pangkal pahanya.
"Kelihatan nggak?"
"Sedikit!"
"Warna apa?"
"Pink!"
"Suka?"
"Suka banget!"
"Cium dong!"
"Ha?! Di sini?"
"Hmm!!"
Jantung Theo kembali berdebar-debar.
Tantangan, katanya dalam hati. Tantangan dari seorang gadis belia yang cantik,
seksi, masih perawan, dan sekaligus nakal! Itulah salah satu sebab yang membuat
ia selalu ingin memanjakan gadis itu. Ide-idenya yang nakal kadang-kadang
menciptakan sensasi. Menciptakan gairah untuk menaklukkan tantangan yang
disodorkannya. Ia memang belum pernah melakukan hal itu. Dan ia pun yakin bahwa
gadis itu -dalam keramaian publik- belum pernah mendapat ciuman di pangkal
pahanya. Ia menarik nafas panjang dan berusaha menenteramkan debar-debar
jantungnya. Sekilas, ia kembali memandang tamu-tamu di sekelilingnya. Setelah
yakin tak ada yang memperhatikan, ia menunduk dan mengecup G-string dari sutera
itu. Kecupan yang persis di belahan bibir vagina!
Debby menggelinjangkan pinggulnya. Ia hampir
memekik. Tapi karena jari-jari tangannya segera menutupi mulutnya, pekikan itu
hanya terdengar lemah. Suara pekikan itu tersangkut di lehernya.
"Suka?" tanya Theo sambil mengangkat
kepalanya.
"Suka banget! Nikmat dan
mendebarkan!"
"Mau lagi?"
"Entar ketahuan."
"Biarin!" jawab Theo sambil
tersenyum.
"Benar?"
"Hmm!"
"Tapi mata Theo harus tertutup. Dan
setelah dikecup, dijilat ya," bisik gadis itu. Theo terdiam sejenak, lalu
bertanya..
"Kok harus menutup mata?"
"Tentu ada alasannya."
"Kalau hanya mengecup dan menjilat, aku
pasti mau."
"Kalau matanya nggak tertutup, Debby yang
nggak mau!" kata gadis itu merajuk manja. Theo terdiam kembali. Tapi tak
lama kemudian ia menjawab..
"OK," katanya sambil mengangguk.
Gadis itu tersenyum manis.
"Lihat ke Debby dan tutup matanya. Biar
Debby yang mengawasi mereka," katanya sambil menolehkan kepalanya ke arah
tamu-tamu di restoran itu.
"Nanti kalau Debby bilang 'cium' baru
menunduk ya." sambungnya sambil membuka kedua lututnya lebih lebar. Lutut
sebelah kirinya agak diangkat agar pangkal pahanya cukup terbuka untuk
menampung sebuah kepala.
"OK." jawab Theo sambil memejamkan
matanya. Tak lama kemudian, ia mendengar bisikan di telinganya..
"Sekarang cium, Theo!"
Dengan cepat Theo menunduk. Ia merasakan
jari-jari tangan gadis itu menekan bagian belakang kepalanya, menuntun agar
bibirnya mendarat di tempat yang tepat. Dan.., sejenak ia terkesima setelah
bibirnya mendarat di pangkal paha gadis itu. Aroma yang sudah sangat dikenalnya
tiba-tiba terasa langsung menyergap lubang hidungnya. Tapi karena khawatir bila
harus menunduk terlalu lama di balik meja, ia segera mencium pangkal paha gadis
itu. Ia sangat terkejut karena bibirnya bersentuhan langsung dengan bibir
vagina yang lembut. Vagina yang hangat dan sedikit lembab.
Secara bergantian, dengan cepat, dikulumnya
kedua bibir luar vagina itu. Lalu dijulurkannya lidah untuk menjilat celah
sempit di antara ke dua bibir itu. Lidahnya segera tenggelam dalam kehangatan
yang licin. Jilatannya tajam seperti mata pisau yang mengiris mentega. Dan..,
seolah ada alarm berbunyi di telinganya ketika ia merasakan tarikan rambut di
bagian belakang kepalanya. Ia segera mengangkat wajahnya sambil membuka mata.
Sebelum kepalanya benar-benar tegak, ia masih sempat melihat jari telunjuk
gadis itu melepaskan tarikan tepi G-stringnya agar vaginanya tertutup kembali.
Sejenak mereka saling tatap. Di bola mata
mereka tersirat binar-binar birahi. Dan sambil tertawa kecil, keduanya
berangkulan dengan mesra!
*****
Debby masih berdiri di balkon. Tatapannya
menerawang jauh dan terbentur pada lampu-lampu villa-villa di sekitar villanya.
Ia menarik nafas panjang. Udara segar yang bertiup di sekitar Puncak Pass
terasa sejuk memenuhi rongga dadanya. Hembusan udara mulai terasa dingin di kulitnya.
Tapi ia menyukai dinginnya udara itu, terutama ketika berhembus menerpa bagian
bawah pusarnya. Pangkal pahanya terasa sejuk. Dinginnya udara meredakan
letupan-letupan gairah yang sempat memanas ketika ia teringat pada ciuman dan
jilatan Theo di restoran rib roast itu.
Debby kembali melihat jam tangannya. Tak lama
lagi Theo akan tiba, katanya dalam hati. Semakin dekat waktu yang telah mereka
sepakati, semakin gelisah ia menunggu. Ia merasa lebih gelisah daripada
biasanya karena ia sudah memutuskan bahwa malam itu ia akan mengucapkan
"selamat tinggal masa remaja!" Dan itu akan ia ucapkan tepat ketika
ia berusia 17 tahun. Usia untuk menjadi seorang wanita! Masih terbayang dalam
ingatannya raut wajah Theo yang terlihat bingung ketika menerima denah jalan
menuju villa. Raut wajah itu semakin bingung ketika ia mengatakan, "Nanti
malam, di villa, Debby akan memberikan sebuah hadiah yang sangat
istimewa."
Sebenarnya ia telah membuat keputusan itu
beberapa hari yang lalu. Bahkan ingin memberikannya pada saat itu juga. Tapi
karena hari ulang tahunnya yang ke-17 tinggal beberapa hari lagi, ia memutuskan
untuk menundanya. Ia tahu bahwa Theo akan merasa sangat berbahagia menerima
hadiah itu. Ia sadar bahwa lelaki yang selalu memanjakannya itulah orang yang
paling tepat dan berhak untuk mendapatkan hadiah itu. Lelaki yang dengan kedua
bibirnya dapat membuatnya menderita dalam rintihan nikmat. Lelaki yang telah
memberikan arti nikmatnya sebuah cumbuan di pangkal pahanya. Lelaki yang
lidahnya menari-nari pertama kali di vaginanya kira-kira sebulan yang lalu,
yang kemudian secara rutin seminggu dua kali selalu 'mimik' pipis enak dari
pangkal pahanya. Lelaki yang selama sebulan telah bersabar mencumbu dan dicumbu
hanya dengan bibir dan lidah.
'Theo memang lelaki yang sabar dan penuh
perhatian', gumamnya ketika teringat pada cendawan di ujung batang kemaluan
Theo. Seolah masih terasa lembutnya cendawan itu menyusup ke dalam rongga
mulutnya. Cendawan yang terasa mengalirkan kehangatan ketika menyentuh
kerongkongannya, yang membuat ia tersendat dalam nikmat, yang membuat rasa
dahaganya sirna setelah mendapatkan 'mimik' pipis enak dari batang kemaluan
itu, dan yang membuatnya terpejam ketika segumpal lendir panas tiba-tiba
'menembak' kerongkongannya.
*****
Gadis remaja itu tersenyum manis ketika
melihat cahaya lampu mobil yang mendekati villanya. Tergopoh-gopoh ia menuruni
tangga ke lantai 1 dan setengah berlari menuju halaman. Langkahnya yang cepat
membuat pahanya yang berwarna kuning gading sesekali menyembul dari belahan kimono
yang pakainya. Segera dipeluknya pinggang lelaki itu. Pelukannya yang sangat
ketat seolah menunjukkan kerinduan yang mendalam. Padahal mereka baru berpisah
beberapa jam yang lalu.
Theo menggamit dagu gadis remaja itu, membuat
wajahnya yang cantik menengadah. Lalu ia menunduk dan menggosok-gosokkan
hidungnya ke ujung hidung gadis itu. Dalam keremangan cahaya lampu neon di
teras, bibirnya memagut bibir gadis itu. Dikulumnya bibir mungil itu dengan
penuh perasaan. Ia ingin menunjukkan rasa cintanya yang dalam. Dan ketika lidah
gadis itu menjulur, lidah itu segera dipilinnya dengan lidahnya sambil
dihisapnya dengan lembut.
"Kangen nggak?"
"Kangen banget, Sayang!" jawab Theo
sambil mengecup leher jenjang gadis itu.
"Geli, Theo!"
"Oh ya. Kalau yang ini..?" tanya
Theo sebelum mengecup dan menjentikkan ujung lidahnya persis di bawah dagu.
"Enak..!"
Jawaban itu membuat Theo lebih bersemangat
menciumi leher gadis itu. Sesekali lidahnya menjulur menjilat hingga membuat
gadis itu beberapa kali mendongakkan kepalanya. Lalu ia merasakan kedua belah
lengan yang merangkul pinggangnya berpindah ke lehernya, membuat buah dada
gadis itu menempel ketat ke dadanya. Karena senang dan gemas, kedua telapak
tangannya segera meremas bongkah pantat gadis itu. Bongkah pantat itu terasa
kenyal karena belum sepenuhnya mengembang. Diremasnya berulang kali. Bahkan
sambil meremas, bongkah pantat itu agak ditariknya ke atas agar ia tak perlu
terlalu menunduk ketika menciumi leher.
Debby menyukai tarikan di bongkah pantatnya
walau hal menyebabkan ia harus berjinjit. Tak lama kemudian, karena jari-jari
kakinya mulai terasa kelu, ia menggantung di leher agar dapat melingkarkan
kedua belah kakinya di pinggang lelaki itu. Tumitnya terpaksa menekan pinggul
Theo ketika ia merasakan ciuman-ciuman basah merayap menuju buah dadanya.
Ciuman yang membuat ia beberapa kali melengkungkan punggungnya ke belakang,
memberi ruang yang lebih luas kepada lelaki itu untuk menciumi buah dadanya.
Beberapa menit kemudian, tumitnya menekan lebih keras karena ia ingin
mengangkat badannya lebih tinggi agar ciuman-ciuman itu segera mendarat di buah
dadanya.
Theo menarik bongkah pantat gadis itu lebih
tinggi setelah menyadari bahwa di balik kimono itu tidak ada bra yang
menghalangi. Walau kimono itu belum sepenuhnya terbuka, bibirnya sudah tidak
sabar untuk segera mengecup celah di antara kedua buah dada yang baru mekar
itu. Lidahnya pun mulai merayap dari lekukan bawah hingga ke putingnya yang
kecil. Semakin lama lidah itu bergerak semakin cepat. Menjilati bergantian.
Buah dada kiri dan kanan. Dan ketika merasakan air liurnya telah membasahi
kedua buah dada itu, ia segera mengulum putingnya yang kemerahan.
"Ooh..! Ooh.., Theo! Aarrgghh..!"
desah Debby ketika merasakan puting dadanya digigit dengan lembut. Dan ketika
bibir lelaki itu berpindah ke buah dada sebelahnya, lalu mengulum dan
menjentik-jentikkan ujung lidah di putiknya, ia mengerang..
"Theoo..! Aargh.., enak!!" Tapi
beberapa detik kemudian, ia mendorong kepala lelaki itu.
"Gendong ke atas dong, Theo,"
katanya sambil menunjuk ke arah balkon.
Debby tahu bahwa setelah menciumi buah
dadanya, guru matematikanya yang tampan itu akan menciumi betis, lalu paha, dan
pangkal pahanya. Dari beberapa cumbuan oral yang mereka lakukan sejak sebulan
yang lalu, ia pun tahu bahwa kedua betisnya akan mendapat ciuman-ciuman basah
bila cumbuan itu dilakukan di atas tempat tidur. Tapi kali ini ia menginginkan
cumbuan yang agak berbeda. Sesuatu yang berbeda akan menciptakan sensasi yang
berbeda pula, yang akan membuat tubuhnya menderita dalam kenikmatan
berkepanjangan. Ia menginginkan ciuman dan jilatan basah merayap dari kedua
betis hingga ke bibir vaginanya dilakukan ketika ia sedang berdiri di balkon
villa! Walaupun sesungguhnya ia tak dapat memastikan apakah hangatnya
jilatan-jilatan rakus di vaginanya akan mampu melawan dinginnya embun dan
tiupan angin malam yang menerpa tubuhnya.
Ia merinding membayangkan kenikmatan akibat
sensasi yang luar biasa itu. Merinding karena ia ingin mengalami orgasme dalam terpaan
embun putih dan dinginnya angin malam! Suasana seperti itulah yang
diinginkannya. Di satu sisi ia ingin merasakan dinginnya tiupan angin malam di
sekujur tubuh, dan di sisi lain ia ingin merasakan hangatnya lidah yang
terselip di bibir vaginanya. Sensasi yang luar biasa itu akan membuat tubuhnya
kejang pada saat segumpal lendir orgasmenya akan langsung dihisap oleh lelaki
yang dicintainya itu dengan rakus. Lendir orgasme yang tumpah ketika ia berdiri
menggigil kedinginan dalam selimut embun malam!
Gadis itu merasa melayang ketika Theo
menggendongnya menuju balkon. Vaginanya mulai terasa basah ketika lelaki itu
menurunkan tubuhnya dengan hati-hati. Karena tali kimono yang melilit
pinggangnya sudah kendur, angin malam yang dingin terasa langsung menerpa
bagian depan tubuhnya. Ia mulai menggigil.
"Di sini?"
"Hmm!"
Debby menyandarkan punggungnya ke kusen pintu,
lalu memandang ke sekelilingnya. Putih berkabut. Ia menoleh ke arah rumah
penjaga villa di sudut barat, juga putih berkabut. Walaupun lampu neon di
balkon tidak dimatikan, ia merasa yakin tidak ada orang yang dapat melihat
mereka. Sambil tersenyum, diangkatnya kaki kirinya lalu meletakkan telapak
kakinya di sandaran lengan kursi di sebelahnya. Bagian tengah kimononya, dari
pinggang ke bawah menjadi terbelah dua.
"Di sini, Theo. Puaskan Debby di sini!
Sepuas-puasnya, Sayang. Debby ingin malam ini menjadi malam yang tak
terlupakan. Debby ingin pipis enak di sini. 'Mimik' ya Sayang. Kalau udah puas
'mimik', baru kita pindah ke dalam. Debby akan beri hadiah istimewa untuk Theo
di kamar!"
Theo tertegun. Posisi gadis belia yang
disayanginya itu sangat menantang, membuat ia tak mampu menjawab. Matanya nanar
menatap keindahan kaki yang keluar dari belahan tengah kimono, yang lututnya
tertekuk karena telapaknya menginjak lengan kursi. Mulutnya setengah terbuka
ketika matanya menatap pangkal paha gadis itu. Terkesima. Ia baru menyadari
bahwa tak ada celana dalam mini atau G-string yang menutupi pangkal paha itu.
Dalam keremangan, masih dapat dilihatnya bulu-bulu ikal halus dan tipis di
bagian atas vagina yang segar itu.
"Mau 'kan, Theo?"
"Akan kuturuti apa pun yang Debby
inginkan," kata Theo sambil berlutut di hadapan gadis itu.
Dengan posisi berlutut, betis indah itu berada
persis di sebelah pipi Theo. Dan dengan lembut diusap-usapkannya telapak
tangannya ke betis itu. Semenit kemudian, dibelai-belainya betis itu dengan
pipinya. Ia ingin merasakan kehalusan pori-pori betis itu di pipinya! Lalu ia
mengecupnya. Mula-mula ia mengecup bagian bawah, tetapi semakin lama semakin
naik ke arah belakang lutut. Mula-mula kecupannya kering, tetapi semakin
mendekati belakang lutut, kecupannya semakin basah. Ketika bibirnya telah
terselip di belakang lutut yang tertekuk itu, ia mengecup sambil mempermainkan
ujung lidahnya.
"Geli, Theo!" kata gadis ketika ia merasakan
kumis Theo menggelitik belakang lututnya.
Kedua belah tangannya mendekap dada untuk
mengurangi dinginnya terpaan angin sekaligus untuk menahan agar belahan tengah
kimononya tetap tertutup. Sebaliknya, ia mulai merasakan kehangatan di pangkal
pahanya.
Theo memindahkan kecupannya ke betis yang
sebelah lagi. Betis itu terasa lebih kenyal karena berat badan Debby bertumpu
pada sebelah kaki. Dengan sabar, Theo mengecup kembali. Mengulangnya
berulangkali. Dan kemudian mulai menjilat ke arah bawah. Sesekali ia mengecup
dengan gemas, setengah menggigit.
Debby menunduk dengan mata terbuka lebar. Ia
merasa senang dan tersanjung menatap guru matematikanya itu berlutut di antara
kedua belah kakinya. Jantungnya berdebar-debar melihat lelaki yang sabar itu
harus membungkuk agar dapat mengecup betisnya. Ia merasa senang dan tersanjung.
Perasaan itu seolah membongkah dan memberi kehangatan di rongga dadanya.
Membuat dirinya seolah melambung tinggi ke dalam dinginnya embun malam. Ia pun
sangat menikmati hembusan nafas yang terasa hangat di betisnya. Setiap kali
lelaki itu mengecup, seolah tersisa kehangatan di bekas kecupannya.
Theo mulai menciumi lutut bagian dalam. Sambil
mencium, matanya menatap bibir vagina gadis itu. Walau terlihat samar, tetapi
cahaya lampu neon di langit-langit balkon membuat bibir vagina tampak
mengkilap. Pasti sudah ada sedikit cairan lendir yang terselip di antara bibir
itu, katanya dalam hati. Lalu dengan cepat diterkamnya vagina yang segar itu.
Lidahnya segera membelah, dan bibirnya segera mengisap. Setelah itu, dengan
cepat pula ia menarik kepalanya menjauhi vagina itu. Hanya sedikit cairan
lendir yang terhisap.
Debby memekik karena terkejut. Ia tak menduga
Theo akan 'menerkam' vaginanya secepat itu. Walau hanya sekejap, dalam keterkejutannya,
terkaman itu ternyata mampu mengalirkan kehangatan di sekujur tubuhnya. Mungkin
karena terkejut, sekejap ia lupa pada dinginnya terpaan angin malam.
"Theo jahat! Nggak sabar ya?"
"Ingat, tak ada setetes pun yang
terbuang!"
"Paha dulu!" kata gadis itu sambil
mendorong kepala Theo ke arah pahanya.
Theo menatap keindahan paha yang terpampang di
depannya. Paha itu terbuka lebar dan karena telapaknya terletak di atas
sandaran lengan kursi, dengan mudah ia menciumi dan sesekali menjilatnya karena
paha itu persis setinggi kepalanya. Kulit paha itu terasa dingin di bibirnya.
Lalu diusapkannya wajahnya beberapa kali ke permukaan paha dalam yang mulus
itu. Ia suka merasakan kemulusan paha itu di wajah dan pipinya. Semakin sering
mengusap-usapkan wajah dan menciuminya, kulit paha itu terasa semakin hangat.
Kedua belah telapak tangannya pun giat bergerak menyalurkan kehangatan. Tangan
kirinya mengusap-usap paha kanan bagian luar, sedangkan telapak kanannya
digunakan untuk mengusap-usap betis kiri gadis itu.
Debby sangat menyukai usapan-usapan telapak
tangan Theo. Usapan-sapan itu mengurangi dinginnya terpaan angin malam. Bahkan
kehangatan pun mulai terasa menjalar di bagian bawah perutnya ketika ia
merasakan lidah Theo merayap mendekati lipatan antara paha dalam dan vaginanya.
Ia merintih ketika bibir lelaki yang suka 'mimik' pipisnya itu menariki
bulu-bulu halus di sekitar bibir vaginanya. Bulu-bulu itu masih terlalu pendek,
masih sepanjang bulu alis mata sehingga bibir itu selalu gagal menariknya. Hal
itu malah membuat vaginanya semakin basah. Setelah mengencangkan lilitan kimono
agar belahan di bagian dadanya tidak terbuka, kedua lengannya segera jatuh di
atas kepala lelaki itu. Ia menginginkan lidah hangat itu membelah bibir
vaginanya.
"Theo, mimik dulu dong lendirnya,"
kata gadis itu sambil membuka bibir vaginanya dengan jari telunjuk dan jari
tengahnya. Sejenak, Theo menghentikan ciuman-ciumannya. Ia menengadah sambil
tersenyum, tak lama kemudian, ia kembali menciumi paha kiri gadis itu. Sengaja
tidak diturutinya keinginan gadis itu.
"Theo, jahat!" kata gadis itu sambil
menarik kepala Theo ke arah pangkal pahanya. Kedua tangannya menahan agar
kepala itu tetap berada di pangkal pahanya. Dan ketika ia merasakan kehangatan
lidah menyusup ke dalam vaginanya, ia merintih..
"Ooh, ooh.., enak Theo! Aarrgghh..!"
Tarikan nafasnya pun mulai tak teratur ketika
lidah itu menjilati dinding dan bibir dalam vaginanya. Ia mendorong pinggulnya
agar lidah itu masuk semakin dalam. Ia mulai lupa dan tak merasakan dinginnya
angin malam. Biasanya, keadaan seperti itu membuat pori-pori di sekujur
tubuhnya terbuka. Berkeringat. Tapi saat ini, tak ada setetes pun keringat di
kulitnya. Pori-porinya tetap tertutup. Kenikmatan dan kehangatan nafas yang
mendengus-dengus di vaginanya hanya mampu memberi kehangatan tetapi tak mampu
membuatnya berkeringat. Dan ia menyukai hal itu! Sebuah sensasi yang membuat
vaginanya semakin basah berlendir. Apalagi ketika merasakan lelaki itu mengisap
lendir yang terselip di bibir dalam baginanya, ia merintih berulang kali..
"Argh..! Argh..! Theo, Oh nikmatnya,
sstt, sstt.., aarrgghh..!" Ia menjadi lupa pada paha kirinya yang belum
cukup banyak mendapat cumbuan.
Malam itu Theo merasakan sebuah perbedaan.
Aroma segar kemaluan gadis itu tidak setajam biasanya. Mungkin karena aroma itu
langsung tertiup angin malam. Karena rindu akan aroma itu, Theo menekan
hidungnya ke celah sempit di antara bibir vagina gadis itu. Ditekannya
sedalam-dalamnya sambil menghirup aroma yang sangat dirindukannya itu.
Debby terkejut merasakan hidung lelaki itu
tiba-tiba menusuk lubang vaginanya. Ia menggelinjangkan pinggulnya.
Menggelinjang dalam kenikmatan. Geli dan nikmat tiba-tiba terasa menusuk hingga
ke jantungnya. Ia merintih-rintih berkepanjangan akibat dengusan nafas di dalam
lubang vaginanya.
"Aarrgghh..! Aarrghh..! Ampun, Theo..!
Aarrgghh.., aarrgghh..!" rintihannya semakin keras ketika merasakan kumis
lelaki itu menyapu klitorisnya.
"Ampun, ampun.. Theo! Aarrgghh..! Debby
mau pipiis!"
Tapi ia tak berusaha menghindari hidung itu.
Ia bahkan memutar pinggulnya sambil menekan bagian belakang kepala lelaki itu.
Ia tak ingin hidung itu tak lepas dari jepitan bibir vaginanya. Hal itu tak
berlangsung lama. Ia hanya mampu memutar-mutar pinggulnya beberapa kali!
Tiba-tiba saja ia merasakan adanya dorongan lendir orgasme yang tak mampu
ditahannya. Dorongan itu terasa sangat kuat. Jauh lebih kuat daripada dorongan
yang biasanya ia rasakan ketika mendekati puncak orgasmenya.
"Theo, Theo.., Debby mau pipis!
Aarrgghh.., mimik!"
Theo mendengar rintihan itu. Tapi ia tak ingin
menarik hidungnya. Ia tak peduli walaupun merasakan dua lengan memukul-mukul
kepalanya dengan gemas. Ia telah terbius oleh aroma, kehangatan, kelembutan,
dan kehalusan dinding vagina gadis remaja itu. Bahkan semakin diremas dan
ditariknya kedua bongkah pantat gadis itu agar hidungnya semakin tenggelam ke
dalam liang vagina yang segar itu.
Remasannya di bongkah pantat itu sangat kuat,
membuat gadis itu hanya dapat merintih dan meronta-ronta. Dan tak lama
kemudian, ia merasakan lendir hangat membasahi ujung hidungnya. Ia sangat
senang merasakan kehangatan lendir itu. Lendir yang membasahi hidungnya
ternyata membuat batang kemaluannya semakin tegang. Bengkak. Mungkin karena
merasakan nikmat yang berbeda dari biasanya. Selama sebulan, telah berkali-kali
ia rasakan orgasme gadis itu di ujung lidahnya. Tapi kali ini berbeda, ia
merasakannya di ujung hidungnya!
Walaupun terasa agak sesak, Theo menarik
nafas. Ia menghirup aroma yang sangat pribadi itu langsung dari bagian yang
sangat dalam dan tersembunyi! Ia pun merasa sangat puas karena baru kali ini ia
mendengar gadis cantik itu merintih-rintih minta ampun!
"Aarrgghh.., ampun! Ampun.., Debby
pipiis!" rintih gadis itu sambil berusaha menarik pinggulnya agar hidung
lelaki itu terlepas.
Ia tak mampu mengendalikan rasa nikmat dan
geli yang bercampur menjadi satu di lubang vaginanya. Tapi remasan telapak
tangan di bongkah pantatnya lebih kuat daripada tarikan pinggulnya. Akhirnya ia
hanya merintih-rintih melepaskan lendir orgasmenya ketika hidung itu
mendengus-dengus. Seluruh sendi-sendi di sekujur tubuhnya menjadi lunglai.
Membuat ia pasrah dan berusaha agar tak terjatuh ke lantai.
Theo menarik hidungnya setelah merasakan
lendir orgasme itu berhenti mengalir. Ia menengadah sambil tersenyum puas. Ia
dapat melihat kenikmatan yang baru saja usai mendera gadis itu. Hal itu
terlihat dari bola mata yang menatap hampa dan kelopak mata yang setengah
terpejam.
"Theo jaa.. haatt.., Theo jahat! "
kata Debby terengah-engah sambil meminjit hidung lelaki itu dengan jempol dan
telunjuknya. Tapi jari itu terpeleset karena hidung itu masih dipenuhi lendir
licin.
"Jahat!" ulangnya sambil memijit
kembali.
"Oh ya?" sahut Theo sambil menunduk.
Lalu ia mulai menjilati vagina yang masih berlepotan lendir itu.
Debby menggeliat ketika merasakan kembali
lidah yang menjilati bibir luar vaginanya. Ia merasa lelah tetapi ia pun tahu
bahwa ia tak dapat menghindar dari lidah yang selalu rajin membersihkan
sisa-sisa lendir orgasme di vaginanya. Ia tetap berdiri walau tungkai kakinya
mulai terasa pegal, terutama tungkai kakinya yang menginjak lengan kursi. Ia
tidak akan mendorong kepala itu menjauhi vaginanya. Percuma. Ia tahu bahwa lelaki
yang selalu memanjakannya itu tak akan berhenti menjilati sebelum vaginanya
benar-benar bersih. Selain itu masih ada hal yang belum ia dapatkan. Malam itu
ia belum merasakan nikmatnya 'menumpahkan' lendir orgasmenya langsung ke dalam
mulut yang terjebak di dalam vaginanya. Terjebak di bagian yang paling dalam
dan tersembunyi. Belum merasakan nikmatnya 'menumpahkan' lendir orgasme
langsung ke dalam bibir dan lidah yang menghisap-hisap vaginanya ketika
dinginnya angin malam menerpa tubuhnya.
Ia menunduk sambil mengusap-usap rambut lelaki
tampan yang masih rajin menjilati vaginanya. Kelopak matanya kembali terbuka.
Bola matanya berbinar-binar menikmati pemandangan erotis di pangkal pahanya.
Menikmati indahnya lidah yang menjulur dan menghilang dalam belahan bibir
vaginanya. Lidah yang basah mengkilap ketika keluar dari lubang vaginanya.
Tanpa sadar ia mendesah ketika lidah itu mulai mencari-cari sisa lendir di
balik sekumpulan urat saraf yang menutupi klitorisnya. Ia menggeliat. Dan
menggeliat lagi ketika merasakan klitorisnya dijentik-jentik dengan ujung
lidah. Lalu diturunkannya telapak kaki kirinya dari lengan kursi. Setelah
memindahkan berat badannya ke kaki kirinya, diangkatnya kaki kanannya dan
diletakkannya pahanya di pundak lelaki itu. Ia menarik nafas lega merasakan
kehangatan di bagian dalam pahanya, bagian yang menempel dengan pipi Theo.
"Nggak apa-apa 'kan, Sayang." kata
gadis itu sambil mempermainkan jari-jari tangannya di rambut lelaki itu.
Ia terpaksa bertanya karena sebelumnya tidak
pernah melakukan hal seperti itu. Tidak pernah berdiri sambil menjepit kepala
di pangkal pahanya.
Theo menengadah, lalu mengangguk.
"Puaskan Debby ya, Sayang. Sebentar lagi,
mimik lagi ya." Theo mengangguk kembali sambil mengulum klitoris gadis
remaja yang nakal itu.
Melihat anggukan kepala itu, Debby jadi lebih
bersemangat untuk meraih puncak orgasmenya. Kedua tangannya segera menekan
kepala lelaki itu agar semakin terdesak ke vaginanya. Satu tangan menekan
bagian belakang kepala, dan yang sebelah lagi menjambak segenggam rambut.
Posisi seperti itu membuatnya sangat bergairah. Kelopak matanya terbuka lebar
menatap kepala yang pasrah di pangkal pahanya. Seolah kepala itu dipersembahkan
sebagai alat untuk meraih puncak orgasmenya.
Walaupun vaginanya telah pernah beberapa kali
dioral oleh guru matematikanya itu, tetapi ia belum pernah merasakan nikmatnya
mengendalikan kepala itu di pangkal pahanya. Mengendalikan sesuka hatinya.
Jantungnya berdebar-debar ketika ia mulai menggerak-gerakkan pinggulnya. Ia
merasa lebih nikmat karena pinggulnya bebas bergerak sesuka hatinya. Ia pun
merasa bebas untuk mengerak-gerakan kepala lelaki itu ke arah yang ia inginkan.
Menekannya, mendorongnya, atau bahkan menariknya. Beberapa kali ia terpaksa
menariknya sambil berjinjit karena kumis lelaki itu terasa menyentuh ujung atas
belahan vaginanya.
"Argh..! Argh..!" rintihnya menahan
nikmat yang mendera sekujur tubuhnya. Debby merasakan lendir yang semakin deras
mengalir ke vaginanya.
"Mimik, Sayang," katanya sambil
menekan pundak Theo dengan paha belakangnya.
Ia ingin lidah itu menyusup ke dalam
vaginanya, menarik lendir dan mengisapnya. Ia merasa bahwa sebentar lagi ia
akan mencapai puncak orgasmenya. Ia ingin merasakan kelembutan dan kehangatan
bibir itu ketika dinding vaginanya berdenyut-denyut. Sambil agak menekuk kedua
lututnya, dihentakkannya pinggulnya agar lidah dan bibir lelaki itu masuk lebih
dalam ke lubang vaginanya. Ia seolah mendapat sinyal ketika merasakan remasan
di bongkah pantatnya, sinyal yang menyatakan bahwa lelaki itu menyukai hentakan
pinggulnya. Tanpa ragu, ia kembali menghentakkan pinggulnya sambil menekan
bagian belakang kepala lelaki itu. Dilakukannya berulang kali, seolah ingin
menunjukkan bahwa vaginanya ingin menelan lidah dan mulut lelaki itu.
"Theoo.., aarrgghh..," rintihnya
sambil menekan dahi lelaki itu dengan ujung jarinya. Tekanan itu menyebabkan
wajah Theo terdongak hingga mulutnya persis berada di bawah vaginanya.
"Mimik 'pipis' Debby, Sayaang,"
rintihnya sambil menghentak-hentakkan pinggulnya dengan cepat.
Sekujur tubuhnya menggigil merasakan nikmatnya
lidah yang tertanam di lubang vaginanya, lidah yang dapat ia perlakukan sesuka
hatinya. Seolah ada 'penis' kecil tertanam di lubang kemaluannya. Ia menggigil
merasakan sensasi nikmat yang luar biasa dalam terpaan dinginnya angin malam
yang berembun. Bulu-bulu roma di sekujur tubuhnya merinding ketika merasakan
lahapnya lidah dan mulut lelaki itu menghisap-hisap, menanti lendir orgasme
yang akan tumpah dari vaginanya.
"Aarrgghh.., hasshh.., hasshh..,
aarrgghh, aarrgghh, aarrgghh..!" rintihnya berkepanjangan ketika
'menumpahkan' orgasmenya.
Ia masih merintih-rintih bekepanjangan ketika
merasakan liarnya lidah lelaki itu menjentik-jentik bibir dalam vaginanya.
Lidah itu masih rajin bergerak seolah belum terpuaskan dengan segumpal lendir
yang telah mengalir dari lubang vaginanya.
Theo masih menjilat-jilat. Sesekali mengulum
bibir luar vagina gadis yang masih terengah-engah itu. Ia pun merasakan nikmat
yang luar biasa ketika merasakan lendir orgasme gadis remaja itu mengalir ke
kerongkongannya. Mungkin karena dinginnya terpaan angin, lendir orgasme yang
ditelannya terasa lebih hangat dari biasanya. Paha yang menekan pipinya pun
terasa lebih hangat. Dan.., hentakan-hentakan pinggul itu lebih liar dari
biasanya!
"Ooh Theo, nikmatnya!" desah Debby
sambil menatap bola mata lelaki yang masih dijepitnya di pangkal pahanya.
Jari-jari tangannya mengusap-usap dahi dan rambut lelaki itu. Dibelai-belainya
dengan mesra. Bibirnya tersenyum bahagia.
"Sekarang kita ke kamar yuk!" sambungnya
sambil mengangkat pahanya dari pundak lelaki itu.
Di atas 'king size bed' tergeletak tubuh
telanjang seorang gadis belia. Tubuh itu tergeletak dengan pose yang sangat
menantang. Satu kaki terbujur lurus di atas kasur, dan yang sebelah lagi menekuk
setengah terbuka mengangkang. Dan bibir gadis itu tersenyum manis. Merekah. Di
cermin besar di dinding, bayangan tubuh indah itu terpantul seutuhnya. Seolah
ada dua gadis belia yang sedang telanjang atas tempat tidur.
Theo menaiki tempat tidur dan menjatuhkan
dadanya di antara kedua belah paha gadis belia itu. Lalu dengan gemas,
diciumnya pusar gadis itu.
"Theoo, geli!"
Theo tersenyum sambil mengangkat kepalanya.
Tapi tak lama kemudian diulang-ulangnya mencium hingga membuat gadis belia itu
menggelinjang beberapa kali. Lalu ia merasakan dua buah lengan yang menarik
dagu dan rambutnya. Dengan menggunakan kedua siku dan lututnya, ia merangkak
hingga wajahnya terbenam di antara kedua buah dada gadis itu. Dikecupnya
lekukan buah dada yang putih itu. Lidahnya sedikit menjulur ketika mengecup.
Kecupan basah. Ia tak merasa puas bila lidahnya tak merasakan kehalusan kulit
buah dada gadis belia itu.
Tak lama kemudian, lidahnya melata menjilat
buah dada yang sebelah kanan. Diulangnya beberapa kali hingga buah dada itu
mulai basah tersapu air liurnya. Ia berhenti sejenak untuk menatap keindahan
puting di pucuk buah dada itu. Lalu tangannya kirinya bergerak mengusap bagian
bawah buah dada itu, kemudian bergerak ke arah atas sambil meremas dengan
lembut. Sesaat ia menahan nafas menikmati kekenyalan buah dada itu di telapak
tangannya. Remasannya membuat puting itu terlihat semakin tinggi. Menggemaskan.
Dan dengan cepat dikecupnya puting buah dada yang masih kecil itu. Dikulumnya
sambil mengusap-usapkan tangan kanannya di punggung gadis itu.
"Kau murid yang cantik sekali," kata
Theo sambil mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu.
Debby tersenyum. Ia senang mendengar pujian
itu. Dirangkulnya leher guru matematika yang disayanginya itu dengan tangan
kirinya, kemudian diciumnya bibir lelaki itu dengan mesra. Dihisapnya lidah
yang menyusup ke bibirnya. Dihisapnya sambil mengait-ngaitkan ujung lidahnya.
Tak lama kemudian, tangannya kanannya bergerak ke arah pangkal paha lelaki itu.
Setelah mengusap-usap beberapa kali, digenggamnya batang kemaluan lelaki itu.
Lalu diarahkannya cendawan batang kemaluan itu ke celah di antara bibir
vaginanya yang mulai berlendir.
"Ambil hadiahnya, Theo," bisik gadis
itu sambil mengusap-usapkan cendawan itu ke bibir vaginanya.
Theo menarik nafas panjang merasakan
kelembutan dan kehangatan di ujung batang kemaluannya. Untuk pertama kalinya
lendir dari celah bibir vagina gadis belia itu mengolesi ujung cendawannya.
Batang kemaluannya menjadi semakin keras. Urat-urat berwarna hijau di kulit
batang kemaluannya semakin membengkak. Setelah menunjukkan kesabarannya selama
sebulan, kesabaran mencumbui vagina gadis itu hanya dengan lidahnya, ternyata
kesabarannya membuahkan hasil. Gadis itu akhirnya memberikan hadiah istimewa
yang akan membawanya ke pintu surga dunia. Hadiah istimewa yang tak pernah
diduganya akan diberikan oleh salah seorang muridnya.
Theo sedikit menekan pinggulnya agar cendawan
itu terselip di bibir vagina yang berwarna pink itu. Ia menatap wajah gadis
belia itu ketika merasakan pinggul yang ditindihnya menggeliat. Dengan tambahan
tekanan yang lebih keras, cendawan batang kemaluannya akhirnya terselip. Ia
menahan nafas ketika merasakan hangat dan sempitnya bibir vagina itu menjepit
cendawan kemaluannya. Setelah sebulan bersabar, akhirnya vagina yang segar ini
dapat kumiliki, katanya dalam hati. Lalu ia mulai menciumi leher gadis itu. Dadanya
direndahkan hingga menekan kedua buah dada gadis itu. Ia sengaja melakukan hal
itu karena ingin merasakan kekenyalan buah dada itu ketika menggeliat. Ia yakin
gadis itu akan mengeliat-geliat ketika ia mendorong batang kemaluannya lebih
dalam.
"Ohh.., Theo." Theo menciumi telinga
gadis itu.
"Belit pinggangku dengan kakimu,
Sayang," bisiknya di sela-sela ciumannya.
Tangan kirinya meremas buah dada gadis itu,
sedangkan tangan kanannya mengelus-elus paha luar yang baru membelit
pinggangnya. Lalu ia mendorong batang kemaluannya lebih dalam. Sesak!
Perlahan-lahan ia menarik sedikit batang kemaluannya, kemudian mendorongnya.
Hal itu dilakukannya beberapa kali hingga ia merasakan cairan lendir yang
semakin banyak mengolesi cendawan kemaluannya.
Sambil menghembuskan nafas berat, didorongnya
batang kemaluannya lebih dalam hingga ujung cendawannya menyentuh sesuatu. Ia
menahan gerakan pinggulnya ketika melihat gadis belia itu meringis. Ia tak
ingin menyakiti murid yang sangat disayanginya itu. Selain itu, tubuhnya
sendiri pun bergetar merasakan sempitnya lubang vagina itu. Dadanya
berdebar-debar ketika ia membiarkan ujung kemaluannya bersentuhan dengan
selaput tipis yang sebentar lagi akan dirobeknya.
"Sakit, Theo!"
"Tahan sedikit ya, Sayang."
Theo kembali menarik batang kemaluannya hingga
hanya ujung cendawan kemaluannya yang terselip di bibir luar vagina sang gadis.
Lalu didorongnya kembali perlahan-lahan. Diulangnya beberapa kali. Ia diam
sejenak mengamati raut wajah yang cantik itu ketika ujung kemaluannya kembali
menyentuh selaput tipis itu. Mata gadis itu setengah terpejam, tetapi bibirnya
sudah tidak meringis.
"Debby, nanti dorong pinggulnya,
ya," katanya sambil menarik kembali batang kemaluannya.
Lalu diciumnya bibir gadis itu dengan lahap.
Ia tak ingin mendengar gadis itu menjerit ketika ia mendorong kembali batang
kemaluannya. puting buah dada gadis itu diremasnya dengan jempol dan jari
telunjuknya. Dan ketika merasakan gadis itu mendorong pinggulnya, dengan cepat
didorongnya pula batang kemaluannya.
"Hmm.., hhmm..!" gumam gadis itu
sambil mengisap lidah Theo sekeras-kerasnya.
Ia hanya dapat bergumam ketika merasakan
batang kemaluan Theo menghunjam ke dalam lubang vaginanya. Sekejap, tiba-tiba
ia merasakan nyeri ketika batang kemaluan itu menembus selaput di lubang
vaginanya. Ia menggeliat-geliat berusaha untuk melepaskan diri. Tapi semakin ia
menggeliat, batang kemaluan itu masuk semakin dalam. Akhirnya ia pasrah, diam
tak bergerak!
Theo menahan gerakan pinggulnya. Ia telah
mendapatkan hadiah yang dijanjikan gadis itu. Tapi ia tidak ingin egois. Ia
tidak ingin melihat gadis belia itu meringis kesakitan ketika memberikan
hadiahnya. Ia akan membuat gadis itu bahagia dan turut menikmati pemberiannya.
Oleh karena itu, ia menghentikan gerakan pinggulnya. Sesaat, ia hanya
membelai-belai rambut di dahi gadis itu. Lalu mengecup keningnya dengan mesra.
Tak lama kemudian, bibir gadis itu dikecupnya dengan lembut. Dikulumnya dengan
penuh perasaan. Ia baru menarik batang kemaluannya perlahan-lahan setelah merasakan
lidah gadis itu menyusup ke dalam mulutnya.
Setelah menyadari tak ada perubahan di raut
wajah gadis itu, Theo kembali membenamkan batang kemaluannya perlahan-lahan.
Kali ini ia hanya mendengar gadis itu mendesis beberapa kali sambil merangkul
lehernya erat-erat. Ia pun merasakan dua buah kaki yang semakin erat membelit
pinggangnya. Ia masih tetap mendengar gadis itu mendesis ketika menarik batang
kemaluannya.
Setelah menarik nafas panjang, dan tak sanggup
lagi menahan kesabarannya, ia menghentakkan pinggulnya sedalam-dalamnya hingga
pangkal pahanya bersentuhan dengan pangkal paha gadis itu. Ia mendesah beberapa
kali ketika merasakan seluruh batang kemaluannya terbenam ke dalam vagina gadis
itu. Bahkan ia merasakan ujung kemaluannya menyentuh mulut rahim gadis belia
itu. Sejenak ia diam tak bergerak. Ia sengaja membiarkan batang kemaluannya
menikmati sempitnya lubang vagina itu. Ia terpejam merasakan remasan lembut di
batang kemaluannya ketika vagina itu berdenyut.
"Aarrgghh.., ooh, ohh..," rintih
debby ketika seluruh batang kemaluan lelaki yang disayanginya itu telah
terbenam ke dalam lubang vaginanya.
Ia merasakan pedih dan nikmat di sekujur
tubuhnya. Rasa yang membuat bulu-bulu roma di sekujur tubuhnya meremang, yang
membuat ia terpaksa melengkungkan punggungnya. Kuku-kuku jari tangannya
menancap di punggung lelaki itu ketika ia merasakan biji kemaluan Theo memukul
lubang duburnya. Ia semakin melengkungkan punggungnya menjauhi kasur ketika
lelaki itu menarik batang kemaluannya. Ia tak mampu bernafas ketika merasakan
nikmatnya saat bibir dalam vaginanya tertarik bersama batang kemaluan itu.
Tak ada lagi pedih yang tersisa. Hanya ada
nikmat yang menjalar dari vaginanya, nikmat yang membuat punggungnya terhempas
ke atas kasur ketika lelaki itu kembali menghunjamkan batang kemaluannya. Ia
menggigit bibirnya meresapi kenikmatan yang mengalir dari klitorisnya. Klitoris
yang tergesek ketika gurunya yang jantan itu menghunjamkan batang kemaluannya.
Kenikmatan itu membuat ia terengah-engah karena hanya mendapatkan sedikit udara
setiap kali ia menarik nafas.
Theo mendesah setiap kali mendorong batang
kemaluannya. Seumur hidupnya, Ia tak pernah merasakan ada vagina yang menjepit
batang kemaluannya sekeras itu. Vagina sempit yang membuat telapak tangannya
harus menekan kasur sekeras-kerasnya ketika ia menarik batang kemaluannya.
Akhirnya ia tertelungkup di dada gadis itu. Tangannya menyusup ke balik
punggung dan menggenggam kedua bahu gadis itu. Ia terpaksa hanya mengandalkan lututnya
untuk menekan kasur agar ia tetap dapat mengangkat dan mendorong pinggulnya. Ia
hampir tak mampu membendung air maninya lebih lama lagi. Dipandangnya pangkal
pahanya. Air mani di kantung biji kemaluannya terasa semakin meronta-ronta
ketika ia melihat bibir luar vagina mungil itu ikut terbenam setiap kali ia
mendorong batang kemaluannya.
"Aarrgghh.., Debbyy..!" desah Theo.
Nafasnya mendengus-dengus. Kelopak matanya
terbeliak-beliak. Telinganya mendengar bunyi "plak" setiap kali ia
menghunjamkan batang kemaluannya. Bunyi yang sangat mesra itu terdengar setiap
kali pangkal pahanya beradu dengan pangkal paha gadis belia itu. Bunyi itu
semakin keras terdengar setiap kali gadis itu mengangkat pinggulnya untuk
menyongsong batang kemaluannya yang menghunjam.
"Aarrgghh.., Debby, aaku.. Aaku.."
"Theoo.., aarrgghh..!"
Theo tak mampu lagi mengendalikan air mani
yang meronta-ronta. Tekanan air mani di kantung biji kemaluannya terasa sangat
kuat. Ia masih mencoba bertahan. Tapi semakin lama vagina yang menelan kemaluannya
terasa meremas semakin kuat. Remasan yang berdenyut-denyut, seolah ingin
menghisap air mani yang tertahan di batang kemaluannya.
"Aarrgghh.., aarrgghh.., aku
pipiiss..," raung Theo ketika merasakan air maninya menerobos lubang
saluran kemaluannya.
Ia menghunjamkan pinggulnya sekeras-kerasnya
agar ujung cendawannya tertanam sedalam-dalamnya ketika air maninya menerobos
ke luar dari kantung biji kemaluannya. Ia mencengkeram kedua bahu gadis itu
dengan erat saat ia pun merasakan gigitan manja di bahu kanannya..
"Theoo, aarrgghh.., aarrgghh.., Debby
pipiiss jugaa..!" rintih gadis belia itu ketika merasakan air mani yang
sangat panas 'menembak' mulut rahimnya!
Akhirnya setelah sang gadis mempersembahkan
hadiah istimewanya untuk sang kekasih, mereka tidur berpelukan.
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar